Rabu, 25 September 2013

Rini Astuti KPI 1 B_Tugas 3_Emile Durkheim

1.    The Division Of Labor In Society

Tesis The Division Of Labor In Society adalah bahwa masyarakat modern tidak diikat oleh kesamaan antara orang-orang yang melakukan pekerjaan yang sama, akan tetapi pembagian kerjalah yang mengikat masyarakat dengan memaksa mereka agar tergantung satu sama lain. Kelihatannya pembagian kerja memang menjadi tuntutan ekonomi yang merusak solidaritas sosial, akan tetapi Durkheim berpendapat bahwa "fungsi ekonomis yang dimainkan oleh pembagian kerja ini menjadi tidak penting dibandingkan dengan efek moralitas yang dihasilkannya. Maka fungsi sesungguhnya dari pembagian kerja adalah untuk menciptakan solidaritas antara dua orang atau lebih."

•    Solidaritas Mekanis Dan Organis
Durkheim sangat tertarik dengan perubahan cara dimana solidaritas sosial terbentuk, dengan kata lain, perubahan cara-cara masyarakat bertahan dan bagaimana anggotanya melihat diri mereka sebagai bagian yang utuh. Untuk menyimpulkan perbedaan ini, Durkheim membagi dua tipe solidaritas yaitu mekanis dan organis. Masyarakat yang ditandai oleh solidaritas mekanis menjadi satu dan padu karena seluruh orang adalah generalis. Ikatan dalam masyarakat seperti ini terjadi karena mereka terlibat dalam aktivitas yang sama dan memiliki tanggung jawab yang sama. Sebaliknya, masyarakat yang ditandai oleh solidaritas organis bertahan bersama justru dengan perbedaan yang ada didalamnya, dengan fakta bahwa semua orang memiliki pekerjaan dan tanggung jawab yang berbeda-beda.
Durkheim berpendapat bahwa masyarakat primitif memiliki kesadaran kolektif yang lebih kuat, yaitu pemahaman, norma dan kepercayaan bersama. Peningkatan pembagian kerja menyebabkan menyusutnya kesadaran kolektif. Kesadaran kolektif kurang signifikan dalam masyarakat yang ditopang oleh solidaritas organis daripada masyarakat yang ditopang oleh solidaritas mekanis. Masyarakat modern lebih mungkin bertahan bersama dengan pembagian kerja dan membutuhkan fungsi-fungsi yang dimiliki orang lain daripada bertahan dengan kesadaran kolektif bersama dan kuat.
•    Dinamika Penduduk
Bagi Durkheim, pembagian kerja adalah fakta sosial material karena merupakan bagian dari interaksi dalam dunia sosial. Oleh karena itu, fakta sosial mesti dijelaskan dengan fakta sosial lain. Durkheim meyakini bahwa perubahan solidaritas mekanis menjadi solidaritas organis disebabkan oleh dinamika penduduk. Persoalan yang terkait dengan kepadatan penduduk selalu ditentukan oleh diferensiasi dan akhirnya, muncul organisasi sosial bentuk baru. Peningkatan pembagian kerja mengharuskan orang untuk saling melengkapi, dan bukannya berkonflik satu sama lain. Oleh karena itu, peningkatan pembagian kerja menawarkan efisiensi yang lebih baik, yang menyebabkan peningkatan sumber daya, menciptakan kompetensi diantara mereka secara damai. Perbedaan terakhir antara solidaritas mekanis dan solidaritas organis adalah bahwa dalam masyarakat dengan solidaritas organis, kompetisi yang kurang dan diferensiasi yang tinggi memungkinkan orang bekerja sama dan sama-sama ditopang oleh sumber daya yang sama. Oleh karena itu, diferensiasi justru menciptakan ikatan yang lebih erat dibanding persamaan.
•    Hukum Represif Dan Restitutif
Pembagian kerja dan dinamika penduduk adalah fakta sosial material, akan tetapi ketertarikan utama Durkheim justru bentuk solidaritas, yang merupakan fakta sosial nonmaterial. Durkheim berpendapat bahwa masyarakat dengan solidaritas mekanis dibentuk oleh hukum represif. Karena anggota masyarakat jenis ini memiliki kesamaan satu sama lain dan karena mereka cenderung sangat percaya pada moralitas bersama, apa pun pelanggaran terhadap sistem nilai bersama tidak akan dinilai main-main oleh setiap individu. Karena setiap orang dapat merasakan pelanggaran itu dan sama-sama meyakini moralitas bersama, maka pelanggar tersebut akan dihukum atas pelanggarannya terhadap sistem moral kolektif. Sebaliknya, masyarakat dengan solidaritas organis dibentuk oleh hukum restitutif, dimana seseorang yang melanggar mesti melakukan restitusi untuk kejahatan mereka. Dalam masyarakat seperti ini, pelanggaran dilihat sebagai serangan terhadap individu tertentu atau segmen tertentu dari masyarakat dan bukannya terhadap sistem moral itu sendiri. Artinya, dalam The Division of Labor In Society Durkheim berpendapat bahwa dalam masyarakat modern bentuk solidaritas moral mengalami perubahan, bukannya hilang. Kita memiliki bentuk solidaritas baru yang memungkinkan adanya interdependensi yang lebih kuat dan relasi yang lebih erat dan tidak terlalu kompetitif. Hal ini kemudian melahirkan hukum yang dilandaskan pada restitusi.
•    Norma Dan Patologi
Durkheim menggunakan ide patologi untuk mengkritik beberapa bentuk abnormal yang ada dalam pembagian kerja masyarakat modern. Dia membedakan tiga bentuk perilaku abnormal yaitu pembagian kerja anomik, pembagian kerja yang dipaksakan, dan pembagian kerja yang terkoordinasi dengan buruk. Pembagian kerja anomik adalah tidak adanya regulasi dalam masyarakat yang menghargai individualitas yang terisolasi dan tidak mau memberitahu masyarakat tentang apa yang harus mereka kerjakan. Durkheim menggunakan istilah pembagian kerja anomi untuk mengacu kondisi sosial dimana manusia kekurangan pengendalian moral. Pembagian kerja yang dipaksakan, patologi kedua ini merujuk pada fakta bahwa norma yang ketinggalan zaman dan harapan-harapan bisa memaksa individu, kelompok, dan kelas masuk kedalam posisi yang tidak sesuai bagi mereka. Tradisi, kekuatan ekonomi, atau status bisa jadi lebih menentukan pekerjaan yang akan dimiliki ketimbang bakat dan kualifikasi. Terakhir, bentuk pembagian kerja abnormal ketiga adalah dimana fungsi-fungsi khusus yang dilakukan oleh orang yang berbeda-beda tidak diatur dengan baik. Disini Durkheim kembali menyatakan bahwa solidaritas organis berasal dari ketergantungan antarmereka.
•    Keadilan
Agar pembagian kerja dapat berfungsi sebagai moral dan secara sosial menjadi kekuatan pemersatu dalam masyarakat modern, maka anomi, pembagian kerja yang dipaksakan, dan koordinasi yang kurang sempurna dari spesialisasi kerja mesti jadi ditangani sedemikian rupa. Bagi Durkheim kata kunci untuk persoalan adalah keadilan sosial. Maka tugas masyarakat maju adalah menciptakan keadilan. Kalau tugas masyarakat yang lebih rendah adalah menciptakan atau mempertahankan semangat hidup bersama sebisa mungkin, dimana individu terserap kedalamnya, maka cita-cita kita dalam masyarakat modern adalah menciptakan relasi sosial yang seadil-adilnya, dan memastikan kekuatan-kekuatan yang bermanfaat secara sosial dapat berkembang secara bebas.


2.    The Elementary Forms Of Religious Life

Agama. Dalam karya terakhirnya, fakta sosial nonmaterial bahkan semakin menduduki posisi sentral. Sebenarnya, mungkin ia mulai memfokuskan perhatiannya pada bentuk hakiki fakta sosial nonmaterial, agama. Raymond Aron mengatakan The Elementary Forms Of Religious Life adalah karya Durkheim yang paling penting, paling besar, dan paling orisinal. Collins dan Makowsky mengatakan karya ini barang kali sebagai satu-satunya buku terbaik pada abad ke-20. Dalam buku ini Durkheim menempatkan sosiologi agama dan teori pengetahuan di bagian depan, sosiologi agamanya terdiri dari usaha mengidentifikasi hakikat agama yang selalu ada sepanjang zaman dengan menganalisis bentuk-bentuk agama yang paling primitif. Sementara teori pengetahuannya berusaha menghubungkan kategori-kategori fundamental pikiran manusia dengan asal-muasal sosial mereka. Singkat kata, dia menemukan hakikat abadi agama dengan cara memisahkan yang sakral dari yang profan. Masyarakat (melalui individu) menciptakan agama dengan mendefinisikan fenomena tertentu sebagai sesuatu yang sakral sementara yang lain sebagai profan. Aspek realitas sosial yang didefinisikan dan dianggap sakral inilah yaitu suatu yang terpisah dari peristiwa sehari-hari yang membentuk esensi agama. Segala sesuatu yang selainnya yang didefinisikan dan dianggap profan –tempat umum, suatu yang bisa dipakai, aspek kehidupan duniawi. Disatu pihak, yang sakral melahirkan sikap hormat, kagum, dan bertanggung jawab. Dipihak lain, sikap-sikap terhadap fenomena-fenomena inilah yang yang membuatnya dari profan menjadi sakral. Perbedaan antara yang sakral dan yang profan serta terangkatnya beberapa aspek kehidupan sosial ke level yang sakral memang merupakan syarat mutlak bagi keberadaan agama, namun belum cukup sebagai syarat kemungkinannya. Tiga syarat lain yang dibutuhkan adalah pertama, harus ada pengembangan kepercayaan religius. Kepercayaan adalah representasi yang mengekspresikan hakikat hal yang sakral atau dengan hal yang profan. Kedua, mesti ada ritual agama yaitu aturan tingkah laku yang mengatur bagaimana seorang manusia mesti bersikap terhadap hal-hal yang sakral tersebut. Ketiga, agama membutuhkan gereja, atau suatu komunitas moral yang melingkupi seluruh anggotanya. Hubungan timbal balik antara yang sakral, kepercayaan, ritual, dan gereja mendorong Durkheim untuk mengemukakan definisi agama sebagai berikut. Agama adalah kesatuan sistem kepercayaan dan praktik yang menyatu dalam sebuah komunitas moral tunggal yang dinamai gereja, semua yang melekat padanya.
Durkheim ingin mempelajari agama dalam budaya primitif karena beberapa alasan. Pertama, dia percaya bahwa lebih mudah memperoleh pengetahuan tentang hakikat agama dalam budaya primitif. Bentuk agama dalam budaya primitif bisa dilihat dalam seluruh keasliannya mereka dan tidak membutuhkan usaha keras untuk mengungkapnya. Dalam hal ini, kalau agama dalam masyarakat modern memiliki bentuk yang bermacam-macam, dalam masyarakat primitif agama memiliki persesuaian intelektual dan moral. Hal ini memudahkan untuk menghubungkan kepercayaan bersama dengan struktur sosial. Durkheim mempelajari agama primitif adalah untuk menyelidiki agama dalam masyarakat modern. Agama dalam masyarakat nonmodern merupakan sesuatu yang melingkupi kesadaran kolektif. Akan tetapi masyarakat berkembang menjadi makin khusus, sehingga agama makin terpinggir.

Totemisme

Totemisme adalah sistem agama dimana sesuatu, bisa binatang dan tumbuhan dianggap sakral dan jadi simbol klan. Durkheim memandang totemisme sebagai bentuk agama yang paling sederhana dan paling primitif dan percaya bahwa totemisme terkait dengan bentuk paling sederhana dari organisasi sosial, sebuah klan. Totemisme adalah representasi material dari kekuatan nonmaterial yang jadi dasarnya, dan kekuatan nonmaterial itu tak lain adalah masyarakat. Totemisme, dan agama secara umum, berasal dari moralitas kolektif dan menjadikan dirinya sebagai kekuatan impersonal. Sebagai sebuah studi atas agama primitif, kekhasan interpretasi Durkheim sudah banyak dipertanyakan. Meski totemisme bukanlah agama yang paling primitif, namun dia merupakan sarana yang paling baik untuk mengembangkan teori baru Durkheim yang menghubungkan agama, pengetahuan, dan masyarakat. Dalam totemisme, ada tiga jenis hal ihwal yang saling berhubungan yaitu simbol totemik, binatang atau tumbuhan, dan anggota suku. Dengan demikian, totemisme menyediakan jalan atau cara untuk mengklasifikasikan objek-objek alam yang merefleksikan organisasi sosial suku.

Sosiologi Pengetahuan

Kalau Durkheim awal lebih fokus pada pemisahan sosiologi dari filsafat, maka untuk selanjutnya dia ingin membuktikan bahwa sosiologi mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tak tertanggulangi oleh filsafat. Filsafat telah mengajukan dua model umum tentang bagaimana manusia mampu mengembangkan konsep dari pencerapan indra mereka. Pertama, disebut empirisisme, yang mengatakan bahwa konsep adalah generalisasi dari pencerapan indra. Persoalan yang diidap oleh filsafat empirisisme adalah bahwa kita terlebih dahulu harus punya konsep-konsep awal seperti ruang, waktu, dan kategori-kategori agar kita bisa mengelompokkan cerapan-cerapan indra untuk kemudian digeneralisasi. Itulah sebabnya, mazhab filsafat lainnya, apriorisme, mengatakan bahwa sejak lahir kita sudah dilengkapi dengan kategori-kategori pemahaman awal. Durkheim berpendapat bahwa pengetahuan manusia bukanlah hasil pengalamannya sendiri dan bukan pula karena kategori yang telah dimiliki sejak lahir yang dapat kita pakai untuk memilah-milah pengalaman. Sebenarnya, kategori-kategori tersebut adalah ciptaan masyarakat. Mereka adalah representasi kolektif. Marx telah mengajukan sosiologi pengetahuan, akan tetapi dia mengajukannya murni dari pengertian negatif. Durkheim menawarkan sosiologi pengetahuan yang lebih kuat yang menjelaskan apa hakikat pengetahuan kita berdasarkan kekuatan sosial.
Kategori pemahaman. The Elementary Forms menghadirkan sebuah argumen tentang asal-usul sosial dari enam kategori fundamental yang telah diidentifikasi oleh filsuf sebagai suatu yang esensial bagi pemahaman manusia : waktu, tempat, klasifikasi, kekuatan, kausalitas, dan totalitas. Waktu berasal dari irama kehidupan sosial. Kategori tempat dikembangkan dari pembagian tempat yang ditempati oleh masyarakat. Kita telah membahas bagaimana dalam totemisme, klasifikasi dilekatkan pada kelompok manusia. Kekuatan berasal dari pengalaman dengan kekuatan sosial. Ritual imitasi adalah asal konsep kausalitas. Terakhirnya, masyarakat adalah representasi totalitas.

Pemujaan Individu

Durkheim membedakan individualisme moral dari egoisme. Untuk mencermati pembedaan ini, pertama-tama kita harus memahami fokus ide Durkheim tentang dualitas hakikat manusia, yang sering disebut dengan homo duplex. Menurut Durkheim, dalam diri kita terdapat dua hakikat. Yang pertama, didasarkan pada individualitas tubuh kita yang terisolasi dan kedua adalah hakikat kita sebagai makhluk sosial.
Durkheim percaya bahwa problem utama masyarakat modern adalah moral alami dan bahwa solusi satu-satunya hanya ada dalam penguatan daya moralitas kolektif. Meskipun Durkheim mengakui bahwa tidak mungkin mengembalikan kekuatan kesadaran kolektif masyarakat solidaritas mekanis, namun dia yakin kalau bentuk modern solidaritasnya dapat diwujudkan. Untuk menguatkan fakta bahwa individu bisa menjadi sakral bagi kita, dia mengistilahkan bentuk modern kesadaran kolektif dengan pemujaan individu.

Liberalisme Versus Komunitarianisme

Mark Cladis (1992) menunjukkan bagaimana posisi Durkheim terkait dengan perdebatan hangat di zamannya, khususnya antara orang yang percaya bahwa kebebasan individu adalah yang paling tertinggi dan orang yang percaya pentingnya nilai sosial. Dua posisi tersebut selalu dilabeli dengan liberalisme dan komunitarianisme. Cladis berpendapat bahwa Durheim adalah pembela sekaligus pengkritik liberalisme dan komunitarianisme.

Pendidikan Moral dan Reformasi Sosial

Durkheim melihat persoalan masyarakat modern sebagai penyimpangan yang bersifat temporer, bukan sebagai sebuah kesulitan yang inheren. Karena itu, dia percaya dengan reformasi sosial. Dalam menentukan posisinya, dia mengambil posisi yang berlawanan dengan paham konservatif maupun paham radikal pada masanya. Paham konservatif melihat tidak ada harapan dalam masyarakat modern dan mencoba mengadakan perbaikan lewat jalur kekuasaan atau kekuatan politik gereja katolik Roma. Paham radikal sama dengan paham sosialis semasa Durkhei yang sepakat bahwa dunia tidak bisa diperbaharui, akan tetapi mereka berharap revolusi akan melahirkan sosialisme atau komunisme.

Moralitas

Moralitas, bagi Durkheim, memiliki tiga komponen. Pertama, moralitas melibatkan disiplin, yaitu suatu pengertian tentang otoritas yang menghalangi dorongan-dorongan idiosinkratis. Kedua, moralitas menghendaki keterikatan dengan masyarakat karena masyarakat adalah sumber moralitas. Ketiga, melibatkan otonomi, suatu konsep tentang individu yang bertanggung jawab atas tindakan mereka. Disiplin, Durkheim selalu mendiskusikan disiplin dari sudut pengekangan terhadap dorongan-dorongan hasrat hati seseorang. Pengekangan ini penting karena kepentingan individu dan kepentingan kelompok tidak sama dan bisa saja terlibat dalam konflik. Disiplin menghadapkan seseorang dengan tanggung jawab moral dirinya, yang bagi Durkheim merupakan kewajiban sosial. Keterikatan, akan tetapi Durkheim tidak melihat moralitas sebagai persoalan pengekangan semata. Elemen moralitas yang kedua adalah keterikatan terhadap kelompok sosial –kehangatan, kerelaan yang merupakan aspek positif komitmen kelompok bukan karena kewajiban eksternal, akan tetapi karena perasaan terikat yang tulus. Otonomi, elemen moralitas ketiga adalah otonomi. Disini Durkheim mengikuti definisi filsafat Kant dan melihatnya sebagai dorongan-dorongan kehendak yang punya landasan rasional, dengan corak sosiologis dimana dasar rasional itu tidak lain adalah yang sosial (masyarakat).

Pendidikan Moral

Pendidikan didefinisikan oleh Durkheim sebagai proses dimana individu mendapatkan alat-alat fisik, intelektual, dan yang paling penting bagi Durkheim, moral yang diperlukan agar dapat berperan dalam masyarakat. Sebelum Durkheim mulai reformasi pendidikan, ada dua pendekatan yang digunakannya. Pendekatan pertama melihat pendidikan sebagai perpanjangan tangan gereja, sedangkan yang kedua melihat pendidikan sebagai pencetak individu yang alami. Sebaliknya, Durkheim berpendapat bahwa pendidikan akan menolong anak-anak mengembangkan sikap moral terhadap masyarakat. Yang paling penting adalah peran pendidikan dalam pengembangan otonomi, dimana disiplin diinginkan secara sukarela, dan keterikatan terhadap masyarakat lahir dari persetujuan yang mencerahkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini