Senin, 10 September 2012

Muhammad Arfian Mubarak Jurnalistik 1a

Selasa, 20 September 1994, 04.00 wib
Suasana kota masih sangat sunyi pagi itu. Dengkuran orang.. ringkikan jangkrik.. radio di pos hansip.. serta tawa renyah para peronda yang masih terjaga pagi itu sayup sayup terdengar. Toa toa masjid dan musholla pun mulai berahutan. Jalan jalan raya masih terlihat sepi pagi itu. Ya.. Jakarta.. masih terlelap dalam mimpi mimpinya. Mimpi indah. Tanpa sedikitpun terpikir bahwa 2 atau 4 tahun kemudian ia akan diwarnai kehancuran oleh tangan tangan, kaki, api, dan darah dari penduduknya sendiri.
Pagi itu, di tengah keheningan subuh, di sebuah ruang bersalin Rumah Sakit Umum Daerah Budhi Asih Jakarta Timur, dimana sebuah keluarga berkumpul, dengan senyum, ucapan rasa syukur, dan tangis haru mereka menyambut kelahiran seorang bayi, bayi laki laki yang sehat dan sempurna, bayi yang di dalam dirinya tersimpan berjuta potensi, yang di pundaknya diletakkan masa depan bangsa, bayi yang dengan tangisnya mampu menggetarkan hati sang ibu, Hajar Finaliza,  ibu yang telah melahirkannya ke dunia dengan pertaruhan nyawa, serta sang ayah, Arif Hadiyanto, yang senantiasa menemani istri yang sangat dicintainya melahirkan anak pertama mereka. Kumandang adzan terdengar jelas di telinga sang bayi. Adzan pertama yang ia dengar. Adzan yang merdu nan indah. Yang dikumandangkan oleh Bapak Bukhari, sang kakek, yang juga seorang ustadz dan guru yang disegani di kediamannya di komplek Taman Indah, Otista, di bilangan Jakarta Timur. Dengan disertai doa, kekahan, serta bubur merah putih yang menjadi adat kami, maka sang bayi pun diberi nama. Nama yang indah. Yang penuh dengan doa serta harapan orang banyak. Dengan usul sang kakek yang amat mencintainya. Dengan restu ayah.. ibu.. nenek.. dan semua orang yang hadir disana.. bayi itupun diberi nama: Muhammad Arfian Mubarak.
Arfian, begitu biasa ia dipanggil, tumbuh dengan sehat. Hingga di usianya yang mennjak 40 hari, ia mengalami operasi pertama dalam hidupnya. Dokter memvonis dirinya menderita penyakit hernia. D tengah kecemasan orang tuanya, ternyata operasi Arfian berjalan dengan lancar. Saat itu juga Arfian, dengan saran dokter, memenuhi kewajibannya sebagai laki laki muslim, berkhitan. Berkat doa, perhatian, kasih saying, dan bimbingan orang orang di sekitarnya, Arfian tumbuh menjadi anak yang cukup cerdas di usianya. Kemampuan berbicara dan berjalan di usia satu setengah tahun, serta berhitung dan membaca yang cukup di usianya yang ke dua setengah, membuatnya lancar mengikuti pelajaran di jenjang pendidikan pertamanya di kelas tk kecil, di Taman Kanak Kanak Fathan Mubina, Otista, Cawang. Di usianya itu pula ia mulai diajari berbagai hal dasar tentang agama, di antaranya yang paling utama diajarkan oleh sang kakek, ayah, ibu, dan neneknya adalah membaca kitab suci umat Islam, Al Qur'an. Sang kakek yang seorang ustadz sering membawanya ke musholla serta pengajian pengajian. Rasa ingin tah yang besar pada diri anak itu membuat dirinya mampu belajar lebih giat dan memahami berbagai ilmu yang diberikan padanya.

Menyelesaikan Tk kecilnya di usia 3.5 tahun, Arfian kecil memilih untuk meliburkan diri selama setahun sebelum kembali melanjutkan ke Tk besar pada tahun berikutnya. Selama libur setahunnya, Arfian terus dididik oleh orang orang di sekitarnya. Sang Ayah yang masih melanjutkan studinya di jenjang kuliah di salah satu perguruan tinggi Ibukota sembari meniti karirnya ebagai pegawai swasta di salah satu perusahaan asuransi koperasi swasta di Indonesia, masih menyempatkan dirinya untuk mengajarkan kepada anaknya pelajaran pelajaran dasar seperti matematika dan bahasa inggris sekaligus mengasah otak kanan anak dengan mengajarkannya bermusik, bernyanyi, piano dan komputer. Sang Ibu juga tak kalah berjasanya dalam pendidikan dasar Arfian, bahkan lebih dari sang sayah. Ibu, dengan semangat tak kenal lelah rela terjaga tengah malam ketika Arfian terbangun, membersihkan kotoran Arfian ketika buang air di tempat tidur, menggendongnya, menimang, memberi susu, merawat, menjaga, memperhatikan anaknya dengan penuh kasih sayang dan cintanya yang tak terbalas dan tak akan pernah habis sepanjang masa. Saya tak habis pikir, kenapa bisa sampai ada seorang anak yang tega membunuh kedua orang tuanya sendiri hanya demi seonggok uang untuk membeli sebuah benda seharam narkoba? Sungguh tak tahu balas budi..
                Sang kakek juga tak kalah penting, mengajarinya tentang agama dan membaca Al Qur'an. Sang nenek juga mengajarinya adab bersikap yang baik serta ketulusan dan keikhlasan dalam memberi. Juga semua orang yang telah banyak berjasa dalam mendidik, menjaga, dan menyayangi Arfian yang tak bias disebutkan satu persatu disini.
                Tak banyak yang bisa diceritakan di Tk besar, Arfian sudah mampu berhitung dan membaca dengan baik. Bahkan sesekali Arfian yang membacakan Koran unutk ayahnya,. Ia juga sudah mampu membaca Al Qur'an dengan cukup baik, meskipun banyak kesalahan disana sini, tapi yah lumayan..
                Masuk ke jenjang sekolah dasar, orang tua Arfian mencoba mengikut sertakan Arfian di berbagai tes di sekolah dasar islam ternama seperti Al Azhar ataupun Al Khairat, namun meskipun Arfian mampu lolos di kedua tes tersebut, sang ibu, dengan berbagai pertimbangan dari sisi keibuannya, lebih memilih menyekolahkan anaknya di Sekolah Dasar Islam Mamba'ul 'Ula di kawasan Cililitan kecil, Jambul, Jakarta Timur.  Di tahun keduanya di Mamba'ul  'Ula, keluarga besar Arfian dikagetkan dengan kepergian Bapak Bukhari, sang kakek yang sangat menyayangi Arfian sejak kecil dan menganggapnya cucu kesayangan. Arfian pun memutuskan untuk pindah sekolah ketika kenaikan kelas 3. Padahal Arfian adalah siswa yang cukup berprestasi di sd itu dengan selalu masuk di peringkat 4 besar di kelas. Sd Mamba'ul 'Ula kini menjadi Sekolah Dasar Islam Terpadu.
                Di sd barunya, SDN Cililitan 04 Pagi, Arfan dimasukkan di kelas b, dengan lugu dan polos, tanpa mengetahui bahwa disanalah ia akan menemukan pertemanan dan kekompakan yang sesungguhnya. Kenapa? Karena sampai sekarang, saat ini, detik ini, Arfian dan teman teman sdnya masih sering berhubungan dan bermain bersama seperti dulu hamper setiap minggu. Layaknya saudara dan keluarga. Everlasting Friends J
                Sangat bersyukur Arfian memiliki Ayah yang sangat baik hati. Berbagai kebutuhan kanak kanaknya, dari yang berguna sampai yang tidak, dipenuhi oleh sang Ayah tanpa diminta. Buku bacaan yang menarik dan inspiratif seringkali diberikan untuk membangun karakter sang anak yang memang gemar membaca. Entah itu novel ringan, cerpen, komik, majalah, ataupun buku buku bertemakan agama yang dipilihkan ibunya. Seiring dengan pencapaian Arfian di sekolah, berbagai mainan pun dibelikan sang Ayah  tanpa diminta oleh si anak. Sepeda saat kenaikan dengan nilai baik ke kelas 3, gameboy advance saat mendapat ranking 2 di semester pertama kelas 3 juga, Ps 1 juga saat mendapat ranking 2 di semester kedua kelas 3 sekaligus kenaikan kelas, Ps 2 saat menjadi ketua kelas dan mendapat ranking 4 di semester pertama kelas 4, n-gage qd saat naik kelas 6, juga pc lcd pertamanya saat ia mendapat peringkat 2 di ujian di tempat bimbelnya di Primagama. Bukannya sombong cuma belagu emang itu anak beginian aja ditulis  -_-           oke lanjut..
Lulus sd dengan nilai rata rata 8.1, Arfian diterima di sebuah smp negeri standar nasional di daerah tempat tinggalnya. Akan tetapi orang tuanya lebih memilih menyekolahkan Arfian di Darunnajah Islamic Boarding School di bilangan Ulujami, Jakarta Selatan, dengan tujuan memperdalam kembali pendidikan agama dalam diri Arfian, meskipun selama sdnya, Arfian mengikuti pendidikan lembaga pengajian milik Habib Ali. Awalnya Arfian mampu beradaptasi dengan cukup baik di pesantren. Ayahnya merasa cukup bangga melihat hasil psikotest yang menunjukkan IQ sang anak mencapai angka 131 yang memasukkannya dalam taraf cerdas saat itu. Ia diterima di kelas 1b dari 7 urutan kelas yang ada. Dengan memikirkan semua orang yang mendoakannya ketika masuk pesantren, Arfian pun giat mengikuti semua pelajaran, baik saat belajar bersama di kelas ataupun saat belajar bersama di luar kelas, sambil sesekali ia belajar sendiri. Usahanya membuahkan hasil ketika kenaikan kelas ia mampu menembus kelas terbaik putra, kelas 2a. Arfian juga mulai aktif dan merasa menemukan jalannya dengan masuk ke ekskul teater mengikuti temannya yang sudah sejak kelas 1 masuk ke ekskul yang saat itu bernama Tropis. Mendapat berbagai peran dari sang senior, Arfian, dengan penampilannya, mampu berperan dengan sangat baik di berbagai pentas yang dilakoni Tropis. 4 bulan bergabung, Arfian ditunjuk sebagai ketua Tropis oleh para senior dan teman temannya sendiri. Dengan dibantu teman yang dulu mengajaknya sebagai ketua 2, Arfian pun menjalankan tanggung jawabnya dengan cukup baik. Sampai suatu ketika Arfian dan kelompok Tropisnya diberikan penghargaan berupa sertifikat oleh Institut Kesenian Jakarta. Mereka pun mendapat kesempatan tampil di Gedung Kesenian Jakarta saat kelas 3. Namun sangat disayangkan, kondisi keluarga di rumah yang sedang bermasalah serta drop sakit yang seringkali dialami Arfian di kelas 2 membuatnya terpuruk di posisi terbawah kelas 2a, meskipun nilai rata ratanya masih lebih tinggi dari peringkat teratas 2d, tetap saja itu penurunan yang cukup drastis dan memperburuk kondisi mentalnya. Sertifikat serta kesempatan tampilnya di GKJ juga tidak diambilnya. Berpisah dengan teman temannya, Arfian keluar dari pesantren.
Arfian melanjutkan kelas 3nya di sebuah Madrasah Tsanawiyah kecil di daerah tempat tinggal lamanya, di rumah neneknya. Ya, Arfian dan ibunya bersama kedua adiknya, kembali tinggal di rumah sang nenek. Sekolah tempatnya sekolahpun merupakan sekolah lama sang ibu dahulu. MTs Ruhul Ulum namanya. Di kelas yang hanya dihuni 14 anak itu Arfian dengan kemampuan standarnya mampu menjadi nomor 1 dalam hampir semua pelajaran. Namun pergaulan anak anak yang negatif membuatnya sedikit melenceng dari jalur anak baik baik. Meski begitu, pikirannya masih menyisakan sebagian kecil arti positif dalam dirinya. Ia pun bersyukur dapat memiliki teman teman baru, yang membuatnya kurang baik namun mau melindunginya. Ia bersyukur untuk pertama kalinya ia mendapat ranking 1 dan beasiswa di sebuah tempat bimbel yang baru di dekat sekolahnya. Beasiswa untuk 2 anak terbaik. Anak yang tadinya mendapat peringkat pertama namun tergeser ketika Arfian datang. Anak yang manis, lembut, baik, dan sangat cantik. Cinta pertama sang bocah yang mulai belajar dewasa..
Dengan nem 31.49 dan rata rata 7.9 Arfian diterima di SMA Negeri 53 Jakarta. Sekolah ibunya juga di masa ibunya masih SMA.  Sekolah yang benar benar mengubah hidupnya. Sekolah yang membuat dirinya menjadi sangat rajin sekaligus sangat malas. Sekolah yang membenci dirinya sekaligus menyayanginya. Tempat yang mengajarkan padanya kedewasaan dan arti dari sebuah kehidupan. Sekolah yang sangat ia cintai..
Terlalu banyak yang bisa diceritakan dari sekolah ini.. *skip
Pada akhirnya, dengan santai dan tanpa beban seperti biasa, Arfian mengerjakan soal ujian tulis snmptn dengan (ternyata, mengejutkan sekali) cukup baik. Ia pun diterima di Universitas Islam Negeri Jakarta jurusan Jurnalistik. Hingga suatu hari, seorang dosen sosiologi masuk ke dalam kelasnya, memberi tugas, membuat biografi, tugas bagi semua mahasiswanya, termasuk juga Arfian, ia pun membuatnya, dengan tenang, santai, pasti, dan inilah tulisannya: ….. *back to top
Thanks for seriously reading J
To Be Continued…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini