KABUYUTAN
Istilah Kabuyutan dalam agama Sunda setidaknya sudah ada pada awal abad ke-11 M. Prasasti Sanghyang Tapak yang dibuat kira-kira tahun 1006-1016 M, menerangkan bahwa Prabu Sri Jayabupati (selaku Raja Sunda) sudah menetapkan sebagian dari wilayah walungan Sanghyang Tapak (ketika itu) selaku kabuyutan, yaitu tempat yang mempunyai pantangan yang harus dituruti oleh semua rakyatnya.
Nilai-nilai pokok atau dimensi paling penting dari suatu kebudayaan adalah nilai-nilai yang universal yang akan diterima oleh bangsa apa pun di dunia ini; atau nilai-nilai yang kebenarannya tidak perlu diperdebatkan lagi dan yang diperlukan hanyalah aplikasi atau pengamalannya. Nilai-nilai pokok adalah landasan, sumber, dan muara dimensi-dimensi atau nilai-nilai penting lainnya dari suatu kebudayaan. Apabila suatu bangsa berhasil merevitalisasi nilai-nilai pokok budayanya, maka bangsa tersebut berpeluang untuk meraih kembali kejayannya.
Salah satu dimensi paling penting dalam nilai-nilai universal kebudayaan Tatar Sunda adalah apa yang terangkum dalam istilah kabuyutan. Leluhur-leluhur Sunda sangat mewanti-wantikan anak keturunan dan masyarakatnya agar mereka benar-benar menjaga dan memelihara kabuyutan. Dalam salah satu naskah kuno Sunda dikatakan bahwa anak bangsa yang tidak mampu mempertahankan kabuyutan-nya jauh lebih hina dibanding kulit musang yang tercampak di tempat sampah. Untuk identifikasi kandungan nilai-nilai dalam nilai pokok kabuyutan ini penting kiranya untuk mengenal penggunaan istilah kabuyutan dalam sejarah.
Istilah kabuyutan selanjutnya terdapat dalam naskah kuna Sunda peninggalan abad ke-13, yaitu Naskah Ciburuy atau Naskah Galunggung yang terkenal sebagai "Amanat Galunggung" atau "Amanat Prabuguru Darmasiksa". Naskah Ciburuy ditemukan di daerah Ciburuy, Garut Selatan, dan disebut pula sebagai Kropak No. 632 dalam arsip Museum Nasional. Naskah ini ditulis pada daun nipah sebanyak 6 (enam) lembar yang terdiri atas 12 (dua belas) halaman; mengunakan aksara Sunda Kuno (H.R. Hidayat Suryalaga, 2002)[12]. "Amanat Galunggung" adalah peninggalan raja Sunda Prabuguru Darmasiksa (1175 – 1297 M), yaitu nasehat-nasehat beliau kepada anak keturunannya dan semua rakyatnya. Amanat ini berupa cecekelan hirup (pegangan hidup), ulah (larangan), dan kudu (keharusan) yang harus dipegang teguh oleh semua urang Sunda agar jaya sebagai bangsa. Isi naskah kuno ini menunjukkan bahwa dalam budaya Sunda telah terdapat pandangan hidup atau visi ajaran hidup sejak abad 13 – 15 M, diantaranya yang memuat istilah kabuyutan, adalah:
ü Harus dijaga kemungkinan orang asing dapat merebut kabuyutan (tanah yang disakralkan).
ü Siapa saja yang dapat menduduki kabuyutan (tanah yang disakralkan) Galunggung, akan beroleh kesaktian, unggul perang, berjaya, bisa mewariskan kekayaan sampai turun temurun.
ü Bila terjadi perang, pertahankanlah kabuyutan yang disucikan itu.
ü Cegahlah kabuyutan jangan sampai dikuasai orang asing.
ü Lebih berharga kulit lasun (musang) yang berada di tempat sampah dari pada raja putra yang tidak bisa mempertahankan kabuyutan-nya.
ü Jangan tidak berbakti kepada leluhur yang telah mampu mempertahankan tanahnya (kabuyutan-nya) pada jamannya.
Salah satu contoh sejarah peninggalan kabuyutan gunung galunggung.
Jika masyarakat Arabia mengenal Mekkah dan Yerusalem sebagai wilayah keramat, maka di tatar Sunda orang mengenal Galunggung sebagai sebuah kabuyutan.
Di Mekkah terdapat 'maqom' (bekas petilasan) Ibrahim, maka di Galunggung terdapat 'sanghyang tapak Parahyangan' (bekas petilasan para leluhur awal).
Seorang sesepuh bernama Aki Anang alias Raden Anang Daryan Jayadikusumah" (1926 - 2000), pemimpin kelompok kebatinan 'jati Sunda' yang juga keturunan Batara di Galunggung, pernah menuturkan berita turun-temurun kurang lebih sebagai berikut :
Bahwasanya pada jaman yang telah lampau sekali, tatar Sunda adalah daerah perairan yang hanya terdapat satu daratan yang tidak terlalu luas (jaman air). Daerah tertinggi dari daratan itu adalah puncak dari sebuah gunung yang kini disebut Galunggung. Pada jaman itu puncak Galunggung adalah daratan tertinggi di tatar Sunda.
Pada hari yang diberkahi, tibalah sebuah perahu besar yang memuat banyak sekali manusia dan hewan peliharaan. Sebagian orang-orang perahu itu turun dan tinggal menetap membangun komunitas manusia yang baru. Itulah nenek moyang manusia Sunda sekarang, dan menjadikan Galunggung sebagai sebuah kabuyutan atau 'sanghyang tapak Parahyangan'.
Galunggung sebagai sebuah kabuyutan nyata disebut dalam guratan naskah lontar yang temukan di Ciburuy, Garut, yakni sebuah naskah yang setelah diteliti merupakan naskah lontar tertua di Indonesia dengan kode Kropak 632. Kropak 632 ini diperkirakan dibuat pada tahun 1030-an masehi.
Dalam naskah itu diberitakan bahwa Rakeyan Darmasiksa memberikan petuah kepada anak
cucunya tentang pegangan hidup, dan bahwa kabuyutan di Galunggung harus dijaga dan dipertahankan agar tidak dikuasai oleh orang asing (Danasasmita, 2006).
Pesan Sang Darmasiksa bahwa Galunggung jangan sampai dikuasai orang asing nampaknya mirip dengan larangan bagi kaum non muslim memasuki tanah al Haram di Makkah (tanah larangan di Mekkah, Arab Saudi).
Mengapa kabuyutan perlu dijaga, tentulah karena kabuyutan adalah cikal dan simbol jatidiri. Rusaknya kabuyutan Galunggung berarti pudarnya jatidiri dan nilai-nilai asli yang khas dari masyarakat Sunda! Pesan Rakeyan Darmasiksa yang termuat dalam Kropak 632 dibukukan oleh Atja (1929-1991) dan Saleh Danasasmita (1933--1986) dengan judul 'Amanat Galunggung' (diterbitkan oleh Proyek Pengembangan Musium Jawa Barat).
Wibawa Galunggung sebagai sebuah kabuyutan, nampak pula dari petikan 'Babad Tanah Jawi ' dan 'Carita Parahyangan', bahwasanya putra sulung Raja Galuh yang bernama Sempak Waja menjadi Batara (raja pandita) di Galunggung dengan gelar Batara Dangiang Guru, yang melantik raja-raja yang akan berkuasa.
Kedudukan Batara di Galunggung yang amat tinggi didukung pula oleh penemuan naskah kuno lain dengan kode Kropak 406, yang isinya menerangkan kurang lebih sekitar tahun 1030-an, datanglah Darmasiksa (Sri Jayabupati) menghadap Batara keturunan Batara Dangiang Guru Sempak Waja, meminta wilayah yang kemudian diberi nama oleh Batara yang berkuasa itu sebagai 'tempat tinggal Sang Karma' (Saunggalah). Darmasiksa atau Sri Jayabupati menurut Carita Parahyangan adalah anak dari Sang Lumahing Winduraja. Sedangkan menurut naskah Pangeran Wangsakerta, Jayabupati adalah Raja Sunda ke-20 yang memerintah tahun 1030-1042 (Ekadjati, 2005).
Demikianlah Galunggung disebut sebagai kabuyutan, sebagai 'sanghyang tapak Parahyangan' yang sangat dikeramatkan dan dijaga oleh para 'raja pandita' (Batara) yang memiliki kekuasaan yang sangat tinggi di atas raja-raja biasa.
Kabuyutan-kabuyutan lain yang muncul terkemudian, yang merupakan 'turunan' dari kabuyutan Galunggung banyak tersebar di wilayah Jawa Barat, diantaranya Denuh, Ciburuy, Sumedang, Linggawangi, dan Panjalu. Seperti halnya di Galunggung, kabuyutan-kabuyutan ini pun dipimpin oleh raja pandita bergelar Batara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar