Senin, 10 Maret 2014

Lutfi Amrullah Tugas1 konsep kabuyutan

-          Kabuyutan sebagai Nilai Pokok Kebudayaan Tatar Sunda

Nilai-nilai pokok atau dimensi paling penting dari suatu kebudayaan adalah nilai-nilai yang universal yang akan diterima oleh bangsa apa pun di dunia ini; atau nilai-nilai yang kebenarannya tidak perlu diperdebatkan lagi dan yang diperlukan hanyalah aplikasi atau pengamalannya. Nilai-nilai pokok adalah landasan, sumber, dan muara dimensi-dimensi atau nilai-nilai penting lainnya dari suatu kebudayaan. Apabila suatu bangsa berhasil merevitalisasi nilai-nilai pokok budayanya, maka bangsa tersebut berpeluang untuk meraih kembali kejayannya.
Salah satu dimensi paling penting dalam nilai-nilai universal kebudayaan Tatar Sunda adalah apa yang terangkum dalam istilah kabuyutan. Leluhur-leluhur Sunda sangat mewanti-wantikan anak keturunan dan masyarakatnya agar mereka benar-benar menjaga dan memelihara kabuyutan. Dalam salah satu naskah kuno Sunda dikatakan bahwa anak bangsa yang tidak mampu mempertahankan kabuyutan-nya jauh lebih hina dibanding kulit musang  yang tercampak di tempat sampah. Untuk identifikasi kandungan nilai-nilai dalam nilai pokok kabuyutan ini penting kiranya untuk mengenal penggunaan istilah kabuyutan dalam sejarah.
-         Sejarah Penggunaan Istilah "Kabuyutan"
Catatan atau peninggalan sejarah Sunda tertua yang memuat istilah kabuyutan sejauh ini adalah sebuah prasasti yang dikenal dengan prasasti Cibadak. Prasasti ini merupakan peninggalan Sri Jaya Bupati, seorang raja Sunda, yang dibuat antara 1006-1016 M, Prabu Sri Jaya Bhupati memerintah bersamaan saat di Kediri, Jawa Timur, memerintah Raja Airlangga. Dalam prasasti tersebut, Sri Jayabupati telah menetapkan sebagian dari Sungai Sanghyang Tapak, sebagai kabuyutan, yaitu tempat yang memiliki pantangan (larangan) untuk ditaati oleh segenap rakyatnya. Lebih jelasnya, di bawah ini dikutipkan kabuyutan dari Raja Sri Jayabupati dalam prasasti tersebut:
"Selamat, dalam tahun Saka 952 bulan Kartika tanggal 12 bagian terang hari Hariyang-Kliwon-Ahad wuku Tambir. Inilah saat raja Sunda Maharaja Sri Jayabhupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuana-mandaleswaranindita Harogowardana Wikramotunggadewa membuat tanda di sebelah Timur Sanghyang Tapak, dibuat oleh Sri Jayabhupati Raja Sunda dan jangan ada yang melanggar ketentuan di sungai ini. Jangan ada yang menangkap ikan di bagian sungai ini mulai dari batas daerah Kabuyutan Sanghyang Tapak dibagian hulu…"
Istilah kabuyutan selanjutnya terdapat dalam naskah kuna Sunda peninggalan abad ke-13, yaitu Naskah Ciburuy atau Naskah Galunggung yang terkenal sebagai "Amanat Galunggung" atau "Amanat Prabuguru Darmasiksa". Naskah Ciburuy ditemukan di daerah Ciburuy, Garut Selatan, dan disebut pula sebagai Kropak No. 632 dalam arsip Museum Nasional. Naskah ini ditulis pada daun nipah sebanyak 6 (enam) lembar yang terdiri atas 12 (dua belas) halaman; mengunakan aksara Sunda Kuno (H.R. Hidayat Suryalaga, 2002). "Amanat Galunggung" adalah peninggalan raja Sunda Prabuguru Darmasiksa (1175 – 1297 M), yaitu nasehat-nasehat beliau kepada anak keturunannya dan semua rakyatnya. Amanat ini berupa cecekelan hirup (pegangan hidup), ulah (larangan), dan kudu (keharusan) yang harus dipegang teguh oleh semua urang Sunda agar jaya sebagai bangsa. Isi naskah kuno ini menunjukkan bahwa dalam budaya Sunda telah terdapat pandangan hidup atau visi ajaran hidup sejak abad 13 – 15 M, diantaranya yang memuat istilah kabuyutan, adalah:
-       Harus dijaga kemungkinan orang asing dapat merebut kabuyutan (tanah yang disakralkan).
-       Siapa saja yang dapat menduduki kabuyutan (tanah yang disakralkan) Galunggung, akan beroleh kesaktian, unggul perang, berjaya, bisa mewariskan kekayaan sampai turun temurun.
-       Bila terjadi perang, pertahankanlah kabuyutan yang disucikan itu.
-       Cegahlah kabuyutan jangan sampai dikuasai orang asing.
-    Lebih berharga kulit lasun (musang) yang berada di tempat sampah dari pada raja putra yang tidak bisa mempertahankan kabuyutan-nya.
-     Jangan tidak berbakti kepada leluhur yang telah mampu mempertahankan tanahnya (kabuyutan-nya) pada jamannya.
Istilah kabuyutan juga terdapat dalam Prasasti Kebantenan (PKb) V, yaitu prasasti nomer 5 peninggalan Sribaduga (Prabu Siliwangi), Raja Pajajaran yang pertama dan termashur pada sekitar abad 14 M. Terjemahan berikut adalah kutipan isi Prasasti Kebantenan V (Saleh Danasasmita, dkk., 1984:
"Ini piagam (dari) yang pindah ke Pajajaran. Memberikan piagam kepada kabuyutan di Sunda Sembawa. Semoga ada yang megurusnya. Jangan ada yang menghapuskan atau mengganggunya. Bila ada yang bersikeras menginjak daerah Sunda Sembawa aku perintahkan agar dibunuh karena tempat itu daerah kediaman para pendeta."
Penggunaan istilah kabuyutan dapat ditelusuri lebih lanjut dalam sejarah, tidak saja di kalangan masyarakat Sunda, namun ternyata dijumpai pula dalam sejarah peradaban suku bangsa selain Sunda. Teknologi- dalam hal ini telematika atau sederhananya: teknologi internet – membantu kita dalam mencari rujukan penggunaan istilah kabuyutan. Berdasarkan penelusuran menggunakan internet (misalnya: surfing di internet dengan menggunakan kata kunci: "kabuyutan"), terdapat tidak kurang dari 65 situs (website) yang memuat istilah kabuyutan. Hasil pengamatan terhadap seluruh situs-situs tersebut, tak kurang dari 20 situs yang memuat istilah kabuyutan dengan makna atau rujukan pengertian yang berbeda. Berdasarkan pengamatan terhadap situs-situs yang memuat istilah tersebut, sedikitnya terdapat 10 arti, makna atau maksud istilah kabuyutan, yaitu:
1)      Umumnya dikaitkan dengan makna utamanya sebagai tempat suci, tempat yang disucikan atau disakralkan, situs atau tempat keramat, situs atau prasasti, di (menurut) masyarakat Tatar Sunda.
2)      Nama tempat suci di kawasan luar Tatar Sunda, namun orang yang menggunakannya adalah orang Sunda (lihat misalnya: penggunaan istilah "kabuyutan Majapahit" oleh Bujangga Manik, seorang sejarawan Sunda yang hidup kl. Pada abad 15-16 M);
3)      Tempat-tempat suci yang dinamakan kabuyutan tersebut dapat berupa pertapaan, gunung, sungai, atau kawasan kerajaan yang secara geografis dapat dijumpai sampai di luar wilayah Jawa Barat sekalipun.
4)      Berarti leluhur atau karuhun atau nenek moyang
5)      Berasal dari kata "buyut", digunakan untuk menyebut larangan, tabu, atau pantangan  dari leluhur sebagaimana dalam adat masyarakat Baduy;
6)      Nama lembaga pendidikan dalam sejarah Tatar Sunda yang berlangsung sampai sebelum periode pesantren
7)      Nama pedang pusaka kerajaan di yang terdapat di museum Sumedang dan diperlihatkan kepada masyarakat luas pada upacara tertentu
8)      Dalam kepercayaan masyarakat Bali, bermakna leluhur yang berdiam di Kahiyangan; atau nama suatu jenis penyakit
9)      Nama desa-desa di Jawa di masa lalu dan "Buyut" atau "Dhari" adalah nama pemimpin desa (kabuyutan) tersebut
10)   Berarti musuh yang harus dijauhi atau musuh abadi (musuh bebuyutan)
-         Makna Kabuyutan dan Revitalisasinya
Pemahaman yang mendalam terhadap sejarah penggunaan istilah kabuyutan akan melahirkan beberapa tingkatan makna kabuyutan, meliputi makna aslinya maupun pengembangan pemaknaan dalam rangka revitalisasi (nilai-nilai) kebudayaan. Dalam kaitan konteks demikian, maka terdapat tingkatan-tingkatan makna kabuyutan sebagai berikut: 1) kabuyutan sebagai tempat yang suci atau tempat yang disakralkan beserta segala kandungan isinya, baik yang tampak (tangible) maupun tak tampak (inatngible), 2) kabuyutan dalam arti tempat tinggal (atau kampung halaman atau tanah air dalam arti sempit); dan tanah air (regional maupun nasional)  beserta segenap kekayaan alam dan sosial budayanya dan   makna lainnya yang merupakan makna revitalisasi.
Makna kabuyutan sebagai tempat suci merupakan makna asli atau makna yang paling sering digunakan di masa lalu. Menurut Ayatrohaedi, tempat suci ini di kalangan masyarakat Sunda setara dengan tempat yang dikeramatkan beserta kandungan di dalamnya. Dalam kaitan ini, maka makna kabuyutan setara dengan situs, tempat-tempat yang dianggap suci atau dikeramatkan, prasasti berikut benda cagar budaya, tatanan air, tumbuhan, bentang alam serta seluruh kandungan diversitas bio-geo-fisik-sosial-budaya lainnya yang terdapat di dalamnya. Seluruh situs, cagar budaya, dan tempat serta benda-benda lainnya yang menjadi peninggalan/bukti sejarah adalah kabuyutan. Tempat-tempat tersebut disucikan atau dikeramatkan karena fungsinya sebagai penyangga keberlanjutan kehidupan bersama seluruh warga masyarakat.
Kabuyutan dalam makna yang kedua merupakan pemakaan lebih lanjut berdasarkan bukti-bukti serta kesetaraan argumentasi penggunaan istilah tersebut  dalam sejarah. Pertama-tama,  kabuyutan bermakna "kampung halaman" atau "tempat tinggal" kita masing-masing, baik dalam skala lokal maupun regional. Makna ini sangat relevan karena kampung halaman kita masing-masing pada dasarnya adalah benteng kelangsungan hidup masyarakat kita satu terhadap lainnya. Lahan-lahan pertanian harus dipertahankan agar tidak beralih fungsi menjadi pemukiman atau lahan kritis. Mataair-mataair yang banyak tersebar di kaki gunung dan kawasan lainnya harus dijaga agar tidak beralih fungsi menjadi sumber air minum kemasan milik segelintir orang. Hingga saat ini ancaman dan praktek "penguasaan lahan oleh orang lain" dalam bentuk alih fungsi dan sejenisnya masih berlangsung, baik di perkotaan maupun pedesaan.
Makna, kabuyutan yang senantiasa dipesankan untuk selalu dijaga dan dipertahankan itu, dapat diperluas  menjadi "ibu pertiwi" atau "tanah air".  Tanah air dalam arti luas yaitu wilayah negara yang merupakan kesatuan tanah dan air yang menjadi milik negara. Tanah air dengan seluruh kandungannya berupa: air, tanah, lahan, keanekaragaman hayati (flora dan fauna) dan keragaman bentukan alam, lingkungan-lingkungan strategis dan sumber penting penghidupan dan kehidupan masyarakat, baik fisik maupun sosial budaya. Pengertian ini membawa kepada hasil pemaknaan  berikutnya: kebuyutan sebagai lingkungan hidup.
Yang terakhir, kabuyutan dalam makna lingkungan sosial budaya. Dalam kaitan ini, sebagaimana catatan sejarah juga mengindikasikannya, kabuyutan berati segenap kandungan nilai-nilai, ilmu pengetahuan dan teknologi, aspek sosial dan budaya yang telah dan mungkin dapat dikembangkan dari kandungan kabuyutan secara fisik. Pengertian ini meliputi unsur: pendidikan dan pembelajaran, kandungan bahan pengembangan sain dan teknologi, bahasa dan sastera, kesenian; dan kandungan sejarah, filologi dan arkeologi. Pada gilirannya, kabuyutan akan terkait erat dengan unsur ekonomi, sosial dan politik.
Demikianlah, kabuyutan untuk pembangunan kebudayaan dapat kita pandang sebagai salah satu nilai-nilai pokok dari Kebudayaan Tatar Sunda. Dari sudut pandang pembagian unsur kebudayaan, dimensi penting kabuyutan  ini memuat kandungan multi nilai, diantaranya: sistem religi dan kepercayaan yang terkandung dalam situs, tempat keramat atau sakral; pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi; sejarah, arkeologi dan filologi; lingkungan, arsitektur dan tatanan alam lainnya; bahasa dan kesenian. Dimensi kabuyutan akhirnya berkaitan erat dengan unsur ekonomi, sosial, dan politik, sehingga secara keseluruhan kabuyutan mengandung muatan nilai-nilai seluruh unsur kebudayaan.
Daftar Rujukan
[1] alias Oman Abdurahman, peneliti pada Bujangga Manik Research Center (BMRC), Ketua Lembaga Jajar Paku Desa (LJPD) untuk Kemitraan dan Penguatan Masyarakat Pedesaan.
[2] Dede Mariana dan Caroline Paskarina, 2005, Revitalisasi Nilai-nilai Budaya Sunda bagi Penciptaan Local Good Governance di Jawa Barat, Makalah Seminar Pembangunan Berbasis Budaya Sunda, Bandung, 2005
[3] A. Chaedar Alwasilah, M. A, Ph.D, 2001, KISB Upaya Revitalisasi Jatidiri, Sambutan pada "Pewarisan Budaya Sunda di Tengah Arus Globalisasi, Laporan KIBS, Yayasan Rancage, Bandung
[4] W.S. Rendra, 2005, ceramah umum di UNSIL, Tasikmalaya, pernah dimuat di Harian Pikiran Rakyat
[5] Umar Kayam, 1981, Seni, Tradisi, Masyarakat, Sinar Harapan, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini