Konsep utama Kabuyutan
Nilai-nilai pokok atau dimensi paling penting dari suatu kebudayaan adalah nilai-nilai yang universal yang akan diterima oleh bangsa apa pun di dunia ini; atau nilai-nilai yang kebenarannya tidak perlu diperdebatkan lagi dan yang diperlukan hanyalah aplikasi atau pengamalannya. Nilai-nilai pokok adalah landasan, sumber, dan muaradimensi-dimensi atau nilai-nilai penting lainnya dari suatu kebudayaan. Apabila suatu bangsa berhasil merevitalisasi nilai-nilai pokok budayanya, maka bangsa tersebut berpeluang untuk meraih kembali
kejayannya.
Salah satu dimensi paling penting dalam nilai-nilai universal
kebudayaan Tatar Sunda adalah apa yang terangkum dalam istilah
kabuyutan. Leluhur-leluhur Sunda sangat mewanti-wantikan anak
keturunan dan masyarakatnya agar mereka benar-benar menjaga dan
memelihara kabuyutan. Dalam salah satu naskah kuno Sunda dikatakan
bahwa anak bangsa yang tidak mampu mempertahankan kabuyutan-nya jauh
lebih hina dibanding kulit musang yang tercampak di tempat sampah.
Untuk identifikasi kandungan nilai-nilai dalam nilai pokok kabuyutan
ini penting kiranya untuk mengenal penggunaan istilah kabuyutan dalam
sejarah.
Sejarah penggunaan istilah 'Kabuyutan"
Catatan atau peninggalan sejarah Sunda tertua yang memuat istilah
kabuyutan sejauh ini adalah sebuah prasasti yang dikenal dengan
prasasti Cibadak. Prasasti ini merupakan peninggalan Sri Jaya Bupati,
seorang raja Sunda, yang dibuat antara 1006-1016 M, Prabu Sri Jaya
Bhupati memerintah bersamaan saat di Kediri, Jawa Timur, memerintah
Raja Airlangga. Dalam prasasti tersebut, Sri Jayabupati telah
menetapkan sebagian dari Sungai Sanghyang Tapak, sebagai kabuyutan,
yaitu tempat yang memiliki pantangan (larangan) untuk ditaati oleh
segenap rakyatnya. Lebih jelasnya, di bawah ini dikutipkan kabuyutan
dari Raja Sri Jayabupati dalam prasasti tersebut:
"Selamat, dalam tahun Saka 952 bulan Kartika tanggal 12 bagian terang
hari Hariyang-Kliwon-Ahad wuku Tambir. Inilah saat raja Sunda Maharaja
Sri Jayabhupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya
Sakalabuana-mandaleswaranindita Harogowardana Wikramotunggadewa
membuat tanda di sebelah Timur Sanghyang Tapak, dibuat oleh Sri
Jayabhupati Raja Sunda dan jangan ada yang melanggar ketentuan di
sungai ini. Jangan ada yang menangkap ikan di bagian sungai ini mulai
dari batas daerah Kabuyutan Sanghyang Tapak dibagian hulu..."
Istilah kabuyutan selanjutnya terdapat dalam naskah kuna Sunda
peninggalan abad ke-13, yaitu Naskah Ciburuy atau Naskah Galunggung
yang terkenal sebagai "Amanat Galunggung" atau "Amanat Prabuguru
Darmasiksa". Naskah Ciburuy ditemukan di daerah Ciburuy, Garut
Selatan, dan disebut pula sebagai Kropak No. 632 dalam arsip Museum
Nasional. Naskah ini ditulis pada daun nipah sebanyak 6 (enam) lembar
yang terdiri atas 12 (dua belas) halaman; mengunakan aksara Sunda Kuno
(H.R. Hidayat Suryalaga, 2002). "Amanat Galunggung" adalah peninggalan
raja Sunda Prabuguru Darmasiksa (1175 - 1297 M), yaitu nasehat-nasehat
beliau kepada anak keturunannya dan semua rakyatnya. Amanat ini berupa
cecekelan hirup (pegangan hidup), ulah (larangan), dan kudu
(keharusan) yang harus dipegang teguh oleh semua urang Sunda agar jaya
sebagai bangsa. Isi naskah kuno ini menunjukkan bahwa dalam budaya
Sunda telah terdapat pandangan hidup atau visi ajaran hidup sejak abad
13 - 15 M, diantaranya yang memuat istilah kabuyutan, adalah:
1. Harus dijaga kemungkinan orang asing dapat merebut kabuyutan (tanah
yang disakralkan).
2. Siapa saja yang dapat menduduki kabuyutan (tanah yang disakralkan)
Galunggung, akan beroleh kesaktian, unggul perang, berjaya, bisa
mewariskan kekayaan sampai turun temurun.
3. Bila terjadi perang, pertahankanlah kabuyutan yang disucikan itu.
4. Cegahlah kabuyutan jangan sampai dikuasai orang asing.
5. Lebih berharga kulit lasun (musang) yang berada di tempat sampah
dari pada raja putra yang tidak bisa mempertahankan kabuyutan-nya.
6. Jangan tidak berbakti kepada leluhur yang telah mampu
mempertahankan tanahnya (kabuyutan-nya) pada jamannya.
Istilah kabuyutan juga terdapat dalam Prasasti Kebantenan (PKb) V,
yaitu prasasti nomer 5 peninggalan Sribaduga (Prabu Siliwangi), Raja
Pajajaran yang pertama dan termashur pada sekitar abad 14 M.
Terjemahan berikut adalah kutipan isi Prasasti Kebantenan V (Saleh
Danasasmita, dkk., 1984):
"Ini piagam (dari) yang pindah ke Pajajaran. Memberikan piagam kepada
kabuyutan di Sunda Sembawa. Semoga ada yang megurusnya. Jangan ada
yang menghapuskan atau mengganggunya. Bila ada yang bersikeras
menginjak daerah Sunda Sembawa aku perintahkan agar dibunuh karena
tempat itu daerah kediaman para pendeta."
Penggunaan istilah kabuyutan dapat ditelusuri lebih lanjut dalam
sejarah, tidak saja di kalangan masyarakat Sunda, namun ternyata
dijumpai pula dalam sejarah peradaban suku bangsa selain Sunda.
Teknologi- dalam hal ini telematika atau sederhananya: teknologi
internet - membantu kita dalam mencari rujukan penggunaan istilah
kabuyutan. Berdasarkan penelusuran menggunakan internet (misalnya:
surfing di internet dengan menggunakan kata kunci: "kabuyutan"),
terdapat tidak kurang dari 65 situs (website) yang memuat istilah
kabuyutan. Hasil pengamatan terhadap seluruh situs-situs tersebut, tak
kurang dari 20 situs yang memuat istilah kabuyutan dengan makna atau
rujukan pengertian yang berbeda. Berdasarkan pengamatan terhadap
situs-situs yang memuat istilah tersebut, sedikitnya terdapat 10 arti,
makna atau maksud istilah kabuyutan, yaitu:
1. Umumnya dikaitkan dengan makna utamanya sebagai tempat suci, tempat
yang disucikan atau disakralkan, situs atau tempat keramat, situs atau
prasasti, di (menurut) masyarakat Tatar Sunda
2. Nama tempat suci di kawasan luar Tatar Sunda, namun orang yang
menggunakannya adalah orang Sunda (lihat misalnya: penggunaan istilah
"kabuyutan Majapahit" oleh Bujangga Manik, seorang sejarawan Sunda
yang hidup kl. Pada abad 15-16 M);
3. Tempat-tempat suci yang dinamakan kabuyutan tersebut dapat berupa
pertapaan, gunung, sungai, atau kawasan kerajaan yang secara geografis
dapat dijumpai sampai di luar wilayah Jawa Barat sekalipun.
4. Berarti leluhur atau karuhun atau nenek moyang
5. Berasal dari kata "buyut", digunakan untuk menyebut larangan, tabu,
atau pantangan dari leluhur sebagaimana dalam adat masyarakat Baduy;
6. Nama lembaga pendidikan dalam sejarah Tatar Sunda yang berlangsung
sampai sebelum periode pesantren
7. Nama pedang pusaka kerajaan di yang terdapat di museum Sumedang dan
diperlihatkan kepada masyarakat luas pada upacara tertentu
8. Dalam kepercayaan masyarakat Bali, bermakna leluhur yang berdiam di
Kahiyangan; atau nama suatu jenis penyakit
9. Nama desa-desa di Jawa di masa lalu dan "Buyut" atau "Dhari" adalah
nama pemimpin desa (kabuyutan) tersebut
10. Berarti musuh yang harus dijauhi atau musuh abadi (musuh bebuyutan)
Makna Kabuyutan dan Revitalisasinya
Pemahaman yang mendalam terhadap sejarah penggunaan istilah kabuyutan
akan melahirkan beberapa tingkatan makna kabuyutan, meliputi makna
aslinya maupun pengembangan pemaknaan dalam rangka revitalisasi
(nilai-nilai) kebudayaan.
Dalam kaitan konteks demikian, maka terdapat tingkatan-tingkatan makna
kabuyutan sebagai berikut: 1) kabuyutan sebagai tempat yang suci atau
tempat yang disakralkan beserta segala kandungan isinya, baik yang
tampak (tangible) maupun tak tampak (inatngible), 2) kabuyutan dalam
arti tempat tinggal (atau kampung halaman atau tanah air dalam arti
sempit); dan tanah air (regional maupun nasional) beserta segenap
kekayaan alam dan sosial budayanya dan makna lainnya yang merupakan
makna revitalisasi.
Makna kabuyutan sebagai tempat suci merupakan makna asli atau makna
yang paling sering digunakan di masa lalu. Menurut Ayatrohaedi, tempat
suci ini di kalangan masyarakat Sunda setara dengan tempat yang
dikeramatkan beserta kandungan di dalamnya. Dalam kaitan ini, maka
makna kabuyutan setara dengan situs, tempat-tempat yang dianggap suci
atau dikeramatkan, prasasti berikut benda cagar budaya, tatanan air,
tumbuhan, bentang alam serta seluruh kandungan diversitas
bio-geo-fisik-sosial-budaya lainnya yang terdapat di dalamnya. Seluruh
situs, cagar budaya, dan tempat serta benda-benda lainnya yang menjadi
peninggalan/bukti sejarah adalah kabuyutan. Tempat-tempat tersebut
disucikan atau dikeramatkan karena fungsinya sebagai penyangga
keberlanjutan kehidupan bersama seluruh warga masyarakat.
Kabuyutan dalam makna yang kedua merupakan pemakaan lebih lanjut
berdasarkan bukti-bukti serta kesetaraan argumentasi penggunaan
istilah tersebut dalam sejarah. Pertama-tama, kabuyutan bermakna
"kampung halaman" atau "tempat tinggal" kita masing-masing, baik dalam
skala lokal maupun regional. Makna ini sangat relevan karena kampung
halaman kita masing-masing pada dasarnya adalah benteng kelangsungan
hidup masyarakat kita satu terhadap lainnya. Lahan-lahan pertanian
harus dipertahankan agar tidak beralih fungsi menjadi pemukiman atau
lahan kritis. Mataair-mataair yang banyak tersebar di kaki gunung dan
kawasan lainnya harus dijaga agar tidak beralih fungsi menjadi sumber
air minum kemasan milik segelintir orang. Hingga saat ini ancaman dan
praktek "penguasaan lahan oleh orang lain" dalam bentuk alih fungsi
dan sejenisnya masih berlangsung, baik di perkotaan maupun pedesaan.
Makna, kabuyutan yang senantiasa dipesankan untuk selalu dijaga dan
dipertahankan itu, dapat diperluas menjadi "ibu pertiwi" atau "tanah
air". Tanah air dalam arti luas yaitu wilayah negara yang merupakan
kesatuan tanah dan air yang menjadi milik negara. Tanah air dengan
seluruh kandungannya berupa: air, tanah, lahan, keanekaragaman hayati
(flora dan fauna) dan keragaman bentukan alam, lingkungan-lingkungan
strategis dan sumber penting penghidupan dan kehidupan masyarakat,
baik fisik maupun sosial budaya. Pengertian ini membawa kepada hasil
pemaknaan berikutnya: kebuyutan sebagai lingkungan hidup.
Dalam konteks ilmu pengetahuan lingkungan saat ini, maka makna
kabuyutan dapat direvitalisasi menjadi: sumber daya alam atau
lingkungan fisik, baik hayati maupun non hayati yang meliputi lahan,
keanekaragaman bentukan alam (geodiversity), dan keanekaragaman hayati
(biodiversity). Yakni: hutan, sungai, gunung, rawa, danau, dan
lingkungan alam lainnya beserta segala kandungan isinya, baik hayati
maupun nonhayati. Dengan kata lain, kabuyutan adalah lingkungan hidup
(fisik) kita yang memiliki fungsi daya dukung dan daya tampung
lingkungan guna keberlanjutan kehidupan manusia di dalamnya.
Yang terakhir, kabuyutan dalam makna lingkungan sosial budaya. Dalam
kaitan ini, sebagaimana catatan sejarah juga mengindikasikannya,
kabuyutan berati segenap kandungan nilai-nilai, ilmu pengetahuan dan
teknologi, aspek sosial dan budaya yang telah dan mungkin dapat
dikembangkan dari kandungan kabuyutan secara fisik. Pengertian ini
meliputi unsur: pendidikan dan pembelajaran, kandungan bahan
pengembangan sain dan teknologi, bahasa dan sastera, kesenian; dan
kandungan sejarah, filologi dan arkeologi. Pada gilirannya, kabuyutan
akan terkait erat dengan unsur ekonomi, sosial dan politik.
Demikianlah, kabuyutan untuk pembangunan kebudayaan dapat kita pandang
sebagai salah satu nilai-nilai pokok dari Kebudayaan Tatar Sunda. Dari
sudut pandang pembagian unsur kebudayaan, dimensi penting kabuyutan
ini memuat kandungan multi nilai, diantaranya: sistem religi dan
kepercayaan yang terkandung dalam situs, tempat keramat atau sakral;
pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi; sejarah, arkeologi dan
filologi; lingkungan, arsitektur dan tatanan alam lainnya; bahasa dan
kesenian. Dimensi kabuyutan akhirnya berkaitan erat dengan unsur
ekonomi, sosial, dan politik, sehingga secara keseluruhan kabuyutan
mengandung muatan nilai-nilai seluruh unsur kebudayaan.
Dalam mengidentifikasi implikasi kabuyutan sebagai dimensi penting
kebudayaan Tatar Sunda (TS) terhadap perencanaan program akan
digunakan pendekatan perencanaan stratejik (PS) yang dimodifikasi
berdasarkan kondisi PS yang aktual saat ini di Pemerintahan Propinsi
Jawa Barat (Pemprop. Jabar). Berdasarkan pendekatan PS, kita
memerlukan visi dan misi, tujuan stratejik, sasaran stratejik (yang
merupakan penurunan indikator outcome atau pencapaian hasil), program
dan kegiatan. Unsur modifikasi yang dimaksud adalah bahwa perencanaan
program yang akan mengusung kabuyutan sebagai dimensi penting dalam
pembangunan kebudayaan Tatar Sunda ini mengandaikan visi dan misi
Pemprop. Jabar saat ini benar-benar berlaku sampai akhir tahun
anggaran 2008.
Penurunan Tujuan dan Sasaran Stratejik dari Visi-Misi
Terdapat 5 (lima) misi Pemprop. Jabar, yaitu: 1) Peningkata Kualitas
dan Produktivitas Sumber Daya Manusia Jawa Barat, 2) Pengembangan
Struktur Perekonomian Regional yang Tangguh, 3) Pemantapan Kinerja
Pemerintah Daerah, 4) Implementasi Pembangunan Berkelanjutan, dan 5)
Peningkatan Kualitas Kehidupan Sosial yang Berlandaskan Agama dan
Budaya Daerah. Dari kelima misi tersebut, maka implementasi kabuyutan
sebagai dimensi penting kebudayaan sangat terkait langsung - atau
memperoleh peluang yang sudah semestinya digunakan - dalam penjabaran
misi nomor 4) dan 5) tersebut di atas.
Di dalam menurunkan tujuan dan sasaran stratejik untuk implementasi
nilai-nilai pokok kabuyutan dalam pembangunan, beberapa aspek
bersumber dari prinsip pembangunan kebudayaan dan kondisi aktual
pembangunan saat ini semestinya diperhatikan. Tujuannya tiada lain
untuk sinergi, koordinasi dan penghindaran tumpang tindih
program-kegiatan yang berbasis kabuyutan dengan program-kegiatan yang
selama ini telah berlangsung. Sebab, sejatinya program dan kegiatan
yang selama dilaksanakan pun banyak yang telah menyentuh dimensi
penting kabuyutan. Dalam hal ini, Peraturan Daerah (Perda) Jabar
tentang Pemeliharaan Bahasa, Sastra dan Aksara Daerah; Pemeliharaan
Kesenian; dan Pengelolaan Kepurbakalaan, Kesejarahan, Nilai-Nilai
Tradisional dan Museum (Perda Nomor 5, 6, 7 Tahun 2003) sudah
semestinya diperhatikan dalam penyusunan rencana program berbasis
kabuyutan ini.
Makna kabuyutan sebagai situs, misalnya, sudah semestinya menjadi
perhatian utama dalam penurunan tujuan dan sasaran stratejik
pembangunan kebudayaan nilai pokok kabuyutan. Prof. Dr. Ayatrohaedi
telah mengusulkan perubahan terhadap UU Nomor 5 Tahun 1992 tentang
Benda Cagar Budaya karena kebijakan tersebut lebih memusatkan
perhatian pada aspek benda cagar budaya dan kurang memberi perhatian
pada aspek "situs". Kondisi ini -menurut Ayatrohaedi-telah
mengakibatkan kegagalan perlindungan "situs" Rancamaya, di Bogor.
Definisi situs yang akan mampu memberi peluang perlindungan optimal
terhadapnya, dapat berbentuk sebagai berikut (Ayatrohaedi,) : "Situs
adalah lokasi yang (a) mengandung atau diduga mengandung benda cagar
budaya, (b) oleh masyarakat setempat dianggap sebagai tempat keramat
atau suci; termasuk lingkungannya yang diperlukan bagi pengamanannya.
Pembangunan kebudayaan yang mengusung kabuyutan sebagai nilai pokok
kebudayaan memberi peluang kepada Jawa Barat untuk menjadi lebih mampu
memberikan perlindungan terhadap situs dan cagar budaya beserta
segenap kandungannya.
Prinsip pembangunan kebudayaan yang mesti dilibatkan tiada lain
adalah: prinsip penguatan dan pemberdayaan nilai-nilai dari PBB,
prinsip keterlibatan (partisipasi) masyarakat dari PBM, dan ketiga
langkah RK (pemahaman yang mendalam sehingga menimbulkan kesadaran,
perencanaan sosial, dan kreativitas budaya). Ketiga prinsip tersebut
akan lebih memberikan rumusan yang kongkret mengenai indikator
pencapaian sasaran stratejik (outcome), kebijakan yang diperlukan, dan
siapa berbuat apa (baik dinas, badan, dan lembaga Pemerintah; swasta,
lembaga masyarakat, maupun masyarakat luas).
Dimensi kabuyutan sangat memenuhi kriteria untuk dituangkan ke dalam
perencanaan tujuan stratejik, sasaran stratejik, hingga program dan
kegiatan guna pencapan misi Pemprop. Jabar, yaitu: peningkatan
implementasi pembangunan berkelanjutan, dan peningkatan kualitas
kehidupan sosial yang berlandaskan agama dan budaya daerah. Untuk
itu, beberapa target besar capaian yang dapat menjadi muatan tujuan
stratejik dan sasaran stratejik diusulkan beserta identifikasi
indikatornya sebagai alternatif, sebgaimana pada Tabel di akhir
tulisan ini.
Acuan Penurunan Program dan Alternatif Pembiayaan
Pencapaian tujuan stratejik dijabarkan dalam rencana pencapaian
indikator sasaran (outcome) yang selanjutnya dituangkan dalam program
dan kegiatan. Mengingat dewasan ini merupakan masa transisi
perencanaan, yaitu dari perencanaan berdasarkan anggaran ke
perencanaan berdasarkan kinerja (perencanaan stratejik), maka
perencanaan implementasi nilai pokok kabuyutan ini memerlukan
strategi. Hal ini tiada lain agar aspek pembiayaan dapat terpenuhi
oleh sumber pembiyaan program-program berjalan. Strategi dimaksud
adalah mengkaitkan program dan kegiatan yang telah diturunkan
berdasarkan sasaran stratejik di atas kedalam program yang tersedia
saat ini.
Program yang telah tersedia saat ini dapat berasal dari Pemerintahan
(sesuai Renstra aktual Pemprop. Jabar hingga Tahun 2008) atau dapat
juga mengacu kepada program-program atas nama kerjasama internasional.
Strategi yang terakhir ini dimungkinkan mengingat semangat pengelolaan
lingkungan yang sejalan dengan perhatian terhadap nilai pokok
kabuyutan juga terdapat dalam konvensi regional maupun internasional
(hal ini juga menunjukkan bahwa semangat kabuyutan merupakan sesuatu
yang universal). Dalam hal ini, progaram semacam Agenda 21 Indonesia,
Strategi Nasional Pembangunan Berkelanjutan - yang merupakan tindak
lanjut konvensi dunia tentang lingkungan (KTT Bumi 2002) - merupakan
salah satu conto acuan program dimaksud.
Salah satu keuntungan dari strategi mengkaitkan program dan kegiatan
kabuyutan kepada program-program yang bersifat internasional semacam
Agenda 21 adalah peluang untuk mendapat sumber alternatif pembiayaan.
Informasi berbagai alternatif pendanaan dari luar Pemerintah,
sepanjang tidak bertentangan dengan kebijakan yang telah digariskan
Pemerintah, sudah sepatutnya disebarluaskan kepada Pemerintah
Kabupaten/Kota dan masyarakat luas. LSM, swasta dan bergai komponen
masyarakt seyogyanya dilibatkan dalam perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan lingkungan berbasis kabuyutan ini.
Berbagai program dalam Agenda 21 yang dapat menjadi acuan penurunan
program-kegiatan berbasis kabuyutan adalah: (1) Pengelolaan Limbah,
terdiri atas: a) perlindungan atmosfir, b) pengelolaan bahan kimia
beracun, c) pengelolaan limbah berbahaya dan beracun, d) pengelolaan
limbah radio aktif, dan e) pengelolaan limbah padat dan cair; (2)
pengelolaan sumber daya lahan, terdiri atas: a) perencanaan sumber
daya lahan, b) pengelolaan hutan, c) pengembangan pertanian dan
pedesaan, dan d) pengelolaan sumber daya air; dan (3) pengelolaan
sumber daya alam, terdiri atas a) konservasi keanekragaman hayati, b)
bioteknologi, dan c) pengelolaan terpadu daerah pesisir dan laut.
sumber : http://kabuyutansunda.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar