SITI NURAINI_PMI 6_1111054000013_KONSEP KABUYUTAN
Istilah Kabuyutan dalam agama Sunda setidaknya sudah ada pada awal abad ke-11 M. Prasasti Sanghyang Tapak yang dibuat kira-kira tahun 1006-1016 M, menerangkan bahwa Prabu Sri Jayabupati (selaku Raja Sunda) sudah menetapkan sebagian dari wilayah walungan Sanghyang Tapak (ketika itu) selaku kabuyutan, yaitu tempat yang mempunyai pantangan yang harus dituruti oleh semua rakyatnya.
Istilah ini terbentuk dari kata dasar buyut. Adapun kata buyut mengandung dua arti. Pertama, turunan keempat (anak dari cucu) atau leluhur keempat (orang tua dari nenek dan kakek). Kedua, pantangan atau tabu alias cadu atau pamali.
Ada kalanya kabuyutan berfungsi sebagai kata sifat. Kata ini mengandung konotasi pada pertautan antargenerasi, bentangan waktu yang panjang, dan hal-ihwal yang dianggap keramat atau suci. Benda-benda tertentu, peninggalan para leluhur kerap dianggap kabuyutan, misalnya goong kabuyutan. Adapun satru kabuyutan alias musuh kabuyutan berarti musuh yang turun-temurun, dan sukar berakhir.
Kata ini juga bisa berfungsi sebagai kata benda. Dalam hal ini, arti kabuyutan merujuk pada tempat-tempat tertentu yang dianggap sakral. Wujudnya bisa berupa bangunan, tapi bisa juga berupa lahan terbuka yang ditumbuhi pepohonan. Wilayah Kanekes di Kecamatan Leuwidamar, Banten, adalah salah satu contoh kabuyutan.
Sebagai kata benda, kabuyutan punya arti yang lebih spesifik, yakni tempat pendeta atau pujangga dahulu kala bekerja, atau tempat kegiatan religius. Di kabuyutanlah orang-orang terpelajar itu menulis naskah, mengajarkan ilmu agama, atau memanjatkan doa.
Sebagai tempat kegiatan religius, kabuyutan kiranya memperlihatkan salah satu jejak kebudayaan Sundayana di tatar Parahyangan. Kadang-kadang tempat tersebut disebut pula mandala.
Dengan cara bagaimana kabuyutan tersebut harus dijaga? Ada sebuah teks danding yang berhubungan dengan persoalan ini yang mengatakan:
Cikeruh Ulah Rek Kiruh,
Kuduna Canembrang Herang
Nya Ieu Sirah Cai Cisempur,
Kudu Dirumat Sangkan Hirup Makmur
Didieu Tapak Sasaka,
Sirah Walungan Jadi Pusaka
Lamun Hirup Hayang Nanjung,
Piara Ieu Sirah Cikapundung
Ieu Sasaka Jadi Amanat,
Sirah Cai Kudu Dirumat
Ciri Bakti ka Lemah Cai,
Ku Miara Ieu Sirah Cai.
Cikeruh tidak boleh keruh
Harus tetap bersih dan bening
Inilah hulu air Cisempur
Harus diruwat agar hidup makmur
Disini jejak sasaka
Hulu sungai jadi pusaka
Kalau hidup ingin makmur sejahtera
Peliharalah hulu air Cikapundung ini
Sasaka ini jadi amanat
Hulu air mesti diruwat
Tanda bakti ke tanah air
Dengan memelihara Hulu air ini
Menjaga hulu air adalah salah satu cara menjaga kabuyutan. Amanah dalam danding di atas berisi sebuah etika bagaimana masyarakat sunda memperlakukan air. Karena air sangat penting bagi kesejahteraan manusia, maka air harus dijaga dan hormati dengan cara meruwatnya. Saya kira danding tersebut ketika dihubungkan dengan danding lain akan terlihat ada muatan ajaran kesiap-siagaan dalam menghadapi bencana. Danding tersebut adalah sebagai berikut:
Gununu-gunung di barubuh,
Tatangkalan di tuaran,
Cai Caah babanjiran,
Buana marudah motah.
Gunung-gunung diurug
Pohon-pohon di tebang
Air bah membanjiri
Bumi pun bergonjang-ganjing (gempa)
Sederhananya, meruwat hulu air juga berhubungan dengan persoalan kerusakan lingkungan dan faktor-faktor kebencanaan. Ketika hutan-hutan ditebang, datangnya banjir di musim hujan dan keringnya air sungai di musim kemarau plus gempa yang datang tiba-tiba, maka tidak lain ada hubungannya dengan perbuatan manusia. Dengan demikian ruwatan adalah salahsatu cara mitigasi bencana, agar lingkungan tetap dijaga jangan sampai rusak. Kalaupun terjadi kerusakan, maka yang harus diperbaiki bukan hanya daerah yang berada di daerah rendah saja, melainkan juga dari hulu sungainya. Langkah tersebut adalah perbaikan kerusakan dari sumber masalah penyebab munculnya bencana, bukan dari peri-peri, apalagi dari hilir.
Mitos-mitos air (banjir dan tsunami). Dalam pemahaman masyarakat Sunda, air bukan hanya menjadi identitas komunitas, tradisi ritual dan pandangan hidup, tetapi juga menjadi penghias mitos-mitos yang berkembang di masyarakat. Memang mitos tersebut tidak berbicara air secara langsung, namun sebagaimana umumnya mitos yang menyembunyikan kearifan dalam narasi yang samar dan simbol-simbol yang multitafsir. Di balik narasi dan simbol tersebut pada dasarnya terselip pesan-pesan masyarakat agar sadar bencana.
Setidaknya saya menggarisbawahi dua mitos yang saya sebut sebagai mitos banjir dan mitos tsunami. Mitos banjir terdapat dalam Sangiyang Tikoro. Sebetulnya mitos tersebut hanya berkembang di daerah Bandung dan sekitarnya. Kemudian mitos tsunami yang terdapat dalam cerita Nyi (Kangjeng) Ratu Kidul. Kedunya akan di bahas secara singkat di bawah ini.
Mitos Sanghyang Tikoro masih terdengar di Bandung yang disebarkan dari mulut ke mulut. Mitos ini kelihatannya muncul atas refleksi kondisi topografis daerah Bandung yang berupa cekungan berbentuk kuali. Daerah yang model ini rawan terkena genangan banjir, terutama daerah rendahnya. Refleksi tersebut kemudian didukung oleh pengetahuan yang menunjukkan bahwa Bandung pada awalnya adalah danau raksasa yang terjadi sejak ribuan tahun lalu.
Mitos Sanghyang Tikoro masih terdengar di Bandung yang disebarkan dari mulut ke mulut. Mitos ini kelihatannya muncul atas refleksi kondisi topografis daerah Bandung yang berupa cekungan berbentuk kuali. Daerah yang model ini rawan terkena genangan banjir, terutama daerah rendahnya. Refleksi tersebut kemudian didukung oleh pengetahuan yang menunjukkan bahwa Bandung pada awalnya adalah danau raksasa yang terjadi sejak ribuan tahun lalu.
Penggunaan istilah kabuyutan dapat ditelusuri lebih lanjut dalam sejarah, tidak saja di kalangan masyarakat Sunda, namun ternyata dijumpai pula dalam sejarah peradaban suku bangsa selain Sunda. Teknologi- dalam hal ini telematika atau sederhananya: teknologi internet – membantu kita dalam mencari rujukan penggunaan istilah kabuyutan. Berdasarkan penelusuran menggunakan internet (misalnya: surfing di internet dengan menggunakan kata kunci: “kabuyutan”), terdapat tidak kurang dari 65 situs (website) yang memuat istilah kabuyutan. Hasil pengamatan terhadap seluruh situs-situs tersebut, tak kurang dari 20 situs yang memuat istilah kabuyutan dengan makna atau rujukan pengertian yang berbeda. Berdasarkan pengamatan terhadap situs-situs yang memuat istilah tersebut, sedikitnya terdapat 10 arti, makna atau maksud istilah kabuyutan, yaitu:
1) Umumnya dikaitkan dengan makna utamanya sebagai tempat suci, tempat yang disucikan atau disakralkan, situs atau tempat keramat, situs atau prasasti, di (menurut) masyarakat Tatar Sunda
2) Nama tempat suci di kawasan luar Tatar Sunda, namun orang yang menggunakannya adalah orang Sunda (lihat misalnya: penggunaan istilah “kabuyutan Majapahit” oleh Bujangga Manik, seorang sejarawan Sunda yang hidup kl. Pada abad 15-16 M
3) Tempat-tempat suci yang dinamakan kabuyutan tersebut dapat berupa pertapaan, gunung[, sungai, atau kawasan kerajaan yang secara geografis dapat dijumpai sampai di luar wilayah Jawa Barat sekalipun.
4) Berarti leluhur atau karuhun atau nenek moyang
5) Berasal dari kata “buyut”, digunakan untuk menyebut larangan, tabu, atau pantangan dari leluhur sebagaimana dalam adat masyarakat Baduy;
6) Nama lembaga pendidikan dalam sejarah Tatar Sunda yang berlangsung sampai sebelum periode pesantren
7) Nama pedang pusaka kerajaan di yang terdapat di museum Sumedang dan diperlihatkan kepada masyarakat luas pada upacara tertentu
8) Dalam kepercayaan masyarakat Bali, bermakna leluhur yang berdiam di Kahiyangan; atau nama suatu jenis penyakit
9) Nama desa-desa di Jawa di masa lalu dan “Buyut” atau “Dhari” adalah nama pemimpin desa (kabuyutan) tersebut
10) Berarti musuh yang harus dijauhi atau musuh abadi (musuh bebuyutan)
Kabuyutan dalam makna yang kedua merupakan pemakaan lebih lanjut berdasarkan bukti-bukti serta kesetaraan argumentasi penggunaan istilah tersebut dalam sejarah. Pertama-tama, kabuyutan bermakna “kampung halaman” atau “tempat tinggal” kita masing-masing, baik dalam skala lokal maupun regional. Makna ini sangat relevan karena kampung halaman kita masing-masing pada dasarnya adalah benteng kelangsungan hidup masyarakat kita satu terhadap lainnya. Lahan-lahan pertanian harus dipertahankan agar tidak beralih fungsi menjadi pemukiman atau lahan kritis. Mataair-mataair yang banyak tersebar di kaki gunung dan kawasan lainnya harus dijaga agar tidak beralih fungsi menjadi sumber air minum kemasan milik segelintir orang. Hingga saat ini ancaman dan praktek “penguasaan lahan oleh orang lain” dalam bentuk alih fungsi dan sejenisnya masih berlangsung, baik di perkotaan maupun pedesaan.
_SUMBER_
Tidak ada komentar:
Posting Komentar