Oleh : Eva Lutfia
NIM : 11140530000045
Jurusan: Manajemen Dakwah – 4B
Matkul : Metodologi Penelitian Dakwah
· Proses Mencari Isu
7 April 2016 setelah bapak Tantan memberikan tugas ke-5 tentang alur sejarah (timeline) moment penting seseorang, saya sempat bingung ingin mewawancarai siapa yang akan menjadi narasumber tugas saya kali ini karena narasumber kali ini harus berusia di atas 50 tahun dan sampai pulang kuliahpun saya belum terfikir ingin mewawancarai siapa?
Keesokan harinya saya terfikir untuk mewawancarai mantan ketua RT di dekat rumah saya, dan saya datang kerumahnya karna memang jaraknya hanya beberapa rumah dari rumah saya, namun sayang beliau sedang sakit dan saya tidak enak bila mengganggu beliau yang harus banyak beristirahat.
Hari minggu tanggal 10 April 2016 saya baru memikirkan kembali bahwa saya belum mendapatkan narasumber yang ingin saya wawancarai nantinya. Sampai akhirnya saya terfikir ingin mewawancarai kakek saya sendiri, walaupun beliau bukan seorang tokoh agama namun pasti beliau memiliki moment sejarah selama hidupnya.
· Proses Mengundang Narasumber
Masih dihari yang sama yaitu hari minggu, saya mencoba menghubungi kediaman rumah kakek saya tinggal melalui telefon. Kebetulan saat itu malam sehabis maghrib, saya berbicara dengan nenek saya dan menjelaskan tentang keperluan saya ingin datang besok bertemu kakek dan setelah ditanyakan kakek pun bersedia saya wawancarai besok hari senin.
Hari senin 11 April 2016 kebetulan saya libur kuliah, saya bersiap untuk berangkat menuju rumah kakek untuk keperluan tugas metodologi penelitian dakwah. Jarak rumah saya menuju rumah kakek saya ±3.35 km, tidak jauh memang menuju ke sana, dan saya diantar oleh bapak saya saat itu karena sekalian bapak saya kerja ditempat kakek saya tinggal.
Sesampainya di sana, saya langsung bertemu dan salim dengan nenek saya yang sedang berada di dapur dan kakek saya yang sedang berada di kamarnya. Tidak langsung memulai, saya bersantai-santai dahulu sambil mengobrol dengan nenek saya yang sangat senang saya datang kesana. Sekitar 1 jam saya baru memulai menanyakan/mewawancari kakek saya, moment berharga apa yang ia rasakan selama hidupnya.
H. Syamsudin bin Naim
Beliau merupakan anak kedua dari dua bersaudara, ayahnya H. Naim (Alm) dan ibunya Hj. Aminah (Alm), kakaknya bernama H. Juwahir. Beliau lahir pada tahun 1945 yang berarti sekarang usianya 71 tahun. Beliau menikah dengan Hj. Chodijah dan dikaruniai 9 orang anak (2 orang sudah meninggal), semua anaknya sudah menikah dan memiliki cucu sebanyak 21 orang dan cicit 1 orang. Beliau juga merupakan ketua Masjid Al-Falah Cilandak Tengah.
Almarhum ayah beliau merupakan seorang tukang urut pengobatan patah tulang yaitu H. Naim yang namanya sudah tidak asing lagi kita dengar yang telah turun temurun ke anak dan cucunya hingga sekarang. Beliau bercerita bahwa hidupnya dulu tidak seenak seperti sekarang, beliau sempat merasakan masa-masa susah saat itu.
Walaupun beliau tidak mampu mengingat banyak dan baik, menurutnya pengalaman/moment berharga dalam hidupnya ialah sekitar tahun 1955 beliau bekerja membantu orangtua sebagai petani, beliau memang dididik oleh orangtuanya supaya menjadi seorang yang tidak malas dan bekerja keras sejak remaja. Beliau sangat senang melakukan hal itu karna memang menyenangkan menurutnya.
Selain itu sekitar tahun 1960an, beliau juga sempat berdagang dengan menggunakan sepeda yang dibelakangnya terdapat rinjing untuk menaruh buah-buah yang beliau jual pada saat itu. Moment tersebut mengajarkan kepada beliau bagaimana susahnya mencari nafkah dengan hasil keringat sendiri, mondar-mandir mengayuh sepeda yang belum tentu ada yang membeli dan itu beliau lakukan cukup lama.
Dan sekitar tahun 1970an juga beliau diturunkan kemampuan dari sang ayah yaitu menjadi tukang urut patah tulang, dengan dibawanya beliau ke Cimande, Bogor. Di sana beliau bercerita harus melewati beberapa syarat-syarat yang harus beliau lakukan, agar mendapatkan ilmu yang benar untuk memiliki keahlian seperti sang ayah yaitu H. Naim. Karena sampai sekarang banyak yang mengaku keturunan H. Naim padahal mereka tidak belajar langsung ke Cimande tanpa mengetahui ilmu-ilmu yang benar dalam mengobati pasien patah tulang.
Pada tahun 1981 ayah beliau yaitu H. Naim meninggal dunia, itu membuat beliau merasa untuk maju melanjutkan nama ayahnya dengan bekal yang sudah diturunkan kepada beliau. Beliau membuka tempat praktek pengobatan patah tulang dirumahnya bertempat di jalan MPR III Dalam No.8 Cilandak Barat, Jakarta Selatan. Walaupun saat ini beliau sudah tidak bisa mengobati karna sudah tidak segagah dan sehat seperti dulu, tetapi telah diteruskan oleh ketiga anaknya yang bekerja di sana yaitu H. Junaidi, H. Achmad dan H. Ajied sampai sekarang dan juga sudah diturunkan kesatu orang cucunya.
Saya sempat menanyakan mengapa kakek menyebut moment-moment tersebut sebagai moment yang bisa dibilang berharga/bersejarah dan penting dalam hidupnya? Karna menurut beliau, tanpa adanya moment-moment tersebut mungkin hidup beliau tidak bisa seperti sekarang, walaupun beliau sempat merasakan asam manis kehidupan itu mengajarkan kepada beliau betapa pentingnya sebuah proses, kerja keras dan sungguh-sungguh dalam melakukan sebuah pekerjaan.
Dari menjadi petani, berdagang dan sampai meneruskan keahlian sang ayah. Menurutnya, kita harus merasakan susah dahulu supaya tahu rasanya mencari nafkah dengan hasil keringat sendiri. Hingga sekarang beliau sangat bersyukur atas berbagai nikmat yang Allah berikan kepadanya dan beliau termasuk seorang tokoh masyarakat yang terpandang di daerah rumah beliau. Tidak ada yang instan dizaman sekarang, memang semua butuh proses dan juga kerja keras, pesan tersebut yang beliau katakan kepada saya sebagai cucunya.
Demikian hasil narasi tugas kelima metodologi penelitian dakwah saya ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar