Kontruktivisme menurut MAX WEBER dan BERGER
Pada umumnya teori dalam paradigma definisi sosial sebenarnya berpandangan bahwa manusia adalah aktor yang kreatif dari realitas sosialnya. Dalam arti, tindakan manusia tidak sepenuhnya ditentukan oleh norma-norma, kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai dan sebagainya, yang kesemuanya itu tercakup dalam fakta sosial yaitu tindakan yang menggambarkan struktur dan pranata sosial (Ritzer dalam Bungin, 2008 : 187).
Manusia dalam banyak hal memiliki kebebasan untuk bertindak di luar batas kontrol struktur dan pranata sosialnya di mana individu berasal. Karena itu, paradigma definisi sosial lebih tertarik terhadap apa yang ada dalam pemikiran manusia tentang proses sosial, terutama para pengikut interaksi simbolis. Dalam proses sosial, individu manusia dipandang sebagai pencipta realitas sosial yang relatif bebas di dalam dunia sosialnya.
Dalam penjelasan ontologi paradigma konstruktifis, realitas merupakan konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Namun demikian kebenaran suatu realitas sosial bersifat nisbi, yang berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial (Hidayat dalam Bungin, 2008 : 187).
Max Weber dalam Bungin (2008 : 188) melihat realitas sosial sebagai perilaku sosial yang memilik makna subjektif, karena itu perilaku memiliki tujuan dan motivasi. Perilaku sosial itu menjadi "sosial", oleh Weber dikatakan, kalau yang dimaksud subjektif dari perilaku sosial membuat individu mengarahkan dan memperhitungkan kelakuan orang lain dan mengarahkan kepada subjektif itu.
Pada kenyataannya, realitas sosial tidak berdiri sendiri tanpa kehadiran idividu, baik di dalam maupun di luar realitas tersebut. Realitas sosial itu memiliki makna, ketika realitas sosial dikonstruksi dan dimaknakan secara subjektif oleh individu lain sehingga memantapkan realitas itu secara objektif. Individu mengkonstruksi realitas sosial, dan merekonstruksikannya dalam dunia realitas, memantapkan realitas itu berdasarkan subjektivitas individu lain dalm institusi sosialnya.
Membicarakan teori konstruksi sosial tak dapat melupakan gagasan dari dua tokoh sosiologi yakni Peter L Berger dan Thomas Luckmann. Teori konstruksi sosial, sejatinya dirumuskan kedua akademisi ini sebagai suatu kajian teoritis dan sistematis mengenai sosiologi pengetahuan.
Konstruktivisme dapat dilihat sebagai sebuah kerja kognitif individu untuk menafsirkan dunia realitas yang ada, karena terjadi relasi sosial antara individu dengan lingkungan atau orang di sekitarnya. Kemudian individu membangun sendiri pengetahuan atas realitas yang dilihatnya itu berdasarkan pada struktur pengetahuan yang telah ada sebelumnya. Konstruktivisme macam ini yang oleh Berger dan Luckmann (1990 : 1), disebut dengan konstruksi sosial.
Berger dan Luckmann (1990 : 1) memulai penjelasan realitas sosial dengan memisahkan pemahaman "kenyataan" dan "pengetahuan". Realitas diartikan sebagai kualitas yang terdapat di dalam realitas-realitas, yang diakui memiliki keberadaan (being) yang tidak tergantung kepada kehendak kita sendiri. Sedangkan pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata (real) dan memiliki karakteristik yang spesifik.
Berger dan Luckmann (1990 : 61) mengatakan, institusi masyarakat tercipta dan dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan interaksi manusia. Meskipun masyarakat dan institusi sosial terlihat secara nyata secara objektif, namun pada kenyatannya semuanya dibangun dalam definisi subjektif melalui proses interaksi.
Berger dan Luckmann meyakini secara substantif bahwa realitas merupakan hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuatan konstruksi sosial terhadap dunia sosial di sekelilingnya, "reality is socially constructed". Teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas terjadi secara simultan melalui tiga proses sosial, yaitu (1) eksternalisasi (penyesuaian diri) dengan dunia sosiokultural sebgai produk manusia, (2) objektivasi, yaitu interaksi sosial yang terjadi dalam dunia intersubjektif yang dilebagakan atau mengalami proses institusionalisasi dan (3) internalisasi, yaitu proses yang mana individu mengidentifikasikan dirinya dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat individu menjadi anggotanya (Bungin, 2008 : 193).
Menurut Berger dan Luckmann (Nugroho dalam Bungin, 2008 : 192) pengetahuan yang dimaksud adalah realitas sosial masyarakat. Realitas sosial tersebut adalah pengetahuan yang bersifat keseharian yang hidup dan berkembang di masyarakat, seperti konsep, kesadaran umum, wacana publik, sebagai hasil dari konstruksi sosial. Realitas sosial dikonstruksi melalui proses eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Menurut Berger dan Luckmann, konstruksi sosial tidak berlangsung dalam ruang hampa, namun sarat dengan kepentingan-kepentingan.
Menurut Berger dan Luckmann (Subiakto dalam Bungin, 2008 : 192) realitas sosial yang dimaksud adalah terdiri dari realitas objektif, realitas simbolis, dan realitas subjektif. Realitas objektif adalah realitas yang terbentuk dari pengalaman di dunia objektif yang berada di luar diri individu, dan realitas ini dianggap sebagai kenyataan. Realitas simbolis merupakan ekspresi simbolis dari realitas objektif dalam berbagai bentuk. Sedangkan realitas subjektif adalah realitas yang terbentuk sebagai proses penyerapan kembali realitas objektif dan simbolis ke dalam individu melalui proses internalisasi.
Intinya adalah konstruksi sosial merupakan pembentukan pengetahuan yang diperoleh dari hasil penemuan sosial. Realitas memiliki makna ketika realitas sosial tersebut dikonstruksi dan dimaknakan secara subjektif oleh orang lain sehingga memantapkan realitas tersebut secara objektif. Konstruksi sosial realitas merupakan teori yang mengasumsikan sebuah persetujuan berkelanjutan atas makna, karena orang-orang berbagi sebuah pemahaman mengenai realitas tersebut (Baran & Davis, 2009: 383).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar