Senin, 21 September 2015

Mughni Labib_Perubahan Sosial dan Kesehatan Masyarakat_Tugas Pertama

Perubahan Sosial dan Kesehatan Masyarakat

T

erlepas dari pemahaman Islam dan Kristen, Nabi Isa mencotohkan hidup untuk melayani tanpa embel-embel meminta upah dari pelayanan yang diberikan. Nabi Isa hadir dengan pelayanan kesehatan, mampu menyembuhkan penyakit sangat berat seperti kebutaan dan penyakit kusta. Maklum, karena itu sudah menjadi mukjizatnya, sampai orang mati pun bisa dihidupkan kembali. Tentu atas izin Yang Maha Kuasa. Nuansa pelayanan demikian memberikan kesan mendalam dalam perang melawan materialisme yang saat itu menjadi tren masyarakat Bani Israil. Nuansa pelayanan tersebut menghadirkan kasih sayang ditengah-tengah umat manusia.

Dalam tulisan berikut yang penulis sadur dari buku Habis Galau Terbitlah Move On karya J. Sumardianta berjudul "Malaikat Bersari Putih" mengungkapkan kisah seorang biarawati yang dikenal dengan nama Bunda Teresa asal Yugoslavia. Layaknya pelayanan Nabi Isa terhadap Bani Israil, Bunda Teresa memiliki semangat melayani tingkat tinggi terhadap masyarakat Kalkuta. Alinea berikut mengisahkan sang biarawati itu yang ada kaitannya dengan perubahan sosial dan kesehatan masyarakat.

Suatu malam hujan lebat sedang menghajar Kalkuta―Ibu Kota Negara Bagian Bengali Barat, India, menjelang perayaan Natal 1952. Bunda Teresa terbungkuk-bungkuk mengarungi air bah. Ia tersandung tubuh menggeliat, mengeluarkan suara yang mengerang. Diangkatnya tubuh perempuan tua dari genangan air. Bergegas dibawanya manusia sekarat itu ke bangsal gawat darurat rumah sakit. Seorang petugas jaga menghardik, "Bawa orang ini keluar segera. Tidak ada yang bisa kami lakukan untuknya."

Bunda Teresa menggendong gelandangan tua itu ke rumah sakit lain. Ia mendengar suara gemeretak. Tubuh dalam gendongannya mengejang. Ia menyadari segala upaya menolong sudah terlambat. Makhluk malang itu diturunkannya, lalu ditutup pelupuk matanya. Bunda Teresa bergumam, "Dikota bengis ini, bahkan anjing diperlakukan lebih baik daripada manusia."

Hari berikutnya, ia mendatangi kantor kotapraja untuk menemui wali kota. Sikap ngotot biarawati ini mengherankan banyak pegawai. Salah satu deputi wali kota bersedia menerimanya. "Sungguh aib. Anda membiarkan orang mati di jalanan dikelilingi ketidakpedulian. Beri saya satu rumah guna merawat mereka menghadapi ajal dengan bermartabat."

Seminggu kemudian, kotapraja memberikan satu rumah istirahat peziarah Hindu dekat Kuil Dewi Kali. Bunda Teresa gembira. Tempat ini sangat ideal. Ke sekitar tempat suci itulah orang sekarat biasanya pergi dengan harapan bisa ikut menumpang dikremasi di pembakaran kuil. Kali Gath merupakan sentra kaum Hindu militan untuk kalangan atas yang dibangun di tepi Sungai Hoogly. Di Kuil Kali semangat hidup yang tinggi bergandengan tangan dengan kematian.

Kaum Hindu ortodoks marah besar. Bunda Teresa dituduh hendak mengkristenkan orang di panti ajal. Insiden pecah. Panti ajal Nirmal Hrydai dihujani batu dan kereweng. Para biarawati dihina dan diteror. Bunda Teresa berlutut, merentangkan tangan, dan memekik di hadapan pengunjuk rasa anarkis. "Bunuhlah saya! Saya akan langsung masuk nirwana." Pengunjuk rasa mundur teratur.

Gangguan terus berlangsung. Para pendemo merangsek ke kantor polisi untuk menuntut pengusiran biarawati asing dan penutupan panti ajal. Inspektur polisi melakukan penyelidikan. Perwira itu mendapati Bunda Teresa sedang membersihkan luka seorang lelaki kurus kering. Lelaki itu berbaring di tengah genangan kotoran berbau menyengat aibat borok penuh belatung. Inspektur itu terharu.

Para pemuda Hindu fanatik sudah menunggu saat inspektur keluar dari gerbang panti ajal. "Saya berjanji kepada kalian untuk mengusir perempuan asing ini. Saya akan turuti tuntutan kaian pada hari ketika kalian berhasil membujuk ibu dan saudari perempuan kalian datang ke sini untuk melakukan apa yang perempuan asing itu kerjakan."

Perang batu belum berakhir. Suatu pagi Bunda Teresa mendapati banyak orang berkerumun di sekitar Kali Gath. Seorang Brahmin tergeletak di tanah menderita kolera. Tak seorang pun berani menyentuh pendeta nahas itu. Brahmin dibawa ke panti ajal. Ia dirawat Bunda Teresa sampai sembuh. Brahmin itu bersaksi di hadapan jemaat Hindu fanatik. "Sudah tiga puluh tahun aku memuja Dewi Kali yang terbuat dari batu. Di panti itu aku ditolong Kali dari darah dan daging." Sejak itu tidak ada lagi lempaan batu ke arah para biarawati. Bantuan pun mengalir. Dukungan berdatangan masuk ke Nirmal Hrydai.

Merawat kaum kecingkrangan menjelang ajal merupakan langkah pertama Bunda Teresa. Mereka yang mau memulai kehidupan juga butu uluran tangan. Mereka tak lain dari orok bayi yang ditemukan di tempat pembuangan sampah, got, dan trotoar. Pada 15 Februari 1953 "Shisu Bhavan", panti anak-anak, menyambut tamu pertamanya: bayi prematur terbungkus koran yang ditemukan di pinggir jalan. Berikutnya, puluhan bayi setiap hari dikirim ke panti cinta kasih ini.

Bunda Teresa menabuh genderang jihad melawan aborsi di Kalkuta yang sudah sangat kewalahan menghadapi tingkat kelahiran yang terlampau tinggi. Ia memasang banyak poster di sekujur penjuru Kalkuta yang menyatakan akan menerima setiap anak yang dikirimkan kepadanya. Gadis-gadis hamil, di kegelapan malam, berdatangan buat mendaftarkan kelahiran anak mereka.

Kini tiba giliran mengurus para penderita lepra. Di Titagarh, disusul tujuh tempat lainnya, Bunda Teresa mendirikan panti pengobatan kusta. Ratusan penderita lepra yang dicap menjijikkan berdatangan untuk memperoleh sambungan harapan hidup. Dengan semacam mobil Puskesmas Keliling, biarawati sejawat Bunda Teresa, menawarkan perawatan ke wilayah-wilayah yang tidak bisa dirambah medis.

Bunda Teresa mengubah secara revolusioner praktik karitatif filantropis. Ia mengatasi penyebab ketiadaan rasa cinta. Ia melawan ketidakadilan yang menjadi penyebabnya.

Bunda Teresa 'menemukan' Tuhan dengan cara melayani orang hina. Kiamat kecil yang ia alami saat ditinggal mati mendadak oleh bapaknya membantunya bisa menghargai ketidakbahagiaan yang diderita orang lain.

Mari berkaca pada keteladanan Nabi Isa yang merendahkan hati sehabis-habisnya dengan bergaya hidup ugahari (non-materialisme alias qana'ah) yang bersebrangan dengan gaya hidup umatnya. Mari meneladani spirit malam gelap Bunda Teresa yang bermati raga demi pelayanan kepada mereka yang sudah tidak dianggap sebagai manusia lagi.

Nabi Isa bukanlah seorang tabib. Bunda Teresa, bukan seorang dokter, apalagi dokter spesialis. Ini  menunjukkan keteladanan agar saling melayani dan membantu sesama yang sedang menderita kesusahan. Apapun profesinya tidak penting. Yang penting melayani dan membantu dengan sekemampuan masing-masing.

Mirip ungkapan, "Setiap muslim wajib menuntut ilmu. Bukan berarti semuanya harus menjadi 'alim (cendekia, ilmuwan). Begitu pun menyebarkan kebaikan dan menyingkirkan keburukan adalah tugas kita bersama, bukan hanya mengandalkan peran ulama. Tapi, bantulah mereka selagi bisa."

Tak peduli siapa orangnya, kalau dia punya kemampuan untuk menolong ya tolonglah. Khusus dalam kesehatan zaman sekarang bertolak belakang dengan pelayanan Nabi Isa dan Bunda Teresa. Memang sudah banyak fasilitas yang ditawarkan pemerintah sepeti BPJS dan Kartu Sehat. Namun, yang dibutuhkan disini adalah kualitas pelayanan dari dokter atau siapa saja terhadap pasien yang memprioritaskan harmonisasi dokter-pasien. Bukan sekedar obat-rawat-unit gawat darurat. Tapi menjalar sampai ke relung jiwa terobati, nuansa batin terawat hingga tak masuk unit gawat darurat.        

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini