TUGAS1_EKOLOGI MANUSIA_KONSEP KABUYUTAN
Iis Sudiyanti_1111054000006_PMI6
Istilah Kabuyutan dalam agama Sunda setidaknya sudah ada pada awal abad ke-11 M. Prasasti Sanghyang Tapak yang dibuat kira-kira tahun 1006-1016 M, menerangkan bahwa Prabu Sri Jayabupati (selaku Raja Sunda) sudah menetapkan sebagian dari wilayah walungan Sanghyang Tapak (ketika itu) selaku kabuyutan, yaitu tempat yang mempunyai pantangan yang harus dituruti oleh semua rakyatnya. Istilah ini terbentuk dari kata dasar buyut. Adapun kata buyut mengandung dua arti.
Pertama, turunan keempat (anak dari cucu) atau leluhur keempat (orang tua dari nenek dan kakek). Kedua, pantangan atau tabu alias cadu atau pamali.
Ada kalanya kabuyutan berfungsi sebagai kata sifat. Kata ini mengandung konotasi pada pertautan antargenerasi, bentangan waktu yang panjang, dan hal-ihwal yang dianggap keramat atau suci. Benda-benda tertentu, peninggalan para leluhur kerap dianggap kabuyutan, misalnya goong kabuyutan. Adapun satru kabuyutan alias musuh kabuyutan berarti musuh yang turun-temurun, dan sukar berakhir. Kata ini juga bisa berfungsi sebagai kata benda. Dalam hal ini, arti kabuyutan merujuk pada tempat-tempat tertentu yang dianggap sakral. Wujudnya bisa berupa bangunan, tapi bisa juga berupa lahan terbuka yang ditumbuhi pepohonan.
Di kabuyutanlah orang-orang terpelajar itu menulis naskah, mengajarkan ilmu agama, atau memanjatkan doa. Sebagai tempat kegiatan religius, kabuyutan kiranya memperlihatkan salah satu jejak kebudayaan Sundayana di tatar Parahyangan. Kadang-kadang tempat tersebut disebut pula mandala.Bagi para filolog, kabuyutan cenderung diartikan sebagai skriptorium, yaitu tempat membuat dan menyimpan naskah. Kabuyutan Ciburuy, di kaki Gunung Cikuray, Kecamatan Bayongbong,Kabupaten Garut, adalah salah satu contohnya. Kabuyutan ini terletak lebih kurang 20 km di sebelah selatan Kota Garut.
Sedikitnya terdapat 10 arti, makna atau maksud istilah kabuyutan, yaitu:
1) Umumnya dikaitkan dengan makna utamanya sebagai tempat suci, tempat yang disucikan atau disakralkan, situs atau tempat keramat, situs atau prasasti, di (menurut) masyarakat Tatar Sunda
2) Nama tempat suci di kawasan luar Tatar Sunda, namun orang yang menggunakannya adalah orang Sunda (lihat misalnya: penggunaan istilah "kabuyutan Majapahit" oleh Bujangga Manik, seorang sejarawan Sunda yang hidup kl. Pada abad 15-16 M;
3) Tempat-tempat suci yang dinamakan kabuyutan tersebut dapat berupa pertapaan, gunung, sungai, atau kawasan kerajaan yang secara geografis dapat dijumpai sampai di luar wilayah Jawa Barat sekalipun.
4) Berarti leluhur atau karuhun atau nenek moyang
5) Berasal dari kata "buyut", digunakan untuk menyebut larangan, tabu, atau pantangan dari leluhur sebagaimana dalam adat masyarakat Baduy;
6) Nama lembaga pendidikan dalam sejarah Tatar Sunda yang berlangsung sampai sebelum periode pesantren
7) Nama pedang pusaka kerajaan di yang terdapat di museum Sumedang dan diperlihatkan kepada masyarakat luas pada upacara tertentu
8) Dalam kepercayaan masyarakat Bali, bermakna leluhur yang berdiam di Kahiyangan; atau nama suatu jenis penyakit
9) Nama desa-desa di Jawa di masa lalu dan "Buyut" atau "Dhari" adalah nama pemimpin desa (kabuyutan) tersebut
10) Berarti musuh yang harus dijauhi atau musuh abadi (musuh bebuyutan
Kabuyutan sebagai Nilai Pokok Kebudayaan Tatar Sunda
Nilai-nilai pokok atau dimensi paling penting dari suatu kebudayaan adalah nilai-nilai yang universal yang akan diterima oleh bangsa apa pun di dunia ini; atau nilai-nilai yang kebenarannya tidak perlu diperdebatkan lagi dan yang diperlukan hanyalah aplikasi atau pengamalannya. Nilai-nilai pokok adalah landasan, sumber, dan muara dimensi-dimensi atau nilai-nilai penting lainnya dari suatu kebudayaan. Apabila suatu bangsa berhasil merevitalisasi nilai-nilai pokok budayanya, maka bangsa tersebut berpeluang untuk meraih kembali kejayannya.
Salah satu dimensi paling penting dalam nilai-nilai universal kebudayaan Tatar Sunda adalah apa yang terangkum dalam istilah kabuyutan. Leluhur-leluhur Sunda sangat mewanti-wantikan anak keturunan dan masyarakatnya agar mereka benar-benar menjaga dan memelihara kabuyutan. Dalam salah satu naskah kuno Sunda dikatakan bahwa anak bangsa yang tidak mampu mempertahankan kabuyutan-nya jauh lebih hina dibanding kulit musang yang tercampak di tempat sampah. Untuk identifikasi kandungan nilai-nilai dalam nilai pokok kabuyutan ini penting kiranya untuk mengenal penggunaan istilah kabuyutan dalam sejarah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar