Marx, Marxian, dan Teori Kritis
Sejarah ilmu pengetahuan telah mencatat dan menempatkan ilmu-ilmu sosial pada perdebatan panjang yang dialektis. Semakin kompleksnya hubungan antar-manusia berimplikasi pada semakin dinamisnya perkembangan teori-teori sosial. Di satu sisi ada teori – teori yang telah mapan –status quo, sehingga telah menjadi teori mainstream yang dipakai secara global, namun di sisi lain ada teori yang mencoba untuk melakukan serangkaian perubahan akan dinamika perspektif global.
Teori kritis dan Marxisme merupakan dua bangun pengetahuan yang berawal dari kepentingan dan cita-cita yang sama yaitu penegakan atas emansipasi manusia. Dalam banyak literatur dijelaskan bahwa teori kritis merupakan kelanjutan dari pemikiran Marxis, akan tetapi tidak dapat dinafikkan pula adanya kritik yang dialamatkan teori kritis atas pemikiran Marx. Untuk itu pembahasan pada tulisan ini akan mencoba menguraikan bagaimana kedua teori tersebut dibangun berikut persamaan dan juga perbedaan yang menyertainya.
Marxisme berkembang pada pertengahan 1840-an dan merupakan sebuah perspektif yang berangkat dari pemikiran Karl Marx mengenai sejarah dan kapitalisme. Pemikiran ini berawal dengan melihat adanya ketimpangan dan kontradiksi yang nyata dalam sejarah manusia yang ditandai dengan perjuangan kelas. Kritik tersebut ditujukan Marx pada model produksi kapitalistik Adam Smith dan David Ricardo yang menurut Marx berjalan dengan sangat eksploitatif. Adapun dalam kerangka berfikir teorinya tentang sejarah perjuangan kelas yang bersifat dialektis-materil, Karl Marx ini tidak dapat dipisahkan dari pengaruh dua filsuf besar yaitu G.W.F. Hegel dan Ludwig Feurbach.
Sementara itu teori kritis pada awalnya merujuk pada sebuah tradisi pemikiran yang berkembang di sebuah institut penelitian di Universitas Frankfurt, tahun 1920an yang kemudian dikenal dengan mahzab Frankfurt atau Frankfurt School. Pemikiran ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran Georg Hegel, Max Weber, Emmanuel Kant, Sigmund Freud dan terutama Karl Marx. Adapun pemikir utama pada masa itu antara lain Max Horkheimer dan Theodore Adorno. Pemikiran ini banyak mengalami perkembangan dan modivikasi sehingga muncul aliran-aliran baru yang membawa nama seperti Jurgen Habermas sebagai pemikir teori kritis kontemporer. Namun walaupun banyak terinspirasi dari pemikiran Marx, pada dasarnya terdapat perbedaan yang signifikan antara pemikiran teori kritis dengan Marxisme. Hal ini terutama dilihat dari bagaimana kedua teori tersebut dibangun dengan asumsi-asumsi utama yang mendukungnya. Menganalisis lebih jauh dua teori tersebut akan memperlihatkan sejumlah perbedaan ontologis yang tentunya menjadi landasan utama berdirinya setiap teori.
Teori Kritis adalah filsafat yang dipraktekkan dalam Mazhab Frankfurt (Bertens,2006:196). Penentuan posisi teori kritis dalam rangka sejarah filsafat mengharuskan ditentukannya tiga faktor pengaruh teori ini. Ketiga faktor itu adalah pemikiran Hegel, pemikiran Marx, dan pemikiran Freud. Unsur paling dominan dari ketiga faktor dimaksud dalam tubuh teori kritis adalah unsur filsafat Karl Marx, sehingga tidak jarang kepada teori kritis disematkan label "neomarxisme".
Meski demikian, para pemikir Mazhab Frankfurt memandang Marx dari cara yang berbeda. Marx dipahami Mazhab Frankfurt sebagai kelanjutan filsafat Hegel. Mikroskop pemikiran Mazhab Frankfurt memposisikan Marx sebagai sayap kiri pemikiran Hegel. Objek kajian Mazhab Frankfurt terhadap Marx adalah tulisan-tulisan awal Marx yang dikenal dengan "karangan-karangan Marx muda" atau juga disebut "naskah-naskah dari Paris". Pada karangan Marx muda, nampak jelas hubungan antara Marx dan Hegel.
Marxisme sendiri adalah pemikiran filosofis Karl Marx. Anthony Giddens (1986:xvii) mencatat bahwa istilah Marxisme menjadi begitu populer justru sebagai hasil pekerjaan Engels. Engels menyediakan sebuah basis pemikiran yang disebutnya materialisme filsafat yang kemudian menjadi terkenal dengan nama marxisme. Dalam bahasa Giddens :"…Marxisme, menyediakan suatu kerangka teori bagi Demokrasi Sosial, yang membiarkan dan membenarkan adanya perbedaan besar antara teori dan praktek". Tetapi pekerjaan besar Karl Marx dalam filsafatnya adalah roh marxisme. Tema-tema yang diangkat Marx dalam filsafatnya (Giddens, 1996:23-25) adalah (a) kondisi "swa-penciptaan" (self-creation) yang menunjukan adanya manusia progresif: sebuah konsep yang dipinjam Marx dari Hegel; (b) gagasan tentang keterasingan atau alianasi; (c) kritik terhadap negara; (d) dasar-dasar utama materialisme sejarah; (e) suatu konsep ringkas tentang teori Praksis yang revolusioner.
Hubungan antara Teori Kritis dan Marxisme digambarkan secara gamblang oleh Bertens (2006:194-5) dengan kalimat :"Oleh karenanya Institut Penelitian ini tidak mau tergantung pada universitas Frankfurt, yang pada saat itu masih muda, biarpun beberapa anggotanya mengajar di universitas tersebut. Kebanyakan anggotanya merasa simpati kepada marxisme dan beberapa diantaranya menjadi anggota partai komunis Jerman…" Para pemikir Mazhab Frankfurt seperti Max Horkheimer, Friedrich Pollock, Leo Lowenthal, Walter Benjamin, Theodor W.Adorno, Erich Fromm, Herbert Marcuse dan Jurgen Habermas menyimpan jiwa Marxisme dalam filsafat mereka. Kritik Jurgen Habermas pada positivisme misalnya menampakan dengan jelas ciri pemikiran Marx tentang ilmu pengetahuan kritis. Habermas mengemukakan bahwa manusia memperoleh pengetahuan tidak semata-mata dalam hubungan antara dirinya dengan kenyataan yang netral. Kenyataan selalu dilekatkan dengan kepentingan. Habermas mengajukan tesis tentang Erkenntnisleitende Interesse atau kepentingan yang menjuruskan pengenalan. Dalam hal ini ada tiga macam kepentingan : (a) kepentingan pengenalan teknis, (b) kepentingan pengenalan praktis, dan (c) kepentingan pengenalan emansipatoris.
Bertens (2006:243) mencatat dengan jelas ketiga jenis kepentingan pengenalan itu.
Pengenalan yang diperoleh dari kepentingan pengenalan teknis dapat ditemukan dalam ilmu alam dan ilmu sosial teknis.
Pengenalan yang diperoleh dari kepentingan pengenalan praktis ditemukan dalam ilmu sejarah, ilmu komunikasi dan ilmu hermeneutis.
Pengenalan yang diperoleh dari kepentingan pengenalan emansipatoris dapat ditemukan dalam psikoanalisis dan teori-teori kritis tentang masyarakat.
Asumsi dasar teori konflik adalah memandang bahwa realitas sosial setiap masyarakat selalu berada dalam keadaan konflik yang tidak terelakan. Menurut para penganut teori konflik, masyarakat senantiasa dinamis. Dalam hal ini yang berbeda adalah penyebab konflik, intensitasnya dan dampak yang ditimbulkannya.
Kurang lebih terdapat empat aliran dalam perspektif konflik, yaitu:
1. Marxian.Perintis aliran Marxian adalah Karl Marx sendiri. Landasan teorinya dibangun pada materialisme dan filsafat dialektika. Menurut Marx, materi menentukan ide. Marx banyak dipengaruhi oleh Hegel yang berguru pada Feuerbach. Pusat perhatian Marx dalam mengembangkan teorinya pada tingkat struktur sosial, bukan pada tingkat kenyataan sosial budaya, atau dengan kata lain: Marx tidak fokus pada kajian tentang cara individu menyesuaikan diri dengan lingkungan fisik melainkan pada posisi individu dipengaruhi oleh interaksi sosial budaya yang berlandaskan pada materi.
2. Neo Marxian. Aliran ini dipelopori oleh Max Horkheimer. Dasar pemikirannya berangkat dari pemikiran Marx. Hanya saja berbeda pada objek kajiannya, yaitu masalah-masalah sosial masyarakat industri modern. Dalam beberapa referensi, aliran ini disebut juga sebagai aliran teori kritis. Kajian teori kritik(s), memandang realitas sosial masyarakat dalam bentuk kritik atas setiap struktur masyarakat berdasarkan kriteria etik kemanusiaan dan berkehendak bebas. Teori ini bersifat emansipatoris hendak membebaskan manusia dari belenggu struktur yang tidak rasional, semacam kapitalisme, IPTEK, agama dan sebagainya. Selain Max Horkheimer, tokoh sosiologi beraliran kritis antara lain: Herbert Marcuse, Jurgen Habermas dan Nicolas Poulantzas yang mengemukakan aspek-aspek konflik kelas dalam masyarakat kapitalis dewasa ini.
3. Non Marxian. Para ahli sosiologi yang tergolong dalam aliran Non Marxian antara lain Lewis A. Coser dan Ralph Dahrendorf. Ada juga yang menggolongkan Max Webber dan seluruh pengikutnya (Webberian) sebagai mereka yang menganut pandangan konflik tetapi Non Marxian. Jelaslah mereka yang beraliran Non Marxian bertentangan dengan aliran Marx dan Neo Marxian. Webber misalnya menegaskan bahwa dengan metode verstehen (memberi makna mendalam), maka setiap tindakan individu sangat menentukan sistem sosial. Jadi, dalam menerangkan fakta atau realitas sosial, faktor tindakan individu sangat menentukan.
4. Hegemoni. Anthonio Gramsci adalah tokoh terkenal dalam aliran hegemoni. Pandangannya tentang realitas sosial sangat dipengaruhi oleh kerasnya kehidupan yang dialaminya. Pemikirannya tentang struktur sosial dapat dilihat dalam konsepnya tentang negara (masyarakat politik). Negara modern bukan saja terdiri dari pemerintah tetapi juga ada masyarakat politik yang termasuk di dalamnya adalah sarana-sarana pemerintah untuk menciptakan kepatuhan di antara sebagian masyarakat dan masyarakat sipil/civil society, yang meliputi: organisasi swasta seperti gereja, serikat-serikat buruh, sekolah-sekolah dan media massa.
Keempat aliran tersebut di atas bisa dibaca dalam referensi yang lain. Lebih mudah dicari bilamana kita mencari dalam buku-buku sosiologi makro, karena teori konflik digolongkan oleh Ritzer dalam Paradigma Fakta Sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar