Nama : Nur Fajrina
NIM : 1111054000009
Tugas : Ekologi Sunda 1 ( KABUYUTAN )
Orang Kanekes atau orang Baduy/Badui adalah suatu kelompok masyarakat adat sub- etnis Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Populasi mereka sekitar 5.000 hingga 8.000 orang, dan mereka merupakan salah satu suku yang menerapkan isolasi dari dunia luar. Selain itu mereka juga memiliki keyakinan tabu untuk difoto, khususnya penduduk wilayah Baduy dalam.
TEU wasa. Demikianlah kalimat yang umum diucapkan orang Kanikis jika berhadapan dengan aturan tabu di kampungnya. Kita biasa menyebut mereka dengan sebutan orang Baduy, sebuah komunitas masyarakat yang sering diasosiasikan dengan keterbelakangan.
Ucapan tersebut merupakan sikap kepatuhan mereka terhadap tabu. Artinya tidak berani, tidak sanggup, atau tidak kuasa melanggarnya. Seperti yang diketahui, masyarakat Baduy memang masih mengikat diri dengan berbagai pantangan yang diwariskan secara turun temurun. Tanah yang didiami oleh orang Baduy, terutama Baduy tangtu atau Baduy dalam, dianggap suci oleh mereka. Sehingga haram hukumnya merusak kelestarian alam di sana.
Dalam bahasa mereka, berbagai tabu dan larangan itu disebut dengan istilah buyut (Judistira Garna, 1984). Lalu timbul istilah kabuyutan, yang bermakna tempat suci keagamaan, atau biasa juga disebut mandala. Budaya Sunda di masa lampau memang mengenal terminologi mandala dan nagara. Mandala merupakan representasi kehidupan reliji. Sedangkan nagara merupakan representasi kehidupan sosial-ekonomi-politik.
Dari sudut kosmologi, mandala dan nagara merupakan wujud keseimbangan antara aspek spiritual dengan material. Naskah Sunda kuno Amanat Galunggung menjelaskannya dengan konsep tapa di mandala tapa di nagara, yang merujuk kepada kesungguh-sungguhan dalam menjalankan tugasnya masing-masing (Atja, 1987). Tapa di mandala dilakukan oleh kaum agamawan, di antaranya dengan cara berdoa, melaksanakan upacara, serta memelihara tempat pemujaan. Sedangkan tapa di nagara dilakukan oleh pemerintah beserta seluruh lapisan masyarakat dengan giat bekerja sesuai profesinya masing-masing.
Pada masanya, keberlangsungan mandala dijamin, bahkan dilindungi oleh nagara. Ini tak lain lantaran mandala dipercaya memiliki berkah spiritual, seperti yang tersirat dalam Amanat Galunggung, "Siapa pun yang dapat menguasai kabuyutan di Galunggung, ia akan memperoleh kesaktian dalam tapanya, ia akan unggul perang, ia akan lama berjaya, ia akan mendapat kebahagiaan dari kekayaan secara turun temurun." Maka tak heran jika sang penulis Amanat Galunggung beranggapan, lebih berharga kulit musang di lahan pembuangan sampah (jarian) dari pada seorang raja yang tidak bisa melindungi kabuyutan-nya.
Antara nagara dengan mandala terpisah tempatnya. Nagara merupakan sebuah dayeuh atau pusat pemerintahan, yang jumlah penduduknya bisa mencapai puluhan ribu jiwa. Sedangkan mandala adalah sebuah desa kecil "eksklusif", yang secara geografis biasanya berada di tengah rimbunnya lereng pegunungan. Leuweung ganggong simagonggong kata orang Sunda. Contohnya seperti di Gunung Galunggung, Kendeng, atau Pulosari di daerah Pandeglang. Di desa-desa kecil tersebut diberlakukan berbagai tabu, yang secara tidak langsung juga berfungsi melestarikan lingkungan alam sekitar.
Setelah lama orang Sunda memeluk agama Islam, kabuyutan sebagai tempat suci keagamaan memang sudah tidak ada lagi. Yang tersisa hanyalah masyarakat Baduy di kaki pegunungan Kendeng, Kabupaten Lebak, Banten, yang tetap memilih agama leluhur Sunda Wiwitan. Namun pada perkembangan selanjutnya, kelestarian hutan yang seharusnya dipertahankan justru ikut terkikis habis. Seperti yang dilansir oleh DPKLTS, luas hutan di Jawa Barat yang tersisa sekarang kurang lebih tinggal 7% lagi (Majalah Karsa, Desember 2011).
Bencana banjir tahunan di sepanjang aliran sungai Citarum yang terjadi belum lama ini adalah salah satu dampaknya. Bahkan termasuk yang paling parah. Permasalahan Citarum memang anti klimaks. Padahal secara historis, sungai Citarum pernah memegang peranan penting. Selain pernah difungsikan sebagai lalu lintas transportasi air, Citarum juga beberapa kali dijadikan tapal batas kerajaan-kerajaan di Jawa Barat, seperti antara Banten dengan Cirebon, serta Galuh dengan Pajajaran.
Begitu pula dengan daerah di sekitar Gunung Wayang yang menjadi hulu sungai Citarum. Di lokasi yang sekarang terdapat banyak lahan kritis itu, ketika abad 16, (disinyalir) pernah hidup salah satu kabuyutan penting di era kerajaan Sunda. Hal itu terungkap dari naskah Bujangga Manik (Tiga Pesona Sunda Kuna, 2009). Naskah yang isinya berupa puisi epik tersebut mengisahkan perjalanan seorang pertapa bernama Bujangga Manik mengelilingi pulau Jawa. Dalam perjalanan yang kedua kalinya, Gunung Wayang dan telaga Cisanti termasuk yang dikunjungi oleh Bujangga Manik, selain Galunggung, Cikuray, dan Papandayan.
Meskipun kepercayaan terhadap kabuyutan sebagai sumber kekuatan spriritual sudah hilang sama sekali, bagaimana pun juga, kepercayaan kita terhadap hutan sebagai sumber berkah alam tidak mungkin hilang. Karena "kabuyutan" berupa hutan lebat ini masih tetap kita butuhkan. Yakni wilayah-wilayah konservasi alam serta ruang-ruang hijau lainnya, yang harus dijaga "kesuciannya" dari jamahan peradaban zaman. Serupa cangkang pada sisindiran yang bisa dilengkapi dengan eusi yang berbeda, demikianlah kabuyutan harus dimaknai kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar