Senin, 06 Mei 2013

Antropologi budaya, sosiologi, dan ekologi politik_Vivih Rahmawati

ANTROPOLOGI BUDAYA, SOSIOLOGI LINGKUNGAN DAN EKOLOGI POLITIK

I.              Pendahuluan
Telaah atas kemunculan dan perkembangan ekologi manusia sebagai sebuah bidang keilmuan dalam ilmu sosial akan ditinjau secara filasafati baik dari sisi epistimologis atau sejarah perkembangan keilmuan, maupun sisi ontologis atau pengetahuan tentang konsep-konsep dasar yang relevan dengan area of knowledge. Secara kesejarahan bidang ilmu ekologi manusia memasuki dunia scholarship saat sejumlah social sciences scholars mengarahkan perhatiannya pada beberapa isu-kritikal ekologi-biologi yang kemudian berkembang menjadi common interest kemudian ditindak lanjuti oleh agenda riset yang menghasilkan bangun kerangka konseptual yang mantap dalam menjelaskan hubungan antara manusia dengan alam.
Bidang ilmu ekologi manusia diperkenalkan pertama kalinya oleh Haeckel Tahun 1866. Secara epistimologis, lahiranya bidang ekologi manusia ditandai dengan proses panjang demistifikasi melalui serangkaian bukti empirik demi memahami dan mengkonseptualisasikan realitas keterhubungan antara sistem sosial (human system) dan sistem alam (non-human system) di biosfer.
Riset-riset ekologi manusia kontemporer menggunakan pendekatan kuantitatif posistivistik dengan tools yang sangat rigid sehingga semakin mantap dalam ilmu-ilmu sosial, selain itu juga menggunakan pendekatan kualitatif. Konsep dasar proses adaptasi dan maladaptasi ekologi mengkaji sekelompok manusia atau komunitas lokal dalam bertahan hidup menjadi gagasan dasar untuk menjelaskan perkembangan sistem sosial masyarakat berdasarkan inetraksinya dengan alam.
II.           Konsep dan Asumsi Dasar
Ekologi manusia berkembang dari adanya interaksi manusia (man and culture). Bidang ekologi manusia ini dibutuhkan kehadirannya didalam dunia ilmu pengetahuan, kemampuannya dalam memberikan landasan teoritik dan konseptual yang berguna untuk memaknai dan memahami fenomena dan fakta hubungan interaksional manusia dan alam serta perubahan sosial dan ekologis.
Perubahan ekologis merupakan dampak dari interaksi manusia dan alam dengan adanya pertukaran (exchange) yang melibatkan energi, materi dan informasi yang saling berinteraksi. Sistem alam dan sistem manusia keduanya saling memberi energi, materi dan informasi dalam jumlah dan bentuk yang berbeda satu sama lain. Manusia meminta energi, materi dan informasi dari alam untuk pemenuhan kebutuhan hidup yaitu sandang, pangan, dan papan. Sedangkan alam mendapatkan energi, materi dan informasi dari manusia dalam bentuk waste and pollutant yang mendatangkan kerugian sangat banyak bagi kehidupan seluruh planet bumi.
Sistem manusia atau sistem sosial ini dibangun oleh lima elemen yang saling berpengaruh yaitu organisasi sosial atau sistem pengendalian dan kelembagaan, teknologi, populasi, sistem pengetahuan, dan norma atau nilai-nilai yang dibangun oleh masyarakat. Sedangkan sistem ekologi dibangun oleh lima elemen yaitu tanah-air-udara merupakan unsur dasar yang dibawa oleh alam, tumbuh-tumbuhan dan hewan adalah komponen biotik yang ada di alam, mikro organisme sebagai dekomposer, serta man made infrastructure seperti jalan, bangunan, dll. Proses pertukaran materi energi dan informasi melibatkan seluruh elemen yang ada dikedua subsistem.
Pemenuhan kebutuhan hidup manusia yang terus meningkat telah mengantarkan manusia pada suatu fase. Dimana manusia terdorong untuk mengembangkan tindakan manipulatif  berbetuk complex adaptive mechanism yang rumit namun eksploitatif disetiap ekosistem mikro, meso dan makro sehingga menghasilkan akibat yang sama. Yaitu cenderung terus menerus memakan sumber daya alam secara cepat, memperlemah daya dukung lingkungan yang mengarah pada terjadinya krisis ekologi secara berkepanjangan. Krisis ekologi di planet bumi yang tampak nyata, yaitu: kelangkaan sumber pangan yang mengakibatkan bencana kelaparan dan insiden gizi buruk yang semakin meluas, kelangkaan sumber energi pasca habisnya fossil-fuel energy yang semakin serius, pemburukan kualitas kehidupan akibat polusi dan ledakan penduduk di habitat yang semakin sempit, eskalasi erosi banjir dan longsor akibat ekpansi kegiatan manusia, punahnya keanekaragaman hayati akibat eksploitasi SDM yang berlebihan, dan kriminalitas akibat prilaku menyimpang dan masalah sosial lain akibat tingginya kompetisi karena terbatasnya relung kehidupan.
Jadi, krisis ekologi bermula dari jumlah penduduk manusia yang terus meningkat secara signifikan. Sehingga menyebabkan interaksi manusia dengan alam mengalami dinamika yang luar biasa. Dinamika tersebut menghasilkan perubahan status stabil ke status instabil sebuah ekosistem yang sangat cepat, dimana alam mengalami tekanan ekologis yang luar biasa atas perubahan tersebut.
Kemudian, semakin terbatasnya ruang kehidupan sebagai akibat tekanan penduduk, manusia harus mengembangkan proses pemanenan energi dan materi yang semakin eksploitatif. Alam dipaksa untuk terus mengikuti keinginan dan kebutuhan manusia. Sehingga dapat berdampak pada kehancuran lingkungan dan kemiskinan.
Dari perspektif developmentalisme, modernitas peradaban yang disongsong melalui strategi pertumbuhan telah menumbuhkan growth-mania-syndrome. Sindroma ini telah memaksa pemerintahan di setiap negara memacu pembangunan melalui eksploitasi SDA secara besar-besaran dan habis-habisan tanpa mengindahkan usaha konservasi secara seimbang. Alam dipandang sebagai energi pembangunan yang seolah tak akan ada habisnya. Harkat dan martabat alam menjadi sangat rendah saat berhadapan dengan martabat manusia.
Proses pertukaran materi, energi dan informasi antara alam dan manusia tak hanya menjadi tidak setara lagi, tetapi semakin multidimensional dengan melibatkan faktor yang tidak sederhana seperti: sosial, politik, ekonomi, teknologi, dan budaya serta menghasilkan ekses-ekses yang berdampak global.
III.             Pengertian dan Batasan
Ekologi manusia menurut Marten (2001) merupakan ilmu yang memberikan landasan analisis yang berguna untuk memahami konsekuensi aktivitas manusia pada sistem sosial dan sistem ekologi. Diesendorf dan Hamilton (1997) juga memahami ekologi manusia sebagai bidang ilmu yang mempelajari "the relationship between humanity and their non-living environment." Selain itu, Micklin dan Poston (1998) memahami ekologi manusia sedikit lebih provokatif dengan bio-ekologi secara umum. Dari Micklin dan Poston ini, konsep keseimbangan POET (Population, Organization, Environment, and Technology) dibangun lebih lanjut.
Persoalan ekologi kontemporer terletak pada bagaimana organisasi SDA diformulasikan, diteguhkan dan dikukuhkan melalui seperangkat norma, nilai-nilai dan tata aturan. Sehingga ekologi difahami sebagai ilmu tentang organisasi SDA, terutama tanah, air, dan udara. Pengertian ekologi sendiri adalah sebuah multidisiplin dimana fokus perhatiannya pada dinamika hubungan interaksional antara sistem sosial dan sistem ekologi. Dengan memerlukan dukungan beberapa cabang ilmu lain untuk melengkapinya.
Ekologi manusia mengenal beberapa konsep yang merepresentasikan dinamika internal suatu sistem ekologi seperti stabilitas dan instabilitas pertukaran materi, stagnasi dan perubahan ekologis, kesetimbangan dan ketidakseimbangan populasi, serta proses alokasi, distribusi, interaksi, dan pertukaran dari energi materi dan informasi sebagai unsur-unsur pembentuk susunan suatu ekosistem. Dalam dinamika internal ekosistem terlibat dua faktor penting yaitu faktor biotik atau living organism dan faktor abiotik atau non living elements seperti cahaya, matahari, air, gas, dll.
Eksistensi suatu living organism di satu ekosistem dipertaruhkan secara berhadap-hadapan melawan eksistensi living organism yang lain pada sistem ekologi berbeda. Sehingga, terjadilah dinamika kerjasama, kompetisi, persaingan, ketergantungan, peminggiran atau majinalisasi, perjuangan untuk survived dari kepunahan, dll.
Mengingat studi ekologi manusia mengacu pada beragam konteks budaya dan ekosistem, maka ada yang menfokuskan kajian pada masyarakat berburu, ekologi perkotaan, ekologi manusia di kawasan sekitar hutan, ekologi manusia di kawasan persawahan, pesisir, daerah aliran sungai, dll.
Krisis ekologi global yaitu berlangsung proses technometabolism, proses pengubahan bahan dan metri melalui sentuhan teknologi yang rakus energi yang terjadi pada masyarakat industri maju. Berbeda dengan natural metabolism, proses produksi industrial itu mengandalkan input materi, bahan baku dan sda serta energi ekstra tinggi dan sekaligus menghasilkan sampah beracun yang sangat membahayakan bumi dan isinya.
Masyarakat yang mengkonsumsi energi tinggi akan mengkhawatirkan bila dibandingkan dengan masyarakat berburu dan meramu ataupun pertanian tradisional. Masyarakat konsumsi energi tinggi mengarah pada percepatan tercapainya skenario kiamat bagi planet bumi.
IV.        Relung Kajian Ekologi Manusia (Antropologi Budaya dan Sosiologi Lingkungan)
Pada akhir abad ke 20 investigasi teoritik yang mengkombinasikan sosiologi, antropologi dan ekologi menghasilkan persenyawaan baru sosial dan ekologi  sebagai perluasan studi ekologi manusia. Pada kajian sosial ekologi masalah-masalah sosial dan hukum terjadi sebagai konsekuensi perubahan ekologi di suatu kawasan.
Konsep-konseop ekologi klasik seperti adaptasi ekologi dan social ecological adjustment disertai kompetisi suksesi menjadi konsep dasar yang sangat penting dalam pemahaman ekologi manusia. Ekologi manusia rtanpa disadari menggunakan konsep survival of the fittest sebagai asumsi dasar atau gagasan sentral untuk memahami persoalan ekologi di suatu kawasan.
V.                Sosiologi Lingkungan dan Ekologi Politik
Wilayah politik merupakan kawasan yang digarap lebih intensif karena selama ini belum banyak disentuh oleh para pemikir ekologi manusia. Pada ekologi politik dipertemukan dua sub ruang yang saling dikontestasi yaitu ruang konflik sebagai ruang dimana proses produksi dan reproduksi kebijakan dan keputusan politik yang melibatkan beragam kepentingan. Dan ruang kekuasaan sebagai ruang dimana para pemegang otoritas kebijakan menjalankan keputusan yang telah ditetapkan di ruang konflik.
Jika keadaan lingkungan adalah produk dari proses politik, maka tidak terlepas pula yaitu keterlibatan proses dialektika dalam politik ekonomi. Ideologi profit maximizing economy yang dianut oleh para aktor atau pelaku ekonomi yang selalu melakukan kulkulasi benefit and cost analisis dalam operasionalisasi pratek ekonomi (produksi, distribusi, dan konsumen). Turut mengukuhkan proses kehancuran sumberdaya alam dan lingkungan.
Kehancuran sistem ekologi bisa mendapatkan penjelasan dari sisi moral ekonomi pelaku ekonomi. Namun juga dapat dijelaskan dari adanya kegagalan dari sistem tata pengaturan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan seagai akibat bekerjanya proses politik kolutif dan siasat jahat yang bekerja dibalik keluarnya sebuah regulasi tentang eksploitas sumber daya alam. Ada enam subbidang ekologi politik yang terlibat dalam sistem eco-politics, yaitu: ilmu pengetahuan, kekuasaan, praktek atau operasionalisaasi kegiatan ekonomi, politik, keadilan, dan tatapengaturan atau governance.


Tulisan ini diresume dari:
Buku Ekologi Manusia. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia IPB.2007
Oleh : Vivih Rahmawati (PMI 6)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini