AGAMA MENURUT E. DURKHEIM DAN AUGUSTE COMTE (tugas ke-II)
oleh: Mudillah 1112051000132 (KPI 1E)
EMILE DURKHEIM
Durkheim memandang agama sebagai sesuatu yang bukan hanya ilusi manusia yang abstrak tetapi agama merupakan produk manusia yang dapat dikaji secara empiris. Dalam bukunya "The Elementary Forms of Religious" Durkheim memberikan suatuanalisa terperinci menegenai keprcayaan-kepercayaan dan ritual-ritual agama totemic orang arunta, suku bangsa primitive di Australia utara.
Durkheim mendifinisikan agama sebagai "Suatu system yang terpadu mengenai kepercayaan-kepercayaan praktek-praktek yang berhubungan dengan benda-benda suci atau benda-benda khusus (terlarang) kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek yang menyatu dalam satu komunitas yang disebut umat, semua berhubungan dengan itu.
Durkheim mengabstraksi munculnya agama dalam masyarakat yaitu dengan memisahkan antara yang sacral dan yang profan. Sacral yang berisikan unsur distinktif pemikiran agama; kepercayaan, mitos, dogma dan legenda yang menjadi representasi atau sistem representasi hakikat hal-hal yang sacral, sekaligus kebaikan dan kekuatan yang dilekatkan padanya, atau hubungan-hubungannya satu sama lain dan termasuk hubungan dengan yang profan. Masyarakat menciptakan agama dengan mendefinisikan fenomena tertentu sebagai sesuatu yang sekral dan sementara yang lain dianggap profan (kejadian yang umum atau biasa), sacral inilah yang dianggap sebagai suatu yang terpisah dari peristiwa sehari-hari yang membentuk esensi agama. Misalnya nilai-nilai pengrusakan atau kejahatan didalam agama hindu dimanifestasikan sebagai siwa; dewa perusak. Sedangkan profan adalah peristiwa yang biasa terjadi dalam masyarakat dikehidupan sehari-harinya yang tidak memiliki nilai-nilai suci yang disakralkan. Yang profan ini dapat menjadi sakral jikalau masyarakat mengagungkan dan menyucikannya. Durkheim menyebutkan bahwa sumber agama adalah masyarakat itu sendiri, masyarakatlah yang menentukan bahwa sesuatu itu bersifat sakral dan yang lain bersifat profan, khususnya dalam kasus yang di sebut totemisme, yaitu system agama dimana sesuatu, bisa binatang dan tumbuhan dianggap sakral dan dijadikan simbol klan. Menurut Durkheim totemisme merupakan agama yang paling sederhana dan primitive yang juga merupakan bentuk organisasi social yang paling sederhana. Totemisme ini berasal dari representasi klan atau suku, individu mengalami kekuatan sosial yang sangat erat dan besar ketika mengikuti upacara suku sehingga mereka berusaha mencari penjelasan atas fenomena tersebut dan mewujudkannya dalam suatu lambang totem.
Sumber:
Agama: dalam analisa dan interpresepsi sosiologis,roland robertson,ed
AUGUST COMTE
August Comte adalah pendiri mazhab Positivisme, dia menginginkan seluruh fenomena-fenomena sosial dianalisa dan diobservasi, sama seperti kita mengobservasi dan menganalisa fenomena-fenomena alam. Selain pandangan di atas, Comte juga menerima pandangan lain yang disebut sebagai Fungsionalisme, yang menyelidiki fenomena-fenomena sosial berdasarkan fungsi-fungsinya. Selain kedua pandangan di atas, Comte juga menerima pandangan Evolusionisme, dan dengan ketiga pandangan tersebut ia mencoba meneliti dan menganalisa masyarakat.
Dalam kaitannya untuk mengganti tatanan sosial abad tengah yang sudah tidak sesuai lagi, August Comte juga mengajarkan untuk membentuk sebuah religi baru, yaitu religi yang memenuhi tuntutan akal atau pandangan yang positif. Religi yang baru adalah religi yang menyembah kemanusiaan sebagai "the Great Being" (le Grand Ếtre). Segi filsafat agama dalam filsafat positivisme August Comte ini memang manjadi sebab bagi para pengikutnya untuk menuduh, bahwa pandangan August Comte berubah menjadi positivisme sebagai "a religion of humanity"; suatu perubahan sikap intelektualisme yang ekstrim menjadi mitisisme yang ekstrem pula. Pandangan Comte terhadap agama:
Comte meyakini bahwa agama muncul dari sebuah tahapan tertentu dari sejarah manusia. Di sisi lain Comte meyakini bahwa masyarakat selamanya butuh pada agama, artinya bahwa dari satu sisi agama terancam kepunahan, karena agama berhubungan pada masa dahulu, dan sebab itu agama harus digantikan dengan sesuatu yang sesuai dengan masa kekinian. Di sisi lain masyarakat butuh pada sebuah sistem yang dapat menyatukan mereka, sebuah ide-ide umum dan universal, yang hanya dapat diberikan oleh agama.
Walaupun unsur pengetahuan agama dalam perubahan agama memiliki peranan yang sangat penting, namun Comte tidak melupakan faktor sosiologi mengenai pranata-pranata sosial. Menurut Comte; setiap tahapan-tahapan perubahan alam mental manusia, berkaitan erat dengan sebuah institusi sosial dan dominasi politik tertentu yang ia ciptakan. Tahapan teologi dibawah dominasi para tokoh spiritual dan dikomandoi oleh pria-pria militer. tahapan metafisika, berada pada masa abad pertengahan dan renasains, yang didominasi oleh para pastor dan hakim. Tahapan ketiga yang baru saja dimulai, di bawah dominasi para manager-manager industri dan diarahkan oleh etika para ilmuan. Artinya bahwa setiap tahapan dari evolusi pemikiran masyarakat, menciptakan sebuah institusi sosial yang sesuai dengan tahapan tersebut. Oleh karena itu, jika terdapat dua atau beberapa institusi yang hadir dalam masyarakat yang satu, mungkin saja akan menyebabkan sebuah krisis dalam masyarakat. Comte meyakini bahwa krisis sosial yang terjadi dalam masyarakat disebabkan oleh bercampurnya system-sistem pemikiran klasik dan modern.
Dalam pandangan Intelektualisme, seluruh perhatian ia kerahkan pada pikiran dan pemikiran, instrumen perasaan hampir jarang disentuh, boleh dikata mereka telah melupakannya sama sekali. Pandangan ini bisa kita benarkan jika kita melihat analisis Comte mengenai agama, namun dalam beberapa hal, Comte sempat mengisyaratkan beberapa hal mengenai hal tersebut, bahwa salah satu kebutuhan manusia adalah cinta kepada sebuah eksistensi yang lebih mulia darinya, dan kebutuhan ini hanya bisa dipenuhi oleh agama, bahkan ketika manusia masuk dalam agama modern, manusia tetap tidak melupakan kebutuhan kemanusiaan ini. Kata Comte; manusia bisa saja letih dari bekerja dan berfikir, namun ia tidak akan pernah lelah dari cinta. Dalam pandangan Comte, agama memiliki tiga dimensi. Pertama; dimensi akal, yaitu kepercayaan pada dogmatis agama. Kedua; dimensi perasaan yang menjelma dalam bentuk ibadah dan penyembahan. Ketiga; dimensi praktik, Comte menyebutnya dengan disiplin.
Sumber:
Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte; Dr. Koento Wibisono Fakultas Filsafat Positivisme, UGM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar