Selasa, 24 September 2013

Siti Nur Rahmah_PMI 3_Tugas 3_Teori Komsumtivisme

A.  Max Weber
Taoisme dan Konfusianisme hal-hal yang disebutkan tadi tidak dijumpai karena:
1. Mereka menganggap bahwa nasib buruk atau nasib baik disesuaikan dengan penyembahan/pemujaan pada roh leluhur.
2. Kekerabatan diperluas (berdasarkan pentingnya agama ikatan kekeluargaan dan keturuna)sehingga ketika salah satu anggota keluarga ada yang mengalami kemiskinan maka yang lain akan ikut memantu.
3.  Disiplin kerja dan nasionalisasi proses kerja.
            Max Weber juga mengomentari tentang agama di India. Hindu dan Budha. Weber juga meneliti mengenai struktur masyarakat dan ajaran agama yang ada di India. System social India kuno mengenal system kasta. Secara langsung terkait antara keyakinan agama dan pemisahan masyarakat ke dalam kelompok-kelompok status. Weber menggambarkan system kasta yaitu, Brahmana (pendeta), ksatria (prajurit), waisya (pedagang) dan Sudra (buruh).
         
   Max Weber menyimpulkan studi masyarakat dan agama di India, bahwa keyakinan cederung untuk menafsirkan makna hidup dari dunia lain atau pengalaman mistik. Weber merumuskan tga komponen; teori stratifikasi, dengan kelas social dan stastus sebagai unsur yang berbeda secara konseptual. Kelas social didasarkan pada hubungan ekonomi dan non-ekonomi, seperti kehormatan, martabat dan agama.
            Konfusianisme sebaliknya, merupakan satu agama yang menolak dunia, pandangan hidup konfusian menekankan bahwa suatu prinsip akal budi yang mutlak dan keteraturan meliputi seluruh alam semesta, termasuk dunia alamiah dan struktur sosial. Dalam yudaisme kuno, keterlibatan aktif di daam meningkatkan perubahan dalam dunia materil dan sosial sangatlah dihidupkan, seperti halnya dalam protestantisme. Tetapi keteribatan ini dilihat sebagai persiapan untuk suatu abad mesianis yang akan datang dan yang akan datang dan yang akan dimulai oleh suatu intervensi adiduniawi.
            Singkatnya, orang hindu yang dengan setia mengikuti kewajiban-kewajiban menurut kastanya daam bidang ekonomi tradisional dan ritual, biarawan buda yang berusaha menjauhkan dirinya dari dunia untuk hidup dalam kemiskinan dan kontempasi, pemuda konfusian dengan rasa susila tadisional yang tinggi, nabi agama yahudi yang mengajak orang-orangnya untu meninggalkan dewa-dewi kaum kafir yang palsu dan menantikan abad mesianik, dan orang katolik yang setia di abad pertengahan yang dengan penuh kepercayaan meaksanakan upacara-upacara ritus yang sudah digarisan oleh gerela dengan harapan aan memperoleh keselamatan kekal. Semua tipe kepribadian reigius ini sangat bertentangan dengan orang protestan borjuis yang tekun bekerja secara sistematis dan rasional, sebagai suatu panggilan yang bernilai reigius, yang mempertahankan suatu disipin yang teguh untuk tidak menyerah begitu saja pada godaan-godaan materil, dan percaya bahwa nilai reigius dapat diukur dengan tingkat keberhasilan yang dicapai dalam tugas pekerjaanya.
B.  Peter L. Berger
            Fokus studi Sosiologi adalah interaksi antara individu dengan masyarakat, demikian menurut Peter Ludwig Berger. Lebih tepatnya, interaksi dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, menurut Berger, Sosiologi berbeda dengan ilmu alam. Ilmu alam mempelajari gejala alam, sedangkan Sosiologi mempelajari gejala sosial yang sarat oleh makna para aktor yang terlibat dalam gejala sosial itu (Samuel, 1993:19). Sosiologi pengetahuan Berger menekuni makna yang ada dalam masyarakat. Lalu, makna yang bagaimana yang mesti ditekuni Sosiologi Berger?
            Tulisan ini mencoba untuk mengelaborasi 'teori makna' Berger. Untuk memudahkan pembahasan, maka tulisan ini diawali dengan pembahasan tentang aliran-aliran (peta) teori dalam Sosiologi. Kemudian; mencari jawaban dari; dimana posisi teori Berger? Terakhir, menggeluti makna perspektif Berger.
             Menurut Agger, apakah teori interpretatif lebih dekat kepada teori positif atau kritis, tergantung pada bidang apa orang memberikan tekanan (Agger, 2003: 62). Teoritisi interaksionisme simbolis dari Mazhab Iowa memberikan konsepsi sosiologi interpretatif sebagai struktur berharga dari survai kuantitatif. Bahkan, teori interpretatif dapat memberi kontribusi bagi pemahaman atas keajegan kalau dilakukan secara cukup terarah. Namun konsepsi ini ditentang keras oleh para fenomenolog, etnometodolog, dan konstruksionis sosial, yang menyatakan sosiologi interpretatif sebagai counter atas penelitian survai. Penelitian survai gagal memahami makna yang dijalin masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, penelitian survai sebagai turunan dari positivis lebih sebagai ilmu sosial yang bermazhab ilmu fisika prediktif, sehingga hal itu melanggar prinsip inti Neo-Kantianisme.
            Jauh berbeda dengan Mazhab Iowa, Denzin dan Patricia Clough berpandangan bahwa teori interpretatif telah melebur bersama cultural studies (kajian budaya) dan teori feminis. Menurutnya, teori interpretatif adalah cabang dari teori kritis. Clough –juga Smith (1987)- melacak keterkaitan antara kehidupan sehari-hari dan struktur sosial politik. Hasilnya, kehidupan sehari-hari (termasuk kehidupan dalam rumah tangga) tak bisa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini