Nama : Mia Maisyatur Rodiah
Nim : 1110054000022
Tugas : Ekologi Manusia (resume Ekologi Politik)
EKOLOGI POLITIK
Ekologi politik? Apa itu ekologi politik? Ekologi ini merupakan sebuah konsep yang menggambarkan hubungan manusia dengan lingkungannya. Hal yang menjadi focus dalam ekologi politik ini adalah persoalan sumberdaya alam sebagai persoalan social-politik, karena ekologi politik ini merupakan hal yang mempelajari aspek social politik terhadap lingkungan. Ekologi politik ini bertujuan untuk memberikan bayangan tentang hubungan manusia dengan jenis makhluk lain yang berada disekelilingnya.
Secara umum ekologi politik ini focus pada penjelasan politik terhadap perubahan dan kerusakan lingkungan. Selain itu ekologi-pun menekankan pada agenda politik yang mempertanyakan rusaknya perilaku manusia, sehingga mengkaji ekologi disini secara politis.
Dalam ekologi politik terdapat dua pendekatan, diantaranya adalah: pendekatan actor dan pendekatan kritis.
Pendekatan actor ini menurut Bryant dan Bailey, berpijak pada konsep politicized environment yang berasumsi bahwa persoalan lingkungan tidak dapat dipahami secara terpisah dari konteks politik dan ekonomi diaman masalah itu muncul. Jadi permasalahan lingkungan bukanlah masalah teknis semata. Beberapa asumsi dalam pendekatan actor ini, diantaranya adalah:
- Biaya dan manfaat dari perubahan lingkungan yang dinikmati oleh para actor secara tidak merata
- Terjadinya ketimpangan social ekonomi dari biaya dan pemanfaatan yang tidak merata
- Dampak social ekonomi yang berbeda
Pendekatan kritis, ekologi-pun focus pada domination of nature yang terkait akan kapitalisme sebagai penyebab utama degradasi lingkungan. Teori kritis dari tradisi Frankfurt, khususnya Marcuse dan Habermas menggambarkan bagaimana sifat manusia yang didominasi rasionalitas instrumental dan sifat eksploitasi oleh masyarakat modern industrial. Perspektif tersebut berkembang menjadi pndekatan baru yang bersifat pasca-strukturalis (post-structuralist).
Pendekatan baru ini lebih menekankan pada pengaruh sejarah dan budaya terhadap evolusi konsep perubahan dan degradasi lingkungan sebagai kekuatan linguistic dan politik (Forsyth 2003;8). Dari perkembangan tersebut Forsyth mengembangkan critical political ecology yang menurutnya masih merupakan bentuk dari politik ekologi sebagai legitimasi ilmiah terhadap kebijakan lingkungan.
Forsyth melihat beberapa kelemahan dalam pendekatan ekologi politik, diantaranya adalah: karena pendekatan tersebut mengadopsi pendekatan apriori terhadap konsep ilmu lingkungan, langkahnya tidak cukup untuk menghindari pemisahan antara environmental explanation and politics dalam analisis politik lingkungan. Menurutnya pemisahan antara prinsip politik dan prinsip ekologi akan sama-sama bermasalah:
pertama, dalam masalah lingkungan jika terlalu bertumpu pada politik, maka kebijakan lingkungan tidak akan mampu menuentuh factor biofisik.
Kedua, jika selalu bertumpu pada pada prinsip lingkungan, maka kebijakan lingkungan akan berdampak pada marjinalisasi masyarakat pengguna sumberdaya melalui pembatasan akses.
Dari kedua pendekatan ini lahirlah beberpa pendekatan, diantara pendekatan tersebut adalah
Ada beberapa pendekatan dalam ekologi politik, diantaranya adalah pendekatan:
a. Yang bertumpu pada masalah lingkungan secara spesifik. Berkaitan dengan upaya memahami dampak manusia terhadap lingkungan fisik
b. Bertumpu pada konsep yang terkait dengan mengeksplorasi suatu konsep agar dikonstruksi
c. Kaitan politik dengan masalah ekologis dalam konteks wilayah geografi tertentu
d. Pendekatan ekologi yang berkaitan dengan karakteristik social ekonomi
e. Yang menekankan kebutuhan untuk focus pada kepentingan
Ada beberapa identifikasi tesis dalam ekologi politik ini menurut Robbins (2004), diantara keempat tesis tersebut adalah:
- Degradasi dan marjinalisasi, isu tentang perubahan lingkungan karena eksploitasi yang berlebihan
- Konflik lingkungan, isunya kelangkaan sumberdaya karena dimanfaatkan oleh Negara
- Konservasi dan control, isunya adalah mengorbankan masyarakat local dalam memberdayakan sumberdaya dan diabaikannya mata pencaharian dan organisasi social ekonomi
- Identitas lingkungan dan gerakan social, upaya politik dalam mempertahankan mata pencaharian dan perlindungan lingkungan.
Menurut Bryant dan Bailey (2001) ada lima actor dalam politik ekologi ini, diantara kelima actor tersebut adala: Negara, pengusaha, lembaga multilateral, LSM dan actor akar rumput (grass root). Disamping peran Negara sebagai pelindung dan pengguna sumberdaya ini ada kritik terhadap eksistensinya: pertama, Negara mempersulit upaya pemecahan lingkungan global. Kedua, Negara tidak memiliki kapasitas dalam pemecahan masalah lingkungan. Selain itu adanya kesulitan Negara dalam mengakumulasi capital dan aktivitas industry yang memaksimalisasi ekstrasi sumberdaya yang akan diekspor ke Negara maju. Akan tetapi aktor akar rumput (grass root) ini justru berperan sebagai pihak yang selalu termarjinalisasi ataupun rentan terhadap berbagai bentuk degradasi lingkungan.
EKOLOGI POLITIK di INDONESIA: PERSPEKTIF OTONOMI DAERAH
Banyak yang mengatakan bahwa otonomi daerah sangat mengancam kelestarian lingkungan. Jika dilihat dari sudut ekologi politik ada premis bahwa perubahan lingkungan bukanlah merupakan proses yang netral-teknis. Tetapi lebih pada proses politik dari actor-aktor yang terkait dengan kepentingan sumberdaya alam. Jadi perubahan lingkungan merupkan bentuk dari politicized environment. Sehingga kerusakan lingkungan selama orde baru dapat dilihat dari sumber politik, kondisi serta dampaknya terhadap ketimpangan social ekonomi.
Pada masa lalu, sumber politik ini mencakup kebijakan pemanfaatan sumberdaya yang sentralistik, artinya semua harus dari pusat. Dari sinilah otonomi daerah mengamanatkan sebuah proses desentralisasi memiliki relevansi dan justifikasi yang kuat yakni, sebagai lingkungan strategis baru yang akan menciptakan sumber politik baru, yang antithesis terhadap paradigm dan strategi masa lalu yang sentralistik, ntroposentrik dan teknokratik.
Kalangan yang pro desentralisasi sebenarnya terpecah menjadi dua. Yakni, kalangan yang senang karena mendapat kewenangan baru, dan kalangan yang senang karena percaya pada asumsi ideal desentralisasi itu.
Tulisan ini dikutip dari:
Buku : Ekologi Manusia
Editor : Soeryo Adiwibowo
Penerbit : Fakultas Ekologi Manusia-IPB
Kota : Bogor, Agustus 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar