Dinamika Desa dalam Tinjauan Sejarah dan kebijakan Pembangunan di Indonesia
A. Transformasi dan perubahan sosial masyarakat pedesaan.
Pembangunan atau pengembangan pedesaan sangat di perlukan untuk Indonesia karena sebagian besar penduduk Indonesia, yaitu sebesar kurang lebih 60%, melakukan pertanian sebagai mata pencaharian, dan mereka tinggal di pedesaan. Pembangunan atau pengembangan pedesaan ('rural development), menurut Mosher (Mosher, 1969, h. 91), dapat mempunyai tujuan: 1. Pertumbuhan sektor pertanian, 2. Integrasi nasional, yaitu membawa seluruh penduduk suatu negeri kedalam pola utama kehidupan yang sesuai, 3. Keadilan ekonomi, yakni bagaimana pendapatan itu dibagi - bagi kepada seluruh penduduk.
Tujuan pembangunan desa adalah untuk menghilangkan atau paling tidak mengurangi berbagai hambatan dalam kehidupan sosial ekonomi, seperti kurang pengetahuan dan keterampilan, kurang kesempatan kerja, dan sebagainya. Akibat berbagai hambatan tersebut, penduduk wilayah pedesaan umumnya miskin. Dan selain itu smua salah satu hambatan tersebut adalah tidak meratanya kepemilikan tanah.
Tujuan dari program pembangunan desa adalah untuk meningkatkan kehidupan sosial ekonomi keluarga miskin ataupun yang kurang mampu, sehingga mereka mendapat kesejahteraan yang berarti terpenuhi kebutuhan secara material (makanan, minuman, pakaian, alat-alat) dan spiritua l(pendidikan, agama, keamanan, kepercayaan terhadap diri sendiri) dengan layak. Untuk mencapai hal itu, sebagian keluarga petani memerlukan bantuan untuk meningkatkan kemampuannya sebagai petani, dan sebagian lagi memelukan mata pencaharian diluar sektor pertanian.
Dalam pemikiran Marx pengasaan alat produksi merupakan saluran bertindak yang vital bagi kelas pengusaha, hal ini dapat diterapkan pada masyarakat yang alat produksinya sempurna. Sedangkan pada masyrakat yang alat produksinya belum sempurna sangat tergantung pada penguasaan pemasaran.
Sejarah menunjukan bahwa kerajaan-kerajaan Jawa telah ada gejala perubahan pemasaran antara golongan yang satu dengan golongan yang lain. Pada zaman Majapahit, pemasaran bahan-bahan penting dikuasai oleh kerajaan meskipun tidak langsung. Pegawai negara dan para pujangga tidak diperkenankan berdagang sendiri tetapi dari tanah jajahan ditarik berupa upeti dan pajak.
Sasrodiharjo menggambarkan munculnya kelas pemasaran di Jawa dalam empat fase : (1) permulaan abad ke-20, (2) zaman sekitar Malaise dan menjelang perang dunia ke 2, (3) zaman pendudukan Jepang, (4) zaman kemerdekaan. Pada permulaan abad ke 20 komunitas tionghoa menguasai pasar kelas menengah terutama dalam industi batik yang bahan bakunya di impor dari Eropa. Disisi lain pengusaha timur asing juga menguasai harga jual yang mereka tawar lebih rendah sehingga terjadi persaingan pemasaran yang tidak seimbang. Kondisi ini mendorong timbulnya gerakan protes yang dimotori oleh SDI terhadap sistem pemasaran yang dikuasai oleh pengusaha pemasaran kelas menengah.
Pada zaman Malaise dan menjelang PD II, petani merupakan golongan konsumen yang paling menderita karena turunnya harga riil dari produksi yang dihasilkan. Pemerintah Hindia-Belanda menekan daya beli petani. Fase ketiga zaman pendudukan Jepang. Bagi petani produsen zaman Jepang lebih menguntungkan dari pada zaman Belanda. Sebab Jepang hanya meminta pajak in natura berupa padi yang dirasa lebih mudah oleh petani dari pada bertukang. Dan fase terakhir adalah masa kemerdekaan. Perubahan yang menyolok disini adalah dalam struktur pemerintahan desa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar