Rabu, 01 April 2015

Ruli Setiawan oleh Widyanti Agustina

NAMA : WIDYANTI AGUSTINA
NIM : 1112052000028
PRODI : BPI/6
MATKUL : METODOLOGI PENELITIAN KUALITATIF

Life History: Ruli Setiawan "Bakso Mang Uwan"

Ruli Setiawan atau akrab dipanggil Uwan adalah orang asli kelahiran Jasinga. Ia lahir pada tanggal 1 Juni 1975 di desa Pamagersari, kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor. Ruli adalah anak dari pasangan Aip Syarifuddin dan Babay Nurbaeti. Bertempat tinggal di sebuah rumah sederhana yang dibangun dari kayu bambu yang beralaskan tanah merah sebagai lantainya di Kp.Sawah Rt.01 Rw.04, Desa Pamagersari, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor.
Sang ayah bekerja sebagai pegawai bengkel di Jasinga dan ibunya hanyalah seorang ibu rumah tangga biasa yang terkadang menerima panggilan sebagai kuli masak di acara-acara pernikahan. Sang ibu memang memiiki keahlian lebih dalam memasak, sehingga para tetangga sering menggunakan jasanya walaupun bayaran yang diterima tidak seberapa, setidaknya hal tersebut sedikit membantu untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Ruli merupakan anak pertama dari 4 bersaudara, dengan 2 orang adik perempuan yang bernama Ina Yulianti dan Rospita
dan satu orang adik laki-laki yang bernama Farhan Yulianto. Sang ayah adalah tipe orang yang tegas dan disiplin dalam mendidik anak-anaknya, terlebih lagi karena himpitan ekonomi yang dialami keluarganya, membuat sang ayah selalu mengajarkan anak-anaknya untuk tidak pantang menyerah dan harus selalu beruasaha agar kehidupan keluarga mereka menjadi lebih baik. Khusunya pada Ruli yang merupakan anak sulung yang harus menjadi panutan bagi saudara-saudaranya.
Sejak kecil, Uwan (sapaan akrabnya) dan adik-adiknya sering ditinggal di rumah sendirian dengan hanya disediakan nasi tanpa lauk, itu sudah menjadi hal biasa baginya disaat orangtuanya harus bekerja. Ayah dan ibu dari 4 anak itu, harus bekerja ekstra keras untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Jangankan memikirkan pendidikan Uwan dan saudara-saudaranya, biaya hidup sehari-hari saja, sulitnya bukan main. Praktis, hari berganti hari mereka hanya berkutat pada upaya bertahan hidup, alih-alih menyusun perencanaan masa depan bagi Uwan dan saudara-saudaranya. Saat itu masa depan bagi Uwan saja adalah gambaran akan kegetiran hidup yang siap mencengkram di masa depan.
Uwan hidup di lingkungan yang baik, yang banyak mengajarkannya tentang nilai-nilai kehidupan, seperti bergotong royong, saling berbagi dan sebagainya. Dilingkungan rumahnya, Uwan aktif sebagai pengurus remaja masjid, walaupun bukan berasal dari keluarga yang agamis, namun Uwan sangat sadar akan kewajibannya sebagai seorang muslim. Selain itu dia juga aktif di salah satu ikatan pemuda di kampungnya.
Pada saat duduk di bangku sekolah dasar, Uwan bersekolah di SDN 02 Jasinga. Kala itu, karena kemiskinan keluarganya, ia sudah harus memikirkan hal-hal yang semestinya menjadi beban orang dewasa. Masa dimana anak seusianya hanya fokus untuk belajar dan bermain, tidak dirasakan olehnya. Uwan harus bersiasat dengan waktu. Ketika waktu sholat shubuh baru saja berlalu, Uwan sudah meninggalkan rumah, kala hari masih gelap. Dengan semangat khas anak yang pantang mneyerah, ia bergegas menyisir tiap jengkal semak belukar di pinggiran kampung, mencari buah kelapa yang mungkin jatuh di malam tadi. Kalau kebetulan beruntung, kelapa tersebut ditenteng ke sekolah untuk ditukar kepada penjual es kelapa disana dengan uang yang tidak seberapa dan uang hasil menjual kelapa tersebut ia bagikan kepada saudara-saudaranya untuk jajan mereka. Orang tua mereka terkadang memang tidak memberi mereka uang jajan, sehingga mereka harus memutar otak untuk bisa mendapatkan uang jajan
tersebut. kalau nasib sedang sial, Uwan dan saudara-saudaranya terpaksa harus gigit jari menyaksikan teman-teman lainnya pergi membeli makanan dikala istirahat belajar. Setelah pulang sekolah, Uwan sudah ada di pinggiran kampung menggembala kerbau. Dikala musim tanam padi tiba, Uwan sering membantu tetangganya membajak sawah. Pernah suatu ketika, Uwan membajak sawah pada jam dua malam sementara keesokan paginya ia harus mengikuti ulangan di sekolah. Dilahirkan dari keluarga yang tidak mampu memang membuatnya harus berusaha keras demi mendapatkan uang tambahan. Walaupun begitu, Uwan kecil termasuk anak yang pandai dan selalu mendapatkan nilai yang bagus di sekolahnya. Semangat Uwan untuk membuat perubahan dengan keluar dari garis kemiskinan pada hidupnya dan keluarganya memang sangatlah besar.

Beranjak remaja awal, Uwan mendapatkan keringanan biaya untuk meneruskan pendidikannya di bangku sekolah menengah pertama. Beruntung Tuhan saat itu masih memberikan kesempatan kepada Uwan untuk tetap merajut impian-impiannya. Saat itu Uwan bersekolah di SMPN (Sekolah Menengah Pertama Negeri 01 Jasinga). Demi mendapatkan uang, pada saat SMP, Uwan berjualan pisang goreng buatan sang Ibu yang dijajakkan Uwan kepada teman-temannya tanpa rasa malu sedikitpun, hasil dari menjual pisang goreng tersebut dipakai untuk membeli satu liter beras untuk makan keluarganya. Saat itu, Uwan hampir tidak pernah meminta uang jajan, uang jajannya ia berikan kepada saudara-saudaranya yang masih duduk dibangku sekolah dasar, ia tidak tega jika harus membiarkan saudara-saudaranya itu hanya gigit jari sambil merasakan lapar melihat teman sebayanya pergi membeli makanan pada jam istirahat. Karena tidak mempunyai uang jajan, Uwan sering membawa bekal singkong rebus yang dimasak
ibunya untuk mengganjal perut saat rasa lapar mendera di sekolah. Uwan tidak pernah mengeluh dengan hal itu, ia sangat menyadari keadaan keluarganya yang serba kekurangan. Hal tersebut tidak menjadikannya terpuruk atau putus asa. Di lingkungan rumahnya, Uwan tergolong anak yang aktif, ia tergabung dalam remaja ikatan masjid dan organisasi pemuda, walaupun hanya sebatas anggota. Uwan juga sering mengajari anak-anak kecil di lingkungan rumahnya mengaji. Di lingkungan sekolahnya pun Uwan termasuk siswa yang aktif dalam organisasi intra sekolah dan hal tersebut memberinya banyak pengalaman. Selain menjajakan pisang goreng kepada teman-temannya, Uwan juga mencari tambahan uang dengan menjadi pencuci piring di salah satu rumah makan didaerah tempat tinggalnya dan terkadang jika ada makanan sisa di rumah makan tersebut, maka ia akan membawanya ke rumah untuk makan malam keluarganya. Uang dari hasil mencuci piring tersebut Uwan tabung demi mewujudkan
cita-citanya duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA). Tapi pada suatu ketika, adiknya yang bernama Farhan yang usianya baru menginjak 4 tahun pada kala itu mengalami sakit yang cukup mengkhawatirkan, suhu badannya naik drastis sehingga membuatnya kejang-kejang, pada saat itu keadaannya sangat kacau, orangtuanya tidak memiliki uang sepeserpun utnuk membawa sang adik ke rumah sakit, saudara-saudara Uwan yang lain juga sama-sama hidup dalam himpitan ekonomi sehingga merekapun tidak bisa membantu keluarga Uwan. Akhirnya Uwan membongkar celengan yang berisikan uang yang selama ini ditabungnya utnuk melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Atasa (SMA). Kesehatan adiknya adalah yang utama bagi uwan pada saat itu. Uwan yakin, Tuhan akan mengganti itu semua dengan sesuatu yang indah. Setelah kejadian itu, Uwan kembali mengulangnya dari awal, mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk mewujudkan impiannya duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA). Kedua
orangtuanya sangat beruntung memang dikaruniai seorang anak yang begitu mengerti akan keadaan keluarganya dan bertekad untuk merubah itu semua, agar keluarganya bisa hidup dengan layak, agar adik-adiknya bisa bersekolah setinggi yang mereka inginkan.

Lahir dan dibesarkan dari keluarga miskin, membentuk karakter Uwan menjadi sesosok pekerja keras dan pantang menyerah. Setelah lulus dari Sekolah Menengah Pertama, ternyata uang yang dikumpulkannya selama ini tidaklah cukup untuk membawanya ke bangku Sekolah Menengah atas. Tapi keberuntungan masih bersamanya, melihat prestasi Uwan yang baik dan kerja kerasnya selama ini dalam membantu keluarganya memelihara kelangsungan hidup mereka ternyata mendapat perhatian dari Bapak Camat di tempatnya tinggal. Sehingga Uwan bisa melanjutkan pendidikannya ke bangku SMAN (Sekolah Menengah Atas Negeri) 01 Jasinga yang selama ini menjadi impiannya tanpa harus membayar sepeserpun. Usaha memang tidak pernah mendustai, itulah pelajaran yang dipetik Uwan dalam hidupnya. Jika kita bekerja keras maka akan selalu ada hasil yang sepadan dengan kerja keras yang kita lakukan tersebut. Uwan memang tidak perlu mengeluarkan uang sepeserpun untuk sekolahnya kali ini, tapi itu tidak
berarti dia bisa hidup dengan tenang, ada begitu banyak pekerjaan rumah yang harus ia selesaikan, seperti membantu saudara-saudaranya yang pada saat itu akan masuk Sekolah Menengah Pertama. Dan belum lagi biayanya sendiri, Uwan selalu harus memutar otak untuk urusan yang satu itu. Setelah ia duduk di bangku Sekolah Menengah Atas, ia tidak lagi memiliki banyak waktu luang untuk bekerja. Ia kemudian berhenti dan tidak lagi bekerja sebagai pencuci piring di salah satu rumah makan di jasinga. Pada saat itu kebingungan melanda pikirannya. Pada suatu hari ketika ia libur sekolah, Uwan diajak pamannya untuk bekerja mengurusi kerbau milik kenalan pamannya itu, beruntung lokasi rumah kenalan pamannya itu tidak terlalu jauh dari tempat ia tinggal dan ia juga hanya bekerja pada saat sore hari, walaupun bayaran yang diterimanya tidak sebesar seperti pada saat ia bekerja sebagai pencuci piring di salah satu rumah makan, tapi ia tetap mengambil pekerjaan tersebut.
selama satu tahun Uwan menjalani profesi sambilan tersebut. sewaktu duduk di bangku Sekolah Menengah Atas, Uwan tidak terlalu aktif mengikuti organisasi maupun ekstrakulikuler. Ia fokus bekerja untuk menghasilkan uang tambahan. Memasuki tahun kedua di Sekolah menengah Atas, karena tempat dimana Uwan bersekolah sedang dalam masa perbaikan dan itu membuat jadwal sekolahnya berubah menjadi siang hari. Hal tersebut membuatnya tidak bisa melanjutkan pekerjaannya sebagai pengembala kerbau. Ia pun harus memutar otaknya kembali, beruntung ia adalah seorang yang sangat aktif di lingkungannya sehingga ia memiliki banyak kenalan disana. Tak lama setelah ia berhenti dari pekerjaannya yang semula, Uwan kembali mendapatkan pekerjaan yang didapatnya dari seorang teman di Ikatan Remaja Masjid di lingkungannya yaitu sebagai pembuat bakso di salah satu rumah produksi bakso yang ada disana. Pada saat itu ia mulai bekerja pukul 4 pagi hingga 10 pagi. Ia bekerja membuat
adonan bakso di rumah produksi tersebut. pekerjaan ini dijalaninya hingga ia memasuki tahun terakhir di Sekolah Menengah Atas. Pernah pada suatu hari adiknya merengek pada kedua orangtua mereka untuk dibelikan sepasang sepatu baru karena sepatu yang dipakainya selama ini sudah rusak dan tidak bisa dipakai lagi, pada saat itu mereka sangat bingung, jangankan untuk membeli sepatu, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja terasa begitu sulit. Akhirnya karena pada saat itu Uwan mendapatkan jadwal sekolah di siang hari, maka sepatunya tersebut ia pinjamkan kepada adiknya, walaupun ukurannya agak sedikit longgar, tapi tidak ada cara lain, karena mereka tidak memiliki uang untuk membeli sepasang sepatu. Pernah suatu hari, pada saat itu adiknya pulang terlambat, sementara Uwan harus sudah berangkat ke sekolahnya, Uwan akhirnya pergi ke sekolah tanpa memakai sepatu dan ia langsung mendapat teguran dari sang guru karena ketidakrapihannya itu. beruntung tidak
lama setelahnya sang Ibu mendapat panggilan untuk membantu tetangganya memasak untuk sebuah acara pernikahan dan uang dari pekerjaan tersebut, didedikasikan sang ibu untuk membeli sepatu baru untuk anaknya. Memasuki tahun terakhirnya di Sekolah Menengah Atas, Uwan tidak bisa lagi bekerja, hal ini karena ada pelajaran tambahan yang harus diikutinya sebaga murid tingkat akhir. Semenjak saat itu, ia agak kesulitan memikirkan nasib adik-adiknya yang selama ini mendapatkan uang saku dari hasil ia bekerja. Disaat teman-temannya membicarakan tentang rencana studi mereka untuk duduk di bangku universitas, Uwan malah tidak berpikir ke arah situ, dia bahkan tidak berani memikirkannya, pikirannya selalu dipenuhi dengan bekerja, bekerja dan bekerja. Uwan yakin, walalupun dirinya hanya lulusan Sekolah menengah Atas (SMA), tapi ia bisa menjadi orang yang sukses. Sukses tidak harus menjadi sarjana terlebih dahulu bukan? itu hal yang dikatakannya.

Selepas lulus dari Sekolah menengah Atas (SMA), yang ada dipikirannya adalah bekerja, bekerja dan bekerja. Apapun pekerjaannya akan ia lakukan demi kelangsungan hidup keluarganya. Pada saat itu Uwan ditawari oleh teman ayahnya yang bernama Heri untuk bekerja sebagai kuli bangunan di luar kota, tanpa berpikir lagi, Uwan langsung mengambil pekerjaan tersebut, baginya pekerjaan sebagai kuli bukanlah hal yang berta karena sedari kecil ia memang sudah bekerja keras. Saat truk angkutan tiba, uwan bersama beberapa orang di kampung berangkat ke Jakarta. Saat itu, dianatara semua kuli angkutan, Uwan adalah kuli termuda. Sebagai anak pertama dari keluarga yang tidak mampu di desa, dirinya tidak pernah merasa risih apalagi gengsi melakukan pekerjaan yang menurut orang lain adalah pekerjaan kasar. Uwan berada di luar kota, yaitu Jakarta selama 3 bulan. Selama berada disana dan bekerja sebagai kuli bangunan ternyata gaji yang dihasilkannya dirasa sangat kecil.
Setelah masa pekerjaannya sebagai kuli itu berakhir, Uwan tidak ikut pulang ke desa bersama teman-temannya yang lain. Ia ingin mencoba peruntungan lain di kota metropolitan tersebut. dengan bermodalkan uang hasil dari bekerja selama tiga bulan tersebut, dirinya memberanikan diri hidup di Jakarta untuk mencari pekerjaan. Hidup di Jakarta memang sangat sulit, pekerjaan pun sangat susah didapat, sudah seminggu lebih dirinya berada disana namun tak kunjung menemukan pekerjaan. Ketika dirinya hendak memutuskan untuk kembali ke desa, tiba-tiba anak dari ibu kontrakan tempat ia tinggal, yaitu Gito memberitahukan sebuah lowongan pekerjaan di kedai bakso yang cukup terkenal di daerah tersebut. dengan tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ada, Uwan langsung menerima pekerjaan tersebut. Awalnya ia bekerja sebagai pelayan di kedai bakso tersebut, seiring perkembangan kedai yang semakin pesat dan telah membuka cabang dimana-mana dan karena kerja keras yang
ditunjukkan dirinya terhadap pekerjaan yang ia jalani membuatnya diangkat menjadi manager dikedai cabang dimana ia bekerja. Pada saat itu kondisi ekonomi keluarga mereka lambat laun mulai membaik, ia mampu mencukupi kebutuhan keluarganya dan membantu adik-adiknya untuk bersekolah dengan layak tanpa dipusingkan masalah biaya. Uwan merekam dengan baik denyut nadi kegiatan bisnis di kedai tersebut. lewat rekaman peristiwa itu, naluri bisnis anak Jasinga yang lahir pada tanggal 1 Juni 1975 itu kian membuncah. Akhirnya pada awal tahun 2000an, tepatnya 2002 ia memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya dan memulai usaha baru yang ia bangun sendiri yaitu sebagai penjual bakso. "Memang banyak penjual bakso diluaran sana, tapi mereka hanya menjual bakso saja tanpa berani berinovasi, jika mereka kreatif, sebenarnya bakso tersebut bisa mereka sulap menjadi bukan bakso biasa, menjadi sesuatu yang beda dan menarik perhatian orang-orang" tuturnya. Itulah yang
dilakukan Uwan sekarang, dengan bekal ilmu yang didapatnya dari bekerja sebagai pembuat adonan bakso pada saat SMA, selain itu ia juga mendapatkan bekal ilmu bisnis dari bekerja di kedai bakso selama bertahun-tahun dan juga berkat bantuan dari ibunya dalam hal memasak. Akhirnya ia benar-benar menjadi penjual bakso, tentunya dengan inovasi yang dilaukannya pada bakso tersebut, Uwan dibantu sang ibu membuat bakso dengan berbagai varian isi yang menarik, seperti bakso isi mercon yang di dalamnya berisi daging sapi dan cabai hijau pedas yang ditumbuk, selain itu ada bakso dengan isi abon sapi, bakso berbentuk hati, kotak, segitiga dan lain sebagainya. Uwan memulai usaha yang dibangunnya ini dengan bermodalkan gerobak sederhana, biasanya ia berjualan di kawasan pendopo Jasinga. Baksonya itu dinamai bakso "Mang Uwan". Ternyata inovasi yang selama ini dihasilkannya tidak mengecewakan, karena rasanya yang enak dan juga mempunyai tampilan bakso yang berbeda
dari biasanya. Maka dari mulut ke mulut kelezatan bakso "Mang Uwan" tersebut menyebar ke seluruh Jasinga. Bakso "Mang Uwan" tersebut pada akhirnya menjadi idola dikalangan para pencinta bakso di Jasinga. Usaha Bakso "Mang Uwan" pun kian pesat dan berhasil membuka kedai bakso pertamanya dengan membeli tanah di dekat rumah tinggalnya, omzet bakso "Mang Uwan" kian meningkat perharinya, apalagi di bulan ramadhan. Uwan akhirnya membawa keluarga mereka keluar dari garis kemiskinan yang selama ini meraungi hidupnya, Uwan bahkan sudah mampu merenovasi rumah bambu mereka menjadi rumah dengan pondasi batu bata dan lantai keramik. Selain itu ia juga mampu menyekolahkan saudara-saudaranya ke bangku perguruan tinggi yang selama ini tidak pernah ia rasakan. Kedai bakso "Mang Uwan" kini sudah memiliki beberapa cabang di wilayah Jasinga dan tidak menutup kemungkinan nantinya akan membuka beberapa cabang lagi di berbagai wilayah di Bogor, bahkan luar
kota. Keberhasilan yang diraihnya adalah dengan berusaha, berdoa dan bersabar, serta kita harus mampu berfikir kreatif dengan mengadopsi, memodofikasi dan berinovasi terhadap sesuatu hal. Perjalanan hidup seseorang memang tidak bisa ditebak, roda kehidupan terus berputar, pada akhirnya memang yang kuatlah (yang bekerja keras, pantang menyerah dan mampu berpikir "out of the box") yang bertahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini