Minggu, 09 Maret 2014

Ichsan Kurnia_Tugas 1_Teori Sosiologi Emile Durkheim

Nama        : Ichsan Kurnia
NIM            : 1113054100029
Kelas         : Kesos 2A

Teori Emile Durkheim
1.      Teori Solidaritas
Teori ini menerangkan bahwa masyarakat modern tidak terikat oleh kesamaan antara orang-orang yang melakukan pekerjaaan yang sama, akan tetapi pembagian kerjalah yang mengikat masyarakat dengan memaksa mereka agar bergantung satu sama lain. solidaritas menunjuk pada suatu keadaan hubungan antara individu atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama.
Durkheim membedakan dua tipe solidaritas :
a)      Solidaritas Mekanis
Solidaritas mekanis dibentuk oleh hukum represif karena anggota masyarakat jenis ini memiliki kesamaan satu sama lain, dan karena mereka cenderung sangat percaya pada moralitas bersama, apapun pelanggaran terhadap system nilai bersama tidak akan dinilai main-main oleh setiap individu. Pelanggar akan dihukum atas pelanggaranya terhadap system moral kolektif.  Meskipun pelanggaran terhadap system moral hanya pelanggaran kecil namun mungkin saja akan dihukum dengan hukuman yang berat.
b)      Solidaritas organic
Solidaritas organic dibentuk oleh hukum restitutif. Dimana seseorang yang melanggar harus melakukan restitusi untuk kejahatan mereka, pelanggaran dilihat sebagai serangan terhadap individu tertentu atau sekmen tertentu dari masyarakat bukannya terhadap sistem moral itu sendiri. Dalam hal ini, kurangnya moral kebanyakan orang tidak melakukan reaksi secara emosional terhadap pelanggaran hukum. Durkheim berpendapat masyarakat modern bentuk solidaritas moralnya mengalami perubahan bukannya hilang. Dalam masyarakat ini, perkembangan kemandirian yang diakibatkan oleh perkembangan pembagian kerja menimbulkan kesadaran-kesadaran individual yang lebih mandiri, akan tetapi sekaligus menjadi semakin tergantung satu sama lain, karena masing-masing individu hanya merupakan satu bagian saja dari suatu pembagian pekerjaan sosial.
2.      Fakta Sosial
Fakta sosial adalah seluruh cara bertindak, baku maupun tidak, yang dapat berlaku pada diri individu sebagai sebuah paksaan eksternal, atau bisa juga dikatakan bahwa fakta sosial adalah seluruh cara bertindak yang umum dipakai suatu masyarakat, dan pada saat yang sama keberadaannya terlepas dari manifestasi-manifestasi individual.
Durkheim membedakan dua tipe fakta sosial:
a.       Fakta sosial Material
Fakta sosial material lebih mudah dipahami karena bisa diamati. Fakta sosial material  tersebut sering kali mengekspresikan kekuatan moral yang lebih besar dan kuta yang sama-sama berada diluar individu dan memaksa mereka. Kekuatan moral inilah yang disebut dengan fakta sosial material.
b.      Fakta sosial Nonmateria
Fakta sosial nonmaterial memiliki batasan tertentu, ia ada dalam fikiran individu. Akan tetapi dia yakin bahwa ketika orang memulai berinteraksi secara sempurna, maka interaksi itu akan mematuhi hukumnya sendiri. Individu masih perlu satu jenis lapisan bagi fakta sosial nonmaterial, namun bentuk dan isi partikularnya akan ditentukan oleh interaksi dan tidak oleh individu.
Jenis-jenis fakta sosial nonmaterial:
·         Moralitas
Perspektif Durkheim tentang moralitas terdiri dari dua aspek. Pertama, Durkheim yakin bahwa moralitas adalah fakta sosial, dengan kata lain, moralitas bisa dipelajari secara empiris, karena ia berada di luar individu, ia memaksa individu, dan bisa dijelaskan dengan fakta-fakta sosial lain. Artinya, moralitas bukanlah sesuatu yang bisa dipikirkan secara filosofis, namun sesuatu yang mesti dipelajari sebagai fenomena empiris. Kedua, Durkheim dianggap sebagai sosiolog moralitas karena studinya didorong oleh kepeduliannya kepada "kesehatan" moral masyarakat modern.
·         Kesadaran Kolektif
Kesadaran Kolektif adalah seluruh kepercayaan dan perasaan bersama orang kebanyakan dalam sebuah masyarakat akan membentuk suatu sistem yang tetap yang punya kehidupan sendiri, kita boleh menyebutnya dengan kesadaran kolektif atau kesadaran umum. Dengan demikian, dia tidak sama dengan kesadaran partikular, kendati hanya bisa disadari lewat kesadaran-kesadaran partikular.
Ada beberapa hal yang patut dicatat dari definisi ini. Pertama, kesadaran kolektif terdapat dalam kehidupan sebuah masyarakat ketika dia menyebut keseluruhan  kepercayaan dan sentimen bersama. Kedua, Durkheim memahami kesadaran kolektif sebagai sesuatu terlepas dan mampu menciptakan fakta sosial yang lain. Kesadaran kolektif bukan hanya sekedar cerminan dari basis material sebagaimana yang dikemukakan Marx. Ketiga, kesadaran kolektif baru bisa terwujud melalui kesadaran-kesadaran individual.
Kesadaran kolektif merujuk pada struktur umum pengertian, norma, dan kepercayaan bersama. Oleh karena itu dia adalah konsep yang sangat terbuka dan tidak tetap. Durkheim menggunakan konsep ini untuk menyatakan bahwa masyarakat "primitif" memiliki kesadaran kolektif yang kuat, yaitu pengertian, norma, dan kepercayaan bersama, lebih dari masyarakat modern.
·         Representasi Kolektif
Contoh representasi kolektif adalah simbol agama, mitos, dan legenda populer. Semuanya mempresentasikan kepercayaan, norma, dan nilai kolektif, dan mendorong kita untuk menyesuaikan diri dengan klaim kolektif. Representasi kolektif juga tidak bisa direduksi kepada individu-individu, karena ia muncul dari interaksi sosial, dan hanya bisa dipelajari secara langsung karena cenderung berhubungan dengan simbol material seperti isyarat, ikon, dan gambar atau berhubungan dengan praktik seperti ritual.
·         Arus Sosial
Arus sosial merupakan fakta sosial yang tidak menghadirkan diri dalam bentuk yang jelas. Durkheim mencontohkan dengan luapan semangat, amarah, dan rasa kasihan. Yang terbentuk dalam kumpulan publik.
·         Pikiran Kelompok
Pikiran kolompok sebenarnya adalah kumpulan pikiran individu. Akan tetapi pikiran individual tidak secara mekanis saling bersinggungan dan tertutup satu sama lain. Pikiran-pikiran individual terus-menerus berinteraksi melalui pertukaran simbol. Mereka megelompokkan diri berdasarkan hubungan alami mereka, mereka menyusun dan mengatur diri mereka sendiri. Dalam hal ini terbentuklah suatu hal baru yang murni bersifat psikologis, hal yang tak ada bandingannya di dunia biasa.
3.      Teori Bunuh Diri
Durkheim memilih studi bunuh diri karena persoalan ini relative merupakan fenomena konkrit dan spesifik, di mana tersedia data yang bagus cara komparatif. Akan tetapi, alasan utama Durkheim untuk melakukan studi bunuh diri ini adalah untuk menunjukkan kekuatan disiplin Sosiologi. Dia melakukan penelitian tentang angka bunuh diri di beberapa negara di Eropa. Secara statistik hasil dari data-data yang dikumpulkannya menunjukkan kesimpulan bahwa gejala-gejala psikologis sebenarnya tidak berpengaruh terhadap kecenderungan untuk melakukan bunuh diri. Menurut Durkheim peristiwa-peristiwa bunuh diri sebenarnya merupakan kenyataan-kenyataan sosial tersendiri yang karena itu dapat dijadikan sarana penelitian dengan menghubungkannya terhadap sturktur sosial dan derajat integrasi sosial dari suatu kehidupan masyarakat.
Durkheim memusatkan perhatiannya pada 3 macam kesatuan sosial yang pokok dalam masyarakat:
1.      Bunuh Diri dalam Kesatuan Agama. Dari data yang dikumpulan Durkheim menunjukkan bahwa angka bunuh diri lebih besar di negara-negara protestan dibandingkan dengan penganut agama Katolik dan lainnya. Penyebabnya terletak di dalam perbedaan kebebasan yang diberikan oleh masing-masing agama tersebut kepada para penganutnya.
2.       Bunuh Diri dalam Kesatuan Keluarga. Dari penelitian Durkheim disimpulkan bahwa semakin kecil jumlah anggota dari suatu keluarga, maka akan semakin kecil pula keinginan untuk hidup. Kesatuan sosial yang semakin besar, mengikat orang pada kegiatan-kegiatan sosial di antara anggota-anggota kesatuan tersebut.
3.      Bunuh Diri dalam Kesatuan Politik. Dari data yang dikumpulkan, Durkheim menyimpulkan bahwa di dalam situasi perang, golongan militer lebih terintegrasi dengan baik, dibandingkan dalam keadaan damai. Sebaliknya dengan masyarakat sipil.Kemudian data tahun 1829-1848 disimpulkan bahwa angka bunuh diri ternyata lebih kecil pada masa revolusi atau pergolakan politik, dibandingkan dengan dalam masa tidak terjadi pergolakan politik.
Durkheim membagi tipe bunuh diri ke dalam 4 macam:
a)      Bunuh Diri Egoistis. Tingginya angka bunuh diri egoistis dapat ditemukan dalam masyarakat atau kelompok di mana individu tidak berinteraksi dengan baik dalam unit sosial yang luas. Lemahnya integrasi ini melahirkan perasaan bahwa individu bukan bagian dari masyarakat, dan masyarakat bukan pula bagian dari individu. Lemahnya integrasi sosial melahirkan arus sosial yang khas, dan arus tersebut melahirkan perbedaan angka bunuh diri. Misalnya pada masyarakat yang disintegrasi akan melahirkan arus depresi dan kekecewaan. Kekecewaan yang melahirkan situasi politik didominasi oleh perasaan kesia-siaan, moralitas dilihat sebagai pilihan individu, dan pandangan hidup masyarakat luas menekan ketidakbermaknaan hidup, begitu sebaliknya. Durkheim menyatakan bahwa ada faktor paksaan sosial dalam diri individu untuk melakukan bunuh diri, di mana individu menganggap bunuh diri adalah jalan lepas dari paksaan sosial.
b)      Bunuh Diri Altruistis. Terjadi ketika integrasi sosial yang sangat kuat, secara harfiah dapat dikatakan individu terpaksa melakukan bunuh diri. Salah satu contohnya adalah bunuh diri massal dari pengikut pendeta Jim Jones di Jonestown, Guyana pada tahun 1978. Contoh lain bunuh diri di Jepang (Harakiri). Bunuh diri ini makin banyak terjadi jika makin banyak harapan yang tersedia, karena dia bergantung pada keyakinan akan adanya sesuatu yang indah setelah hidup di dunia. Ketika integrasi mengendur seorang akan melakukan bunuh diri karena tidak ada lagi kebaikan yang dapat dipakai untuk meneruskan kehidupannya, begitu sebaliknya.
c)      Bunuh Diri Anomic. Bunuh diri ini terjadi ketika kekuatan regulasi masyarakat terganggu. Gangguan tersebut mungkin akan membuat individu merasa tidak puas karena lemahnya kontrol terhadap nafsu mereka, yang akan bebas berkeliaran dalam ras yang tidak pernah puas terhadap kesenangan. Bunuh diri ini terjadi ketika menempatkan orang dalam situasi norma lama tidak berlaku lagi sementara norma baru belum dikembangkan (tidak ada pegangan hidup). Contoh: bunuh diri dalam situasi depresi ekonomi seperti pabrik yang tutup sehingga para tenaga kerjanya kehilangan pekerjangan, dan mereka lepas dari pengaruh regulatif yang selama ini mereka rasakan. Contoh lainnya seperti booming ekonomi yaitu bahwa kesuksesan yang tiba-tiba individu menjauh dari struktur tradisional tempat mereka sebelumnya melekatkan diri.
d)     Bunuh Diri Fatalistis. Bunuh diri ini terjadi ketika regulasi meningkat. Durkheim menggambarkan seseorang yang mau melakukan bunuh diri ini seperti seseorang yang masa depannya telah tertutup dan nafsu yang tertahan oleh disiplin yang menindas. Contoh: perbudakan.
4.      Teori tentang Agama
Dalam teori ini Durkheim mengulas sifat-sifat, sumber bentuk-bentuk, akibat, dan variasi agama dari sudut pandang sosiologistis. Agama menurut Durkheim merupakan "a unified system of belief and practices relative to sacret things", dan selanjutnya " that is to say, things set apart and forbidden – belief and practices which unite into one single moral community called church all those who adhere to them." Agama menurut Durkheim berasal dari masyarakat itu sendiri. Masyarakat selalu membedakan mengenai hal-hal yang dianggap sacral dan hal-hal yang dianggap profane atau duniawi.
Dasar dari pendapat Durkheim adalah agama merupakan perwujudan dari collective consciouness sekalipun selalu ada perwujudaan-perwujudan lainnya. Tuhan dianggap sebagai simbol dari masyarakat itu sendiri yang sebagai collective consciouness kemudian menjelma ke dalam collective representation. Tuhan itu hanya lah idealisme dari masyarakat itu sendiri yang menganggapnya sebagai makhluk yang paling sempurna (Tuhan adalah personifikasi masyarakat).
Kesimpulannya, agama merupakan lambang collective representation dalam bentuknya yang ideal, agama adalah sarana untuk memperkuat kesadaran kolektif seperti ritus-ritus agama. Orang yang terlibat dalam upacara keagamaan maka kesadaran mereka tentang collective consciouness semakin bertambah kuat. Sesudah upacara keagamaan suasana keagamaaan dibawa dalam kehidupan sehari-hari, kemudian lambat laun collective consciouness tersebut semakin lemah kembali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini