Kabuyutan
Definisi kabuyutan
Kabuyutan yaitu tempat pemuka kerajaan, pendeta atau punjagga dahulu kala bekerja, atau tempat kegiatan religius. contohnya berupa situs seluas lima hektare dengan kekayaan peninggalan sejarah di mana terdapat prasasti, berbagai jenis pepohonan, dan tetumbuhan.
Kabuyutan juga bisa diartikan merujuk pada suatu tempat yang dike-ramatkan, tempat yang mempunyai pantangan, dan merupakan tempat-tempat tertentu yang dianggap sakral. Misalnya Kabuyutan di Jawa Barat wilayah Sang Hyang Tapak di Sukabumi dan Kanekes di kecamatan Leuwidamar Banten.
Bagi para fiolog, kabuyutan cenderung diartikan sebagai skiptorum, yaitu tempat membuat dan menyimpan naskah. Kabuyutan Ciburuy, di kaki Gunung Cikuray, Kecamatan Bayongbong, Kabupaten Garut adalah salah satu contohnya. Kabuyutan ini terletak lebih kurang 20 km di sebelah selatan Kota Garut.
Sebagai kata benda, kabuyutan pu-nya arti yang lebih spesifik, yaitu sebagai sacred place atau devasasana; tempat pemuka kerajaan, pendeta atau pujangga dahulu kala bekerja, atau tempat kegiatan religius. Di kabuyutan-lah orang-orang terpelajar itu menulis naskah, mengajarkan ilmu agama, atau memanjatkan doa. Sebagai tempat kegiatan religius, kabuyutan kiranya memperlihatkan salah satu jejak kebudayaan Hindu di tatar Sunda. Kadang-kadang tempat tersebut disebut pula mandala. Astana Gede di Kawali adalah contoh kabuyutan berupa situs seluas lima hektare dengan kekayaan peninggalan sejarah di mana terdapat prasasti, susunan batu dan lingga, ma-kam kuno, berbagai jenis pepohonan, dan tetumbuhan. Di wilayah yang asri dan rapat oleh pepohonan itu terdapat mata air Cikawali yang konon airnya tidak pernah kering walaupun di musim kemarau.
Dalam mengelola hutan, masyarakat Baduy di Kanekes menjadi contoh yang baik bagaimana manusia menjaga alam, termasuk dengan menjaga hutan sebagai sumber penghidupan mereka. Bagi masyarakat Baduy, hutan memegang peran penting kehidupan dan mata pencaharian. Keberadaan masyarakat Baduy menurut sejarah dan kepercayaan adalah dalam rangka menjaga hutan dan mata air Sungai Ciujung yang menjadi sungai utama pada jaman Kerajaan Pajajaran waktu itu. Pengolahan tanah dilakukan sesedikit mungkin tanpa mengubah kontur tanah. Di hutan tertentu, pengolahan tanah untuk pertanian hanya untuk hal substansial bertahan hidup saja tanpa dikomersialkan untuk perda-gangan. Bahkan hewan ternak berkaki empat pun dijaga untuk masuk ke wilayah hutan yang ditabukan. Hal tersebut untuk mencegah agar bekas injakan dan kebutuhan makanan atas daun-daunan ternak tersebut tidak mengganggu kelestarian hutan.
Para raja leluhur Sunda dahulu menjaga wilayah kabuyutan dengan sumpah dan perintah yang tegas bahkan dengan hukuman mati bagi siapa yang mengganggu dan merusaknya. Tidak hanya Prabu Jayabhupati yang sangat tegas dalam menghukum perusak wilayah kabuyutan. Dalam prasasti Kebantenan III terdapat supata atau perintah dari Sang Prabu Sri Baduga sebagai berikut: "Ini piagam (dari) yang pindah ke Pajajaran. Memberikan piagam kepada kabuyutan di Sunda Sembawa. Semoga ada yang mengurusnya. Jangan ada yang menghapuskan atau mengganggunya. Bila ada yang bersikeras menginjak daerah Sunda Sembawa, aku perintahkan agar dibunuh karena tempat itu daerah kediaman para pendeta."
Dalam mengelola hutan, masyarakat Baduy di Kanekes menjadi contoh yang baik bagaimana manusia menjaga alam, termasuk dengan menjaga hutan sebagai sumber penghidupan mereka. Bagi masyarakat Baduy, hutan memegang peran penting kehidupan dan mata pencaharian. Keberadaan masyarakat Baduy menurut sejarah dan kepercayaan adalah dalam rangka menjaga hutan dan mata air Sungai Ciujung yang menjadi sungai utama pada jaman Kerajaan Pajajaran waktu itu. Pengolahan tanah dilakukan sesedikit mungkin tanpa mengubah kontur tanah. Di hutan tertentu, pengolahan tanah untuk pertanian hanya untuk hal substansial bertahan hidup saja tanpa dikomersialkan untuk perda-gangan. Bahkan hewan ternak berkaki empat pun dijaga untuk masuk ke wilayah hutan yang ditabukan. Hal tersebut untuk mencegah agar bekas injakan dan kebutuhan makanan atas daun-daunan ternak tersebut tidak mengganggu kelestarian hutan.
Para raja leluhur Sunda dahulu menjaga wilayah kabuyutan dengan sumpah dan perintah yang tegas bahkan dengan hukuman mati bagi siapa yang mengganggu dan merusaknya. Tidak hanya Prabu Jayabhupati yang sangat tegas dalam menghukum perusak wilayah kabuyutan. Dalam prasasti Kebantenan III terdapat supata atau perintah dari Sang Prabu Sri Baduga sebagai berikut: "Ini piagam (dari) yang pindah ke Pajajaran. Memberikan piagam kepada kabuyutan di Sunda Sembawa. Semoga ada yang mengurusnya. Jangan ada yang menghapuskan atau mengganggunya. Bila ada yang bersikeras menginjak daerah Sunda Sembawa, aku perintahkan agar dibunuh karena tempat itu daerah kediaman para pendeta."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar