Senin, 06 Mei 2013

Moda produksi suku dalam pengelolaan sumber agraria Viqih Akbar


MODA PRODUKSI SUKU DALAM
PENGELOLAAN SUMBER – SUMBER AGRARIA[1]
Endriatmo Soetarto
Kerangka pemikiran
Persoalan pembentukan entitan sosial multi suku, khususnya pada desa – desa 'baru' yang di bentuk dalam kerangka program transmigrasi antar pulau maupun transmigrasi local (translok), dalam konteks desa – desa transmigrasi di Indonesia persoalan tersebut mengikutsertakan pula prihal prihal perbedaan moda produksi (mode of production) yang di bawakan oleh masing – masing suku yang menjadi warga baru. Pada gilirannya perbedaan moda produksi berimplikasi terhadap berhasil tidaknya proses pembentukan entitas sosial baru (komunitas desa) itu sendiri secara sosiologis[2].
Dengan kata lain kebijaka pemerintah yang langsung atau tudak langsung turut mempertahankan terpeliharanya sekat – sekat perbedaan moda produksi dalam pengelolaan sumber – sumber agraria lokal oleh masing – masing suku maka ia berpotensi mengutamakan eksklusivisme suku – suku yang bersangkutan. Sebaliknya kebijakan yang memberi peliang untuk proses untuk saling belajar dan membuka diri antar warga suku yag berbeda dalam pengelolaan sumber – sumber agraria dapat menciptakan ruang bagi pembentukan bagi moda produksi baru (formasi sosial) yang akumodatif[3].

Atas pemahaman itu dapat kita rumuskan hipotesis pengarah sebagai berikut, makin 'stabil lingkungan' berarti semakin demokratis hubungan – hubungan sosial lintas suku dan semakin terdistribusi 'merata' alokasi penguasaan sumber – sumber agraria sehingga pluang brkelanjutan fungsi – fungsi ekologis biofisik makin trebuka. Sebaliknya, makin 'instabili lingkungan' maka semakin asimetris hubungan – hubungan sosial antar suku dan semakin tinggi ketimpangan alokasi penguasaan sumber – sumber agraria, dan pada gilirannya mengancam degradasi kualitas ekologis biofisik lokal.
Metodologi
Studi ini mengambil lokasi di dua desa masing – masing di Sintuwu dan Berdikari, Kecamatan Palolo, Propinsi Sulawesi Tengah. Kedua ddesa ini di ambil dengan alasan desa Sintuwu mencerminkan tipe desa 'asli' sementara desa Berdikari merupakan tipe 'desa pendatang'. Studi ini bersifat studi kasus (case study) karena bertujuan menyoroti secara rinci dan mendalam moda produksi dan tiap – tiap kelompok suku yng ada dikedua desa. Pada tingkatan berikutnya yang di analisis adalah sejauhmana warga masing – masing kelompok – kelompok suku tersebut mengembangkan interaksi kolektif dalam memilih cara mengelola sumber – sumber agraria.
Dalam upaya mengumpulkan data, kegiatan mata pencarian sehari – hari dan sejumlah pristiwa adat di sekitar rumahtangga (life cycle rites) ditetapkan sebagai titik pengamatan terpenting karena di nilai strategis untuk menjelaska kekuatan dan hubungan produksi yang terdapat di dalamnya dan dengan segala implikasinya di aras kehidupan kolektif. Pengamatan berikutnya di arahkan pada upaya menggali informasi dan menganalisis sejauh mana kegiatan mata pencarian hidup, penyelenggaraan peristiwa – peristiwa adat tersebut, dan peristiwa – peristiwa hari – hari besar nasional dan keagamaan, mampu berfungsi atau tidak sebagai jembatan bagi proses – proses interaksi lintas suku yang penting bagi pembentukan sentimen kolektif berskala desa. Pada gilirannya ingin di ketahui apakah dengan tumbuh atau tidaknya 'sentimen kolektif' memberi implikasi terhadap proses pembentukan suatu moda produksi dominan atau formasi sosial yang berciri 'stabil' atau sebaliknya 'instabil'.
Tipe Komonitas Sosial Desa Sintuwu dan Desa Berdiikari
Dapat di catat kedua desa ini mencerminkan tipe komunitas dimana terjadi percampuran penduduk antara beragam kelompok suku baik yang datang dari program permukiman kembali (resettlement) yang di selenggarakan pemerintah maupun dari proses migrasi swakarsa (spontan). Penduduk desa Sintuwu berdasarkan penvatatan tahun 2001 berjumlah 1205 jiwa, sementara desa Berdikari 1782 jiwa.
Latar Belakang Masuknya Penduduk Berbagai Kelompok Suku ke Desa
Pada awalnya desa Sintuwu memang terbentuk oleh penduduk yang di pindah paksa oleh pemerintah daerah pada tahun 1961 dari sebuah wilayah pegunungan di kecamatan Biromaru yang relatife tidak jauh dengan desa Sintuwu. Desa Sintuwu mulai menjadi desa heterogen dengan mulai banyaknya orang Bugis dan orang Kulawi. Orang Bugis datang dengan alasan awal untuk bertemu dengan saudara mereka yang telah menjadi warga desa. Namun ternyata mereka pun ikut menetap dan kemudian berkerja sebagai petani atau pedagang. Orang Bugis dan Kulawi ini kemudian di kenal dengan istilah setempat sebagai 'orang pendatang' karena memang berasal dari luar wilayah Palolo.
Sementara latar belakan proses migrasi penduduk desa Bredikari lebih mudah di pahami karena memang tanah di desa setempat relatif subur sehingga mengundang minat banyak orang untuk menempatinya. Orang dari suku Kulawi yang juga adalah aparat menerintah desa Ampera (desa tetangga) yang tertarik untuk merintis membuka kebun pada lahan yang masih berhutan dan kosong penduduk, yang kemudian di ikuti oleh sanak saudaranya dan begitulah seterusnya. Arus migrasi spontan tersebut pada gilirannya membentuk sebuah desa baru yang di sebut desa Karawa Maluo. Namun kemudian nama desa ini berubah menjadi Berdikari.
Karakteristik Pendidikan dan Pekerjaan Penduduk
Di desa Berdikari latar belakang pendidikan sebagian besar warganya haya tamatan sekolah dasar saja (50%), sebagian lain (30%) di antaranya bahkan tidak tamat SD. Sisanya tersebar di katagori tamat SD, dan ganya sekitar 10% saja di antaranya yang tamat SLTA. Sedangkan di Sintuwu data serupa tidak di peroleh, manun dugaan peneliti berdasarkan keterangan para pemuka masyarakat ampaknya keadaan dari segi pendidikan ini lebuh buruk. Ini karena dominasi suku di desa Sintuwu adalah Kaili yang pada umumnya hanya berpredikat tidak tamat SD.
Sementara pekerjaan mereka di kedua desa tersebut tercatat lebuh dari 90% adalah petani. Katagori petani terbagi atas petani pemilik dan petani penggarap. Di desa Sintuwu berdasarkan catatan monografi tahun 2000 jumlah petani pemilik tak lebih dari 5% saja, sementara sisanya hanya menjadi petani penggarap. Di desa Berdikari menurut catatan monografi desa tahun 2000 petani penggarap mencapai hampir 30% saja, sedangka sisanya adalah petani pemilik. Haya sedikit saja di antara mereka yang selain bertani juga membuka usaha dagang misalnya dengan membuka warung di rumah.
Moda Produksi Multi Suku dan Pengaruhnya pada Pengelolaan Sumber Agraria
Hal paling penting yang segera dapat kita nyatakan pada tipe desa 'asli' (desa Sintuwu) ialah mada produksi dominan yag mempengaruhi cara pengelolaan sumber – sumber agraria di desa setempat terutama mengacu pada kelompok suku Kaili, yaitu suku asli yang paling awal datang membuka desa dan memiliki warga dalam jumlah mayoritas. Sebaliknya pada tipe desa 'pendatang' (desa Berdikari) mida produksi dominan tidak ada karena masing – masing warga mengacu pada tradisi kelompok sukunya yang jumlah warganya relative seimbang. Masing – masing suku datang menepati desa barunya praktis beruntun dalam jangka waktu yang satu sama lain relatif pendek.
Kesimpulan
Perkembangan desa Berdikari dan terkebih lagi desa Sintuwu masih mencirikan masih mencirikan kehidupan yang ter kotak – kotak dalam eksklusivisme suku. Dalam kontek studi ini gejala eksklusivisme di tunjukan oleh formasi sosial 'stabil' yang mensinergikan moda produksi masing – masing kelompok suku secara lebih harmonis. Sejajar dengan itu terlihat bahwa kelompok suku asli merasa tidak terlalu terikat penuh dengan lahan miliknya. Alasanya selain sifat usaha petani mereka tidak menuntut mpengelolaan intensif juga karena lahan milik hanya di maknai sebatas fungsi survival belaka,
Sementara kelompok suku pendatang, utamanya Bugis makin terdorong ekspansif degan membeli lahan – lahan baru dari suku – suku asli bagi tamanan kakao mereka yang memiliki nilai tinggi di pasar. Singkat kata yang terjadi di desa Sintuwu adalah suatu pengerasan moda produksi masing – masing kelompok suku yag satu sama lain bersifat eklusif sehingga 'instabil'
Daftar Pustaka
Ekologi Manusia. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia IPB. 2007



[1] Karangan ini di tulis ulang dan merujuk pada karya penulis pada discussion paper no 20. Stroma Project, University of Goettingen Germany, 2004.
[2] Para scholar Marxian condong membedakan moda produksi pada 2 (dua) aspek di dalamnya, yaitu pertama yag di sebut kekuatan produksi (force of production) dan hubungan produksi (relation of production). Kekuatan produksi dalam konteks ini berhubungan dengan pemanfaatan alat – alat produksi. Termasuk tanah sebagai salah satu sumber agraria. Sementara hubungan produksi berkaitan dengan sifat penggunaan tenaga kerja (kekeluargaan atau transaksional). Dari dua elemen twrsebut maka artikulasi moda produksi dapat di pilah – pilah atas ciri 'subsisten', 'komersil', dan 'kapitalis'. Dua ciri terakir ini berorientasi kepasar sementara yang di sebut pertama berorientasi keusaha melalui kebutuhan rumahtangga sendiri. Dalam moda produksi 'komersial' dan terutama 'kapitalis' maka alat – alat produksi tidak semata – mata tanah, melainkan mencakup juga tenaga kerja, dan modal (uang). Jadi beda dengan moda produksi subsisten yang hanya bertumpu pada basis tanah belak (Baningka Wolff and Resnick dan Petras 1984).
[3] Dimaksudkan dengan formasi sosial (social formation) adalah gejala dimana dua atau lebih moda produksi hadir dalam masyarakat dan salah satu moda produksi mendominasi lainnya. Formasi sosial ini pada gilirannya menggerakan sprastruktur (nilai dan aturan) suatu komunitas sosial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini