Selasa, 14 Oktober 2014

AAN SUJANA TUGAS KE PERMASALAHAN PERKOTAAN DAN PERMASALAHAN PERKOTAAN DAN KECENDERUNGAN PERILAKU INDIVIDUALIS PENDUDUKNYA PERILAKU INDIVIDUALIS PENDUDUKNYA

AAN SUJANA

NIM 1113054000042



PERMASALAHAN PERKOTAAN

DAN KECENDERUNGAN PERILAKU INDIVIDUALIS PENDUDUKNYA

Abstrak

Permasalahan perkotaan ini semakin hangat dibicarakan karena keterkaitannya dengan segala aspek kehidupan manusia. Perkembangan kegiatan suatu kota sering menjadi tumpuan harapan masyarakat sehingga mereka berduyun-duyun berebut kesempatan untuk bisa memperoleh penghidupan di kota tersebut.

Kepesatan perkembangan suatu kota ternyata juga membawa dampak sosial akibat tingginya iklim kompetitif dalam kehidupan masyarakatnya. Masyarakat cenderung terbagi menjadi 2 segmen, yaitu (1) kelompok masyarakat yang menang dan berhasil dalam iklim kompetisi ini dan (2) kelompok masyarakat yang kalah dan tersingkir. Dampak sosial lain yang sangat terasa akibat iklim ini adalah pada perilaku masyarakat pada masing-masing segmen atau antarsegmen tersebut yang cenderung individualis. Perwujudan perilaku individualis ini bisa mencakup 2 aspek, yaitu aspek fisik dan aspek sikap/tingkah laku masyarakat yang selalu tercermin dalam perilaku kehidupan sehari-hari.

Dari kajian dalam tulisan ini bisa disimpulkan bahwa perilaku individualis merupakan ciri utama pada sifat kehidupan perkotaan. Hal tersebut merupakan permasalahan yang tidak bisa dihilangkan karena timbul dan iklim kompetitif yang ada. Kondisi tersebut perlu dikendalikan supaya tidak sampai menimbulkan konflik antar individu atau antar kelompok masyarakat penghuni kota. Salah satu alat pengendali kondisi tersebut adalah perlunya upaya pendidikan sosial bagi para penghuni atau calon penghuni lingkungan kota, sehingga dapat tercipta hubungan yang saling membutuhkan di antara individu maupun kelompok yang ada.

Kata kunci : Kehidupan Perkotaan, Perilaku Individualis.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pendahuluan

Kepesatan pertumbuhan kota dewasa ini menunjukkan tingkat perkembangan yang sangat tinggi. Perkembangan kota merupakan tuntutan sekaligus jawaban dari perkembangan penduduk maupun kegiatan masyarakat perkotaan semakin sulit dikontrol sehingga sering menimbulkan persoalan-persoalan yang menyangkut persoalan terhadap kota itu sendiri (fasilitas, sistem dan area), maupun terhadap penduduk atau penghuninya.

Menurut Sarlito (1992:62), salah satu persoalan yang sampai saat ini terus dirasakan adalah adanya perbedaan kelas sosial ekonomi yang makin lama makin menyolok. Golongan yang mampu makin berkuasa dan makin kaya sedangkan golongan miskin bertambah miskin. Semakin besar, semakin padat dan heterogen penduduknya, semakin jelaslah ciri-ciri tersebut.

Di samping itu, fenomena lain pada kehidupan kota adalah adanya sifat kompetitif yang sangat besar, dan sifat hubungan antar personal yang lebih dititikberatkan pada pertimbangan keuntungan secara ekonomis.

Dari kondisi diatas, perlahan-lahan akan terjadi perubahan tata nilai pada kehidupan masyarakat yang mengacu pada fenomena-fenomena tersebut, yang selanjutnya akan bermuara pada suatu kondisi:

1.            Adanya keinginan untuk membatasi hubungan/ pergaulan, khususnya terhadap orang atau kelompok diluar lingkungan atau kelasnya.

2.            Adanya konflik kepentingan masing-masing kelompok atau individu akibat dari pemaksaan kehendak dan salah satu kelompok atau individu terhadap kelompok atau individu lain, yang sebenarnya berakar dari pemikiran egosentris masing-masing kelompok atau individu tersebut tanpa mempertimbangkan kepentingan kelompok atau individu lainnya.

Kedua hal itulah yang menjadi sebab pokok dominasi perilaku individualis pada kehidupan perkotaan, yang sekaligus sebagai salah satu ciri kehidupan kota.

 

 

 

 

 

 

 

Kehidupan Kota Dan Permasalahannya

Pengertian kota secara sosiologis didefinisikan sebagai tempat pemukiman yang relatif besar, berpenduduk padat dan permanen terdiri dari individu-individu yang secara sosial heterogen ( De Goede, dalam Sarlito 1992: 40). Di sisi lain, Bintarto (1989:34) menyatakan bahwa dari segi geografis, kota dapat diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan diwarnai dengan strata sosial-ekonomi yang heterogen dan coraknya yang materialistis. Menurut ketentuan formal seperti yang tercantum di dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 2 tahun 1987, disebutkan bahwa yang dimaksudkan dengan kota adalah pusat permukiman dan kegiatan penduduk yang mempunyai batasan wilayah administrasi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, serta permukiman yang telah memperlihatkan watak dan ciri kehidupan kota.

Selanjutnya Max Weber dalam Sarlito (1992: 21) mengemukakan ciri-ciri khas suatu kota sebagai berikut.

1.            Ada batas-batas kota yang tegas

2.            Mempunyai pasar

3.            Ada pengadilan sendiri dan mempunyai undang-undang yang khusus berlaku bagi kota itu, disamping undang-undang yang berlaku lebih umum.

4.            Terdapat berbagai bentuk perkumpulan dalam masyarakat yang berkaitan dengan kegiatan masyarakat di kota itu sendiri.

5.            Masyarakatnya mempunyai otonomi tertentu dengan adanya hak mereka untuk memilih walikota dan anggota-anggota dewan kota.

Dari ungkapan di atas bisa dibuat suatu batasan yang lebih khusus, bahwa suatu kota merupakan :

1.            Tempat pusat pemukiman dan kegiatan penduduk

2.            Tempat dengan kepadatan penduduk tinggi

3.            Mempunyai watak dan corak heterogen

4.            Mempunyai ciri khas kehidupan kota.

5.            Mempunyai batas wilayah administrasi

6.            Mempunyai hak otonomi

Kota menurut hirarkhi besarannya menurut NUDS (National Urban Development Strategy),(1985) dapat diamati melalui jumlah penduduk yang tinggal dan beraktivitas dikawasan tersebut, yang menurut sumber tersebut bisa dibagi dalam 5 tingkatan:

1.            Kota Metropolitan, penduduk> 1.000.000

2.            Kota Besar, penduduk 500.000 – 1.000.000

3.            Kota Menengah, penduduk 100.000 – 500.000

4.            Kota Kecil A, penduduk 50.000 – 100.000

5.            Kota Kecil B, penduduk 20.000 – 50.000

Dari pengertian-pengertian, batasan dan hirarkhi tersebut terlihat bahwa kota dengan berbagai heterogenitasnya, menyimpan berbagi permasalahan, yang di antaranya seperti yang diungkapkan oleh Sarlito (1992: 22):

Pada umumnya kota diasosiasikan dengan pengangguran, kemiskinan, polusi, kebisingan, ketegangan mental, kriminalitas, kenakalan remaja, seksualitas dan sebagainya. Bukan hanya dalam hal lingkungan fisik kota itu saja yang tidak menyenangkan tetapi juga dalam lingkungan sosialnya.

Selanjutnya Bintarto (1989: 36) mengatakan bahwa kemunduran lingkungan kota yang juga dikenal dengan istilah "Urban Environment Degradation" pada saat ini sudah meluas di berbagai kota di dunia, sedangkan di beberapa kota di Indonesia sudah nampak adanya gejala yang membahayakan. Kemunduran atau kerusakan lingkungan kota tersebut dapat dilihat dari dua aspek:

1.            Dari aspek fisis, (environmental degradation of physical nature), yaitu gangguan yang ditimbulkan dari unsur-unsur alam, misalnya pencemaran air, udara dan seterusnya.

2.            Dari aspek sosial-masyarakat (environmental degradation of societal nature), yaitu gangguan yang ditimbulkan oleh manusianya sendiri yang menimbulkan kehidupan yang tidak tenang, tidak nyaman dan tidak tenteram.

Di samping kenyataan tersebut, kehidupan kota yang selalu dinamis berkembang dengan segala fasilitasnya yang serba gemerlapan, lengkap dan menarik serta "menjanjikan" tetap saja menjadi suatu "pull factor" yang menarik orang mendatangi kota. Dengan demikian orang-orang yang akan mengadu nasib di kota harus mempunyai starategi, yaitu: bagaimana bisa memanfaatkan dan menikmati segala fasilitas yang serba menjanjikan tersebut namun juga bisa mengatasi tantangan dan permasalahan yang ada di dalamnya.

Hal di atas sesuai dengan pernyataan Sarlito (1992: 46) bahwa penyebab utama terjadinya perkembangan kota adalah berkembangnya kehidupan industri di dalamnya. Konotasi "kehidupan industri" adalah dibutuhkan tenaga kerja yang cukup banyak. Hal inilah yang banyak memberi dan mewarnai harapan orang untuk selalu mencari kehidupan di kota. Berkaitan dengan hal tersebut, perlu dicatat pendapat Schoori (1980), bahwa ada satu ciri sentral dari kehidupan masyarakat industri, yaitu sumber kekuatannya yang bersendi pada penemuan dan pemanfaatan sumber energi baru yang diperoleh dalam jumlah terbatas, yang memaksanya untuk melakukan pekerjaan secara besar-besaran. Makna yang terkandung dari ungkapan tersebut adalah adanya pekerjaan dalam skala besar (mass product) yang tentunya membutuhkan tenaga kerja cukup banyak, dan adanya iklim persaingan yang cukup tinggi

 

Dua Kelompok Masyarakat Kota

Manusia sebagai individu maupun sebagai kelompok, hidup di dalam dan bersama lingkungannya. Dari hubungan yang erat dan bersifat timbal balik, manusia menyesuaikan diri, memelihara serta mengelola lingkungannya. Dari hasil hubungan yang dinamik antara manusia dengan lingkungannya tersebut timbul suatu aktivitas yang menimbulkan beberapa perubahan yang menyangkut perubahan terhadap wadah/lingkungannya atau terhadap manusia pelaku kegiatan tersebut.

Kehidupan kota yang cenderung bersifat kompetitif, egosentris, hubungan atas dasar kepentingan ekonomi, sangat mempengaruhi tata nilai di dalam kehidupan dan hubungan sosial masyarakatnya. Tata nilai disini meliputi perilaku, sikap hidup, pola berpikir dan budaya. Kehidupan kota yang bersifat kompetitif dengan berlahan-lahan akan membagi kondisi masyarakat kota menjadi 2 kelompok, yaitu:

1.            Kelompok yang menang dalam kompetisi tersebut, atau juga bisa diartikan sebagai kelompok yang selalu sibuk dan dipenuhi dengan tugas-tugas yang cukup banyak, sehingga cenderung overload di dalam menerima rangsangan-rangsangan kehidupan kota. Kondisi tersebut akan menimbulkan tingkah laku dan sikap tidak acuh pada hal-hal yang dianggap bukan menjadi urusan dan tanggung jawabnya. (teori Over Load/Environmental Load, Cohen & Milgram). Disamping itu konotasi kesibukan dan tugas-tugas yang cukup banyak adalah tercukupi bahkan melimpahnya fasilitas atau harta yang didapatkan.

2.            Kelompok yang tidak memenangkan kompetisi, termasuk di dalamnya kelompok yang merasa kelebihan waktu karena tidak ada pekerjaan yang harus diselesaikan (cenderung underload), sehingga merasakan kesepian dan kesendirian, merasa kurang diperhatikan dan dihargai. Kondisi tersebut akan meninmbulkan tingkah laku agresif, vandalisme dan kompesentif. (teori Understimulation, Zubek)

 

Perilaku Individualis sebagai Akibat Sifat Kehidupan Kota

Bintarto (1989: 54) mengatakan, bahwa kesibukan setiap warga kota dalam tempo yang cukup tinggi dapat mengurangi perhatian terhadap sesamanya. Apabila hal ini berlebihan akan menimbulkan sifat acuh tak acuh atau kurang mempunyai toleransi sosial.

Dengan adanya fenomena di atas dan melihat sifat kehidupan kota yang cenderung kepada kondisi: 1) heterogenitas, jumlah dan kepadatan penduduk yang cukup tinggi, 2) sifat kompetitif, egosentris dan hubungan personal berdasarkan kepentingan pribadi dan keuntungan secara ekonomi, masyarakat kota cenderung menyikapi kondisi tersebut dengan cara:

a.             Hanya saling mengenal terutama dalam satu peranannya saja, misalnya sebagai kondektur, penjaga toko dan sebagainya. Oleh karena itu juga dikatakan bahwa sifat hubungan-personal masyarakat kota tidak bersifat primer, namun lebih bersifat sekunder (berdasarkan peran dan atributnya).

b.            Melindungi diri sendiri secara berlebihan agar tidak terjadi terlalu banyak hubungan-hubungan yang sifatnya pribadi, mengingat konsekuensi waktu, tenaga dan biaya. Orang kota juga harus melindungi dan membatasi diri terhadap relasi yang dianggap potensial membahayakan baginya. Akibatnya ialah seringnya terjadi kontak personal yang ditandai oleh semacam reserve, acuh tak acuh dan kecurigaan.

c.             Cenderung mengadakan kontak, personal bukan dengan keinginan yang berlandaskan kepentingan bersama, namun kebanyakan hubungan itu hanya digunakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan dan kepentingan masing-masing individu.

 

Perwujudan Perilaku Individualis Masyarakat Kota

Perilaku Individualis pada masyarakat kota secara umum bisa dibedakan dalam 2 aspek, yaitu perwujudan dalam ungkapan fisik (spasial, material dan bentuk), serta perwujudan dalam sikap dan perilakunya. Kedua aspek tersebut bersama-sama mengupayakan suatu  "pertahanan" atau "perlawanan" terhadap kondisi kehidupan kota.

 

Perwujudan Perilaku Individualis Dalam Ungkapan Fisik

Perilaku individualis masyarakat kota cenderung akan tercermin atau diungkapkan dalam suatu ungkapan fisik yang berupa batas ruang (territory) atau ungkapan bentuk. Ungkapan fisik yang berupa batas ruang (territory) bisa bersifat tetap atau suatu kondisi yang relatif tidak berubah-ubah, namun bisa juga bersifat tidak tetap. Ini sejalan dengan pendapat Lang (1987: 76), bahwa teritorialitas adalah salah satu perwujudan ego yang tidak ingin diganggu, dan merupakan perwujudan dan privasi. Yang perlu diperhatikan adalah, apabila keinginan perwujudan privasi ini sangat berlebihan, hal ini merupakan indikasi dari sikap dan perilaku individualis.

Beberapa contoh ungkapan fisik sebagai perwujudan perilaku individualis pada masyarakat kota yaitu:

1.            Pemasangan pagar halaman depan yang dibuat sangat tinggi dan masif, mencerminkan ketertutupan, kecurigaan, kehati-hatian dan kurangnya "welcome" terhadap tamu yang akan berkunjung.

2.            Perwujudan bentuk-bentuk bangunan yang tidak selaras dengan lingkungan, hanya karena untuk memenuhi ego pemilik supaya tidak disamakan atau tidak ingin sama dengan lingkungannya, dalam arti supaya dianggap lebih tinggi derajatnya dari lingkungan tersebut.

3.            Tulisan-tulisan atau tanda-tanda petunjuk yang mempunyai indikasi untuk menunjukkan bahwa sesuatu area adalah milik pribadi, bukan untuk masyarakat umum sehingga masyarakat umum tidak boleh masuk area tersebut, atau setidak-tidaknya enggan untuk memasuki mengingat risiko yang mungkin timbul.

 

Perwujudan Perilaku Individualis Dalam Sikap dan Perilaku

Perilaku individualis selain diwujudkan dalam ungkapan fisik, juga banyak didapati pada sikap dan perilaku masyarakat kota. Hal ini bisa dilihat dari beberapa contoh:

1.            Kurang akrabnya antartetangga pada suatu kompleks perumahan atau perkampungan, karena masing-masing orang telah sibuk dengan urusannya sendiri.

2.            Masing-masing tetangga merasa tidak perlu menyapa apabila bertemu di jalan, karena merasa tetangga tersebut adalah orang asing bagi orang tersebut. Kemungkinan lain dan kondisi tersebut adalah tidak terpikirkannya orang tersebut untuk menyapa, karena pikirannya memang sudah dipenuhi dengan berbagai kesibukan kerja hari itu.

3.            Kurangnya tenggang rasa dalam bersikap dan berbuat.

 

Peran Pendidikan Sosial (Social Education) Untuk Merubah Sikap Dan Perilaku Masyarakat Kota

Secara umum pendidikan merupakan suatu upaya yang berkaitan dengan pengembangan dan pembinaan kepribadian manusia. Dengan demikian peran pendidikan secara luas dimaksudkan untuk dapat mengubah kepribadian manusia, yang pada muaranya adalah perubahan pada sikap dan perilaku manusia pada umumnya. Perubahan di sini berupa perbaikan dan peningkatan kualitas perilaku sosial, yang akan meningkatkan kualitas lingkungan komunitas atau masyarakat luas.

Apabila dikaitkan dengan permasalahan pada masyarakat kota, yang cenderung kurang dapat menyesuaikan diri dan individualistis, sangat diperlukan adanya sarana guna merubah kondisi tersebut, yaitu perlunya pendidikan sosial bagi para penghuni maupun calon penghuni kota. Pengertian umum "pendidikan sosial" yaitu suatu upaya memberikan bekal dan wawasan berupa konsep penyesuaian diri sebagaimana dikemukakan Cole (1953), yang salah satunya mencakup dimensi perkembangan sosial. Pada dimensi perkembangan sosial tersebut, di antaranya disebutkan: 1) mampu mengembangkan potensinya tanpa menimbulkan benturan baik terhadap diri sendiri maupun masyarakat lingkungannya, 2) hubungan diri sendiri dengan orang lain tanpa merugikan dan melanggar hak-hak orang lain.

Realisasi logis dan konsep Cole di atas adalah suatu struktur masyarakat kota yang saling membutuhkan dan saling menghargai sehingga tercipta kondisi masyarakat kota yang koheren dan solid, walaupun dalam kondisi heterogen. Dan uraian tersebut, maka pihak yang sangat berpeluang untuk proaktif menerapkan konsep tersebut adalah pihak yang masuk dalam kategori "pemenang" (yang cenderung "overload") dalam kompetisi kehidupan kota. Realisasi yang lebih konkrit terhadap konsep tersebut adalah spesialisasi keahlian antar anggota masyarakat, sehingga timbul adanya kondisi saling membutuhkan dan ketergantungan pada masing-masing komunitas masyarakat kota.

Kesimpulan

Dari uraian dan pembahasan di atas, bisa disimpulkan sebagai berikut:

1.            Bahwa kehidupan kota adalah sangat spesifik, spesifik dalam hal cirinya maupun permasalahan yang ada didalamnya, sehingga dari kespesifikannya itu ternyata saat ini banyak menimbulkan permasalahan yang menimbulkan dampak terhadap "kota" itu sendiri sebagai wadah kegiatan, maupun terhadap "penduduk" selaku pelaku kegiatannya.

2.            Secara umum permasalahan kota tersebut dibedakan dalam 2 jenis, yaitu permasalahan yang menyangkut fisik dan permasalahan yang menyangkut sosial/kehidupan, kedua aspek permasalahan tersebut saling berinteraksi sehingga sulit untuk menentukan aspek mana yang berfungsi sebagai "pemicu" munculnya permasalahan pada aspek lainnya.

3.            Perilaku individualis merupakan ciri utama sifat kehidupan kota, perilaku tersebut merupakan salah satu dampak permasalahan perkotaan, dengan demikian perilaku tersebut sangat sulit untuk dihilangkan (karena permasalahan kota yang memicu timbulnya perilaku tersebut akan terus ada dan berkembang). Perilaku individualis ini bisa diwujudkan dalam bentuk ungkapan fisik yang berupa ruang, bentuk, maupun tanda, namun bisa juga dalam sikap dan perilaku.

4.            Yang perlu diperhatikan di sini adalah perlunya pengendalian perilaku tersebut supaya tidak menimbulkan konflik antar individu/kelompok.

5.            Salah satu sarana pengendalian perilaku tersebut adalah adanya upaya pendidikan sosial (social education) bagi para anggota masyarakat kota, yang implikasinya adalah pada hubungan yang saling membutuhkan dan menghargai.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Daftar Pustaka

 

·         Bintarto. (1989). Interaksi Desa-Kota. Jakarta: Ghalia Indonesia.

·         Cole, Lawrence E. (1953). Human Behavior, Psychology as Bio Social Science. New York: World Book Company.

·         Departemen Dalam Negeri RI. (1985). National Urban Development Strategy. Jakarta.

·         Hatt & Reis. (1966). Cities and Society. New York: The Free Press.

·         Lang Jon. (1987). Creating Architectural Theory. New York: Reinhold Company Inc.

·         Mangunwijaya. YB. (1985). Teknologi dan Dampak Kebudayaannya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

·         Pembangunan Daerah, Dirjend. (1989). Peraturan Menteri Dalam Negeri Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kota. Jakarta.

·         Sarlito. WS. (1992). Psikologi Lingkungan. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.

·         Schoorl, JW. (1980). Modernisasi, Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-negara Berkembang. Jakarta: PT. Gramedia.

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini