Karl Marx dalam Sosiologi
Karl Marx merupakan seorang tokoh sosiologi yang terkenal. Namun dia tidak pernah merasa bahwa dirinya adalah seorang sosiolog handal. Banyak yang mengatakan istilah sosiologi tidak pernah muncul dalam karya-karyanya, namun dibalik itu ia bias ditempatkan dan disejajarkan dengan tokoh-tokoh sosiologi yang lainnya.
Karl Marx juga terkenal dengan pendapatnya mengenai kelas-kelas sosial. Tak terhindari, banayak yang beranggapan bahwa masyarakat terdiri dari beberapa kelas. Namun sebenarnya analisis ini awalanya bukan dikemukakan oleh Marx. Bahkan kalangan seperti Adam Smith dan Alexis de Tocqueville juga sebelumnya mengakui bahwa memang masyarakat itu terdiri dari beberapa kelas-kelas, yang faktor-faktor seperti ekonomi, status, penghasilan, posisi dalam berkuasa yang berbeda merupakan penentu dari kelas-kelas sosial tersebut.
Dan banyak pula ilmuan sesudah Marx yang mengungkapkan hal yang sama. Sehingga belakangan banyak analisis yang menganalisa masyarakat dengan dengan istilah-istilah kelas sosial. dan untuk memahami teori ini kita harus memahami spesifikasinya terlebih dahulu. Pada zaman itu, perkembangan kapitalisme pernah mengacaukan masyarakat feudal yang sudah terstruktur pada tiga aturan yang sudah berjalan lama, yakni : kaum petani, kaum aristokrat atau yang biasa kita kenal dengan kaum bangsawan dan yang terakhir kaum pendeta.
Namun seiring dengan perkembangan perdagangan, industri dan pusat-pusat urban, kelas-kelas pun mulai mengikuti perubahan tersebut. Kemudian munculah 2 kelas baru yakni : kelas borjuis atau kelas yang telah mendestablisasikan tatanan (rezim) lama dan sangat memegang tempat yang dominan dalam kelas-kelas masyarakat. Dan kemudian kalangan proletar atau yang lebih dikenal sebagai rakyat jelata yang miskin serta rakyat yang terdiri dari sekumpulan tukang di pabrik-pabrik dan para petani yang telah terusir dari tanahnya dan para petani itu kemudian menjadi tenaga kerja utama di bengkel kerja dan firma-firma industri besar.
Kemudian setelah melakukan berbagai penelitian menngenai maslah diatas, ia menyimpulkan beberapa hal. Pertama, ia mendefinisikan bahwa kelas-kelas itu melewati situsi yang dikaitkan dengan hubungan produksi. Atau lebih mudahnya kaum borjuis merupakan para pemilik modal produksi. Sedangkan para "borjuis kecil" menjadi pekerjanya, sebgai contohnya para tukang, pengerajin, pedagang, notaris, dll. Sedangkan kaum proletar ialah kaum yang menjual tenaga dalam bekerja atau lebih biasa dikenal dengan buruh.
Namun yang terpenting bagi Marx bukanlah membuat deskripsi atau keterangan tentang stratifikasi sosial. ia ingin menjelaskan sebuah dinamika atau perubahan dari sebuah masyarakat yang menurut pendapatnya bergerak dalam satu konflik utama yakni perjuangan kelas. Yaitu dimana antara kelas borjuis dengan kelas proletar. Dimana permaslahannya terjadi akibat kelas borjuis semakin haus akan keuntungan dan kekayaan sehingga mereka terus menerus mengeksploitasi kaum proletar. Dan kasus ini masih sering terjadi sampai sekarang di sekeliling kita. Kaum atas yang haus akan keuntungan, kekayaan dan kekuasaan masih terus berupaya memaksa kaum bawah untuk bekerja keras demi kepuasaan mereka.
Kerena kaum proletar masih yang terperangkam dalam kemelaratan dan pengangguran yang bersifat endemik maka mereka hanya memiliki jalan dua keluar yakni mematuhi kaum borjuis atau melakukan pembrontakan atau melakukan revolusi. Karena dalam permasalahan kelas sosial ini harus berujung pada terjadinya perubahan dalam masyarakat, maka pemberontakan haruslah bertransformasi dalam bentuk revolusi.
Kelas didefinisikan sebgai keseluruhan individu yang secara umum memiliki kondisi kerja yang sama, namun tidak harus memiliki kondisi kerja yang sama. Namun ada juga yang berpendapat bahwa kelas ada karena telah menyadari akan adanya kepentingan bersama lalu mengorganisasikan diri menjadi gerakan sosial yang dapat menempa diri untuk mencari identitas.
Marx secara tajam menjalaskan ada sekurang-kurangnya tujuh kelas dalam tempat kelas yang berbeda yakni : kelas aristokrasi financial, borjunis industrial, borjunis kecil, proletar petani kecil, dan lainnya. Namun menurutnya kosentrasi produksi dan krisis-krisis yang terjadi secara periodik cenderung meradikalkan pertentangan antar dua gelongan yaitu kaum proletar dan borjuis.
Selain tentang kelas-kelas sosial, Marx juga mengembangkan teori ideologi. Nsmun sebenarnya ia tidak memiliki yang begitu sistematik mengenai ideologi. Sebaliknya, yang ada hanya analisis-analisis parsial dan belum rampung namun seringkali berbobot dan tajam. Ia juga menempatkan ideologi sebagai keseluruhan ide yang dominan dan di usung oloeh sebuah masyarakat sebagai kelompok sosial dalam bingkai superstruktur masyarakat, yang dikondisikan oleh suatu bingkai atau batasan ekonomi dan menjadi semacam refleksi atas bingkai itu.
Marx juga memiliki sebuah teori tentang ideologi sebagai semacam aliensi. Ia kemudian mengambil kembali pemikiran bahwa agama adalah candu bagi masyarakat . selanjutnya ia akan mengusungnya kembali ke dalam analisis komoditas. Elemen-elemen analisis ini diambil kembali dan di analisis oleh sejumlah penulis seperti Antonia Gramsci, Gyorgy Lukacs, Karl Mannheim dan Louis Althusser. Para penulis ini merupakan penganut aliran Marxisme. Namun para penulis yang tidak menganut aliran ini pun ikut menggarisbawahi bobot penemuan ini.
Dan Karl Marx juga sempat mengemukakan pendapatnya mengenai agama. Menurutnya, agama merupakan hasil dari proyeksi masyarakat itu sendiri. Dan ia juga mengatakan bahwa agama tdak ada bentuk realisasi diri yang sebenarnya. Hal ini dikarenakan dalam agama, posisi manusia hanya bisa tunduk dan agama juga menghalangi pemeluknya secara individu untuk mengekspresikan dirinya. Karena agama tidak membuat jati diri manusia berkembang secra utuh. Menurutnya agama hanya mampu menghukum pemeluknya pabila melakukan pelanggaran.
Ia juga berpendapat bahwa ketika manusia masih hidup sebgai makhluk yang bebas tanpa agama, ia dapat dengan leluasa membuat aturan-aturan, sanksi, dan lain-lain. Tetapi ketika dia masuk dan mulai mnyakini suatu agama, maka manusia tersebut akan tunduk dengan aturan dari agama itu sendiri.
Disamping itu juga, ia melihat bhwa agama di satu faktor member kebebasan untuk memilih, namun disatu faktor lain juga memberikan penindasan dan hukuman yang bersifat pasrah. Inilah yang dimaksudnya dengan sifat fetisisme atau kepercayaan yang merajuk pada benda-benda material yang di duga memiliki kekuatan supranatural. Fetisisme ini akan melahirkan apa yang disebut oleh Marx sebagai 'harapan semu dai masyarkat tertindas'. Fatisisme ini akan membuat masyarakat tidak mampu bergerak dengan leluasauntuk membebaskan dirinya sendiri dari masalah kemiskinan.
Dalam teori pembagian kerja, Marx juga mengambil dasar pemikirannya tidak berdasarkan agama dalam analisis teorinya. Selain itu dalam objek kajiannya pun ia lebih menitik beratkan sebatas keadaan kapitalis yang telah terjadi dalam masyarakatnya. Hal ini memang belum mencakup begitu luas objek kajiannya dibandingkan sosiolog yang lain.
Selain itu pula dalam penyelesaian masalahyang terdapat di hukim pembagian kerjanya pun, jika ia melihat adanya ketidak adilan yang dilakukan kaum kapitalis, maka tak lain bhwa yang harus dilakukan adalah hal yang radikal atau berupa konflik dan kontradiksi. Karena dengan hl inilah kapitalisme dapat dihancurkan dan diruntuhkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar