Senin, 10 Maret 2014

Syifa Thoyyibah. PMI 6. Tugas Mata Kuliah Ekologi Manusia

.Syifa Thoyyibah. Tugas Mata Kuliah Ekologi Manusia

KABUYUTAN SUNDA

Antara manusia dan alam mempunyai ketergantungan yang tinggi satu sama lain. Sehingga eksistensi alam adalah eksistensi manusia, dan sebaliknya.
Konsepsi alam yang ekologis tersebut kemudian mengarahkan kepada pandangan alam, terutama air, sebagai yang “sakral.” Makna air/tanah air sendiri dalam kamus bahasa Sunda (Danadiberata:2006) sepadan dengan kata “kabuyutan” yang mempunyai beberapa makna antara lain: hulu air, hutan, tempat tinggal manusia, dan juga barang-barang kerajaan yang dikeramatkan. Sakralitas kabuyutan sebenarnya bukan disebabkan karena daya magisnya, melainkan karena vitalitasnya bagi kelangsungan hidup manusia. Dengan kata lain, sakralitas kabuyutan tersebut ditujukan untuk menjamin semua yang dibutuhkan manusia itu tersedia di alam. 

Menurut wikipedia, istilah Kabuyutan dalam agama Sunda setidaknya sudah ada pada awal abad ke-11 M. Prasasti Sanghyang Tapak yang dibuat kira-kira tahun 1006-1016 M, menerangkan bahwa Prabu Sri Jayabupati (selaku Raja Sunda) sudah menetapkan sebagian dari wilayah walungan Sanghyang Tapak (ketika itu) selaku kabuyutan, yaitu tempat yang mempunyai pantangan yang harus dituruti oleh semua rakyatnya. Istilah ini terbentuk dari kata dasar buyut. Adapun kata buyut mengandung dua arti. Pertama, turunan keempat (anak dari cucu) atau leluhur keempat (orang tua dari nenek dan kakek). Kedua, pantangan atau tabu alias cadu atau pamali.
Ada kalanya kabuyutan berfungsi sebagai kata sifat. Kata ini mengandung konotasi pada pertautan antargenerasi, bentangan waktu yang panjang, dan hal-ihwal yang dianggap keramat atau suci. Benda-benda tertentu, peninggalan para leluhur kerap dianggap kabuyutan, misalnya goong kabuyutan. Adapun satru kabuyutan alias musuh kabuyutan berarti musuh yang turun-temurun, dan sukar berakhir.
Kata ini juga bisa berfungsi sebagai kata benda. Dalam hal ini, arti kabuyutan merujuk pada tempat-tempat tertentu yang dianggap sakral. Wujudnya bisa berupa bangunan, tapi bisa juga berupa lahan terbuka yang ditumbuhi pepohonan. Wilayah Kanekes di Kecamatan Leuwidamar, Banten, adalah salah satu contoh kabuyutan.
Sebagai kata benda, kabuyutan punya arti yang lebih spesifik, yakni tempat pendeta atau pujangga dahulu kala bekerja, atau tempat kegiatan religius. Di kabuyutanlah orang-orang terpelajar itu menulis naskah, mengajarkan ilmu agama, atau memanjatkan doa.
Sebagai tempat kegiatan religius, kabuyutan kiranya memperlihatkan salah satu jejak kebudayaan Sundayana di tatar Parahyangan. Kadang-kadang tempat tersebut disebut pula mandala.
Mengingat pentingnya kabuyutan, maka dalam naskah Amanah Galunggung (633) ditegaskan bahwa kabuyutan harus dijaga dari kemungkinan orang luar merebutnya. Poin pentingnya, menjaga kabuyutan sama dengan menjaga kehormatan. Salah satu butir dari amanah galunggung menyebutkan: Lebih berharga kulit musang yang berada di tempat sampah dari pada raja putra yang tidak bisa mempertahankan tanah airnya. Dengan cara bagaimana kabuyutan tersebut harus dijaga? Ada sebuah teks danding yang berhubungan dengan persoalan ini yang mengatakan:
Cikeruh Ulah Rek Kiruh, Kuduna Canembrang Herang Nya Ieu Sirah Cai Cisempur, Kudu Dirumat Sangkan Hirup Makmur Didieu Tapak Sasaka, Sirah Walungan Jadi Pusaka Lamun Hirup Hayang Nanjung, Piara Ieu Sirah Cikapundung Ieu Sasaka Jadi Amanat, Sirah Cai Kudu Dirumat
Ciri Bakti ka Lemah Cai, Ku Miara Ieu Sirah Cai.
Cikeruh tidak boleh keruh Harus tetap bersih dan bening Inilah hulu air Cisempur Harus dirawat agar hidup makmur. Disini jejak sasaka Hulu sungai jadi pusaka Kalau hidup ingin makmur sejahtera Peliharalah hulu air Cikapundung ini. Sasaka ini jadi amanat Hulu air mesti dirawat. Tanda bakti ke tanah air
Dengan memelihara Hulu air ini
Menjaga hulu air adalah salah satu cara menjaga kabuyutan. Amanah dalam danding di atas berisi sebuah etika bagaimana masyarakat sunda memperlakukan air. Karena air sangat penting bagi kesejahteraan manusia, maka air harus dijaga dan hormati dengan cara merawatnya. Saya kira danding tersebut ketika dihubungkan dengan danding lain akan terlihat ada muatan ajaran kesiap-siagaan dalam menghadapi bencana. Danding tersebut adalah sebagai berikut:
Gunung-gunung di barubuh,Tatangkalan di tuaran,Cai Caah babanjiran,Buana marudah motah.Gunung-gunung diurugPohon-pohon di tebangAir bah membanjiri, Bumi pun bergonjang-ganjing (gempa).
Sederhananya, merawat hulu air juga berhubungan dengan persoalan kerusakan lingkungan dan faktor-faktor kebencanaan. Ketika hutan-hutan ditebang, datangnya banjir di musim hujan dan keringnya air sungai di musim kemarau plus gempa yang datang tiba-tiba, maka tidak lain ada hubungannya dengan perbuatan manusia. Dengan demikian ruwatan adalah salah satu cara mitigasi bencana, agar lingkungan tetap dijaga jangan sampai rusak. Kalaupun terjadi kerusakan, maka yang harus diperbaiki bukan hanya daerah yang berada di daerah rendah saja, melainkan juga dari hulu sungainya. Langkah tersebut adalah perbaikan kerusakan dari sumber masalah penyebab munculnya bencana, bukan dari peri-peri, apalagi dari hilir.
Mitos-mitos air (banjir dan tsunami) Dalam pemahaman masyarakat Sunda, air bukan hanya menjadi identitas komunitas, tradisi ritual dan pandangan hidup, tetapi juga menjadi penghias mitos-mitos yang berkembang di masyarakat. Memang mitos tersebut tidak berbicara air secara langsung, namun sebagaimana umumnya mitos yang menyembunyikan kearifan dalam narasi yang samar dan simbol-simbol yang multitafsir. Di balik narasi dan simbol tersebut pada dasarnya terselip pesan-pesan masyarakat agar sadar bencana.
Kabuyutan-kabuyutan lain yang muncul kemudian, yang merupakan 'turunan' dari kabuyutan Galunggung banyak tersebar di wilayah Jawa Barat, diantaranya Denuh, Ciburuy, Sumedang, Linggawangi, dan Panjalu. Seperti halnya di Galunggung, kabuyutan-kabuyutan ini pun dipimpin oleh raja pandita bergelar Batara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini