Teori Struktural (Pendekatan Institusional)
Tugas Ke-2
Teori struktural memandang bahwa setiap bahasa memiliki strukturnya sendiri (berbeda dengan teori tradisional yang menganggap bahwa semua bahasa mesti berciri seperti bahasa Latin dan Yunani kuno). Teori ini pusat perhatiannya adalah bunyi, maka definisi bahasa, ditinjau dari kacamata teori struktural, adalah ujaran, sedangkan bentuk-bentuk lain selain ujaran, termasuk tulisan, bukanlah bahasa. Sebab itu, teori ini punya jasa besar dalam kajian sistem bunyi bahasa; selain itu, morfologi juga mendapat porsi riset yang besar – sintaksis belum dipelajari secara mendalam oleh strukturalisme, meskipun sudah ada hasilnya bagi bahasa, dalam bahasa Inggris misalnya. .
Teori ini memandang bahwa bahasa merupakan suatu kebiasaan – tanpa dilatih atau dibiasakan, seseorang mustahil bisa berbahasa. Kaum strukturalis (Amerika) membagi kata bahasa ke dalam dua golongan besar, yaitu kata kelas (kategori yang bersifat terbuka, bisa menerima tambahan anggota baru atau mungkin kehilangan anggota yang lama) dan kata tugas (kategori yang bersifat tertutup sehingga sangat sulit menerima anggota baru dan jumlahnya pun sangat terbatas). Dalam hal ini, kaum strukturalis Amerika tidak menggunakan istilah nomina, verba, ajektiva, dan adverbia; namun, sebagai gantinya, menggunakan istilah kelas (Kelas I, Kelas II, Kelas III, dan Kelas IV) – sedangkan untuk kata tugas, mereka akan menggunakan huruf, misalnya (kata tugas A, B, C, dst.). Ahli bahasa yang beraliran struktural, antara lain, adalah Ferdinand de Saussure, Leonard Bloomfield, E. Nida, Ch. F. Hockett. Edward Sapir, N.S. Trubetzkoy, W.F. Mackey, Roman Jakobson, dll.
Pendekatan Institusional sering dinamakan pendekatan tradisional, mulai berkembang pada abad ke 19 pada masa sebelum Perang Dunia II. Dalam pendekatan ini negara menjadi fokus pokok pembahasannya, terutama dari segi konstitusional dan yuridis. Bahasan pendekatan tradisional ini menyangkut antara lain sifat dari undang-undang dasar, masalah kedaulatan, kedudukan dan kekuasaan formal serta yuridis dari lembaga-lembaga kenegaraan seperti parlemen, badan eksekutif, dan badan yudikatif. Dengan demikian pendekatan tradisional ini mencakup baik unsur legal maupun unsur institusional.
Pada saat bersamaan,pendekatan tradisonal tidak menghiraukan organisasi-organisasi informal, seperti kelompok kepentingan dan kelompok lainnya, dan juga media komunikasi. Bahasan ini lebih bersifat statis dan deskriptif daripada analitis, dan banyak memakai ulasan sejarah. Lagipula dalam proses pembahasan, "fakta" (sesuatu yang dapat dibuktikan melalui pengalaman atau pengamatan) kurang dibedakan dengan norma (ideal atau standar yang harus menjadi pedoman untuk perilaku).
Yang terjadi, pendekatan tradisional lebih sering bersifat normatif (yaitu sesuai dengan ideal atau standar tertentu) dengan mengasumsikan norma-norma demokrasi Barat. Menurut pandangan ini, negara ditafsirkan sebagai suatu badan dari norma-norma konstitusional yang formal (a body of formal constitutional form). Disamping itu, bahasan biasanya terbatas pada negara-negara demokrasi Barat, seperti Inggris, Amerika Serikat, Prancis, Belanda dan Jerman. Dengan demikian dapat dipahami bahwa pendekatan ini kurang memberi peluang bagi terbentuknya teori-teori baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar