Emile Durkheim
The Division of Labor in Society
The division of labor in society (Durkheim,1893/1964) dikenal sebagai karya sosiologi klasik pertama (Tiryakian,1994). Di dalamnya, Durkheim melacak perkembangan modern relasi individu dengan masyarakat. Dalam karya ini Durkheim terutama ingin menggunakan ilmu sosiologi barunya untuk meneliti sesuatu yang sering dilihat sebagai krisis moralitas.
Menurut Auguste Comte masalah ini bisa ditelusuri ke dalam peningkatan pembagian kerja. Dalam masyarakat sederhana, mereka pada dasarnya melakukan pekerjaan yang sama, seperti pertanian dan mereka berbagi pengalaman yang sama dan akhirnya dan akhirnya memiliki nilai yang sama. Dalam masyarakat modern, setiap orang memiliki pekerjaan yang berbeda. Ketika orang-orang memiliki spesialisasi pekerjaan berbeda, mereka tidak lagi memiliki pengalaman yang sama. Hal ini merusak kepercayaan moral bersama yang sangat penting bagi masyarakat. Konsekuensinya, seseorang tidak akan mau berkorban saat kebutuhan sosial makin meningkat. Comte berpendapat bahwa sosiologi akan menjadi "semacam" agama baru yang akan mengembalikan kohesi sosial. Namun, sampai taraf tertentu, The Division of Labor in Society justru bisa dilihat sebagai penyangkalan terhadap analisis Comte ini (Gouldner,1962). Durkheim berpendapat bahwa pembagian kerja yang tinggi bukannya menandai keruntuhan moral sosial, melainkan melahirkan moralitas sosial jenis baru.
Tesis The Division of Labor adalah bahwa masyarakat modern tidak diikat oleh kesamaan antara orang-orang yang melakukan pekerjaan yang sama, akan tetapi pembagian kerjalah yang mengikat masyarakat dengan memaksa mereka agar tergantung satu sama lain. Kelihatannya pembagian kerja memang menjadi tuntutan ekonomi yang merusak solidaritas sosial, akan tetapi Durkheim (1893/1964: 17) berpendapat bahwa "fungsi ekonomis yang dimainkan oleh pembagian kerja ini menjadi tidak penting dibandingkan dengan efek moralitas yang dihasilkannya. Maka fungsi sesungguhnya dari pembagian kerja adalah untuk menciptakan solidaritas antara dua orang atau lebih".
Solidaritas Mekanis dan Organis
Durkheim membagi dua tipe solidaritas, yaitu mekanis dan organis. Masyarakat yang ditandai oleh solidaritas mekanis menjadi satu dan padu karena seluruh orang adalah generalis. Ikatan dalam masyarakat seperti ini terjadi karena mereka terlibat dalam aktivitas yang sama dan memiliki tanggung jawab yang sama. Sebaliknya, masyarakat yang ditandai oleh solidaritas organis bertahan bersama justru dengan perbedaan yang ada di dalamnya, dengan fakta bahwa semua orang memiliki pekerjaan dan tanggung jawab yang berbeda-beda.
Keluarga primitif dikepalai oleh ayah-pemburu dan ibu-peramu tumbuhan yang secara praktis mencukupi kebutuhan keluarganya, sementara keluarga modern membutuhkan penjual makanan, tukang roti, tukang daging, montir, guru, polisi, dsb. Dalam pandangan Durkheim, masyarakat modern dipertahankan bersama oleh spesialisasi orang dan kebutuhan mereka akan jasa sekian banyak orang. Spesialisasi ini tidak hanya pada tingkat individu saja, akan tetapi juga kelompok, struktur, dan institusi.
Durkheim berpendapat bahwa masyarakat primitif memiliki kesadaran kolektif yang lebih kuat, yaitu pemahaman, norma dan kepercayaan bersama. Kesadaran kolektif kurang signifikan dalam masyarakat yang ditopang oleh solidaritas organis daripada masyarakat yang ditopang oleh solidaritas mekanis. Masyarakat modern lebih mungkin bertahan bersama dengan pembagian kerja dan membutuhkan fungsi-fungsi yang dimiliki orang lain daripada bertahan dengan kesadaran kolektif bersama dan kuat. Oleh karena itu, meskipun masyarakat organis memiliki kesadaran kolektif, namun dia adalah bentuk yang lemah yang tidak memungkinkan terjadinya perbedaan individual.
Anthony Giddens (1972) mengemukakan bahwa kesadaran kolektif dalam dua tipe masyarakat tersebut dapat dibedakan menjadi empat dimensi, yaitu volume, kekuatan, kejelasan, dan isi. Volume adalah sejumlah orang yang diikat bersama oleh suatu kesadaran kolektif. Kekuatan adalah bagaimana sebenarnya individu merasakan kesadaran kolektif tersebut. Kejelasan adalah bagaimana semua itu di definisikan dengan jelas, dan isi adalah bentuk yang dihasilkan oleh kesadaran kolektif didalam kedua tipe masyarakat. Di dalam masyarakat yang dibentuk oleh solidaritas mekanis, kesadaran kolektif melingkupi seluruh masyarakat dan seluruh anggotanya, seperti dia sangat diyakini, sangat rigid, dan isinya sangat religius. Sementara dalam masyarakat yang memiliki solidaritas organis, kesadaran kolektif dibatasi pada bagian kelompok, seperti tidak dirasakan terlalu mengikat, kurang rigid dan isinya adalah kepentingan individu yang lebih tinggi daripada pedoman moral.
Dinamika Penduduk
Bagi Durkheim, pembagian kerja adalah fakta sosial material karena merupakan bagian dari interaksi dalam dunia sosial. Oleh karena itu, fakta sosial mesti dijelaskan dengan fakta sosial yang lain. Durkheim meyakini bahwa perubahan solidaritas mekanis menjadi solidaritas organis disebabkan oleh dinamika penduduk. Konsep ini merujuk pada jumlah orang dalam masyarakat dan banyaknya interaksi yang terjadi di antara mereka. Semakin banyak orang berarti makin meningkatnya kompetisi memperebutkan sumber-sumber yang terbatas, sementara makin meningkatnya perjuangan untuk bertahan di antara komponen-komponen masyarakat yang pada dasarnya sama.
Perbedaan terakhir antara solidaritas mekanis dan solidaritas organis adalah bahwa dalam masyarakat dengan solidaritas organis, kompetisi yang kurang dan diferensiasi yang tinggi memungkinkan orang bekerja sama dan sama-sama ditopang oleh sumber daya yang sama. Oleh karena itu, diferensiasi justru menciptakan ikatan yang lebih erat disbanding persamaan. Selain itu, masyarakat yang dibentuk solidaritas organis mengarah pada bentuk yang lebih solid dan lebih individual daripada masyarakat yang dibentuk solidaritas mekanis (Rueschemeyer, 1994). Individualitas, bukannya menghancurkan keeratan ikatan sosial, ia malahan dibutuhkan untuk memperkuat ikatan tersebut (Muller,1994).
Hukum Represif dan Restitutif
Pembagian kerja dan dinamika penduduk adalah fakta sosial material, akan tetapi ketertarikan utama Durkheim justru bentuk solidaritas, yang merupakan fakta sosial nonmaterial. Menurut Durkheim, adalah sangat sulit mempelajari fakta sosial non material secara langsung, terutama yang bersifat sangat melingkupi semisal kesadaran kolektif. Untuk mempelajari fakta sosial non material secara ilmiah, sosiolog mesti menguji fakta sosial material yang merefleksikan hakikat dan perubahan fakta sosial nonmaterial. Dalam karyanya The Division of Labor in Society, Durkheim mencoba mengkaji perbedaan antara hukum dalam masyarakat dengan solidaritas mekanis dan hukum dalam masyarakat dengan solidaritas organis (Cotterrel, 1999).
Durkheim berpendapat bahwa masyarakat dengan solidaritas mekanis dibentuk oleh hukum represif. Karena anggota masyarakat jenis ini memiliki kesamaan satu sama lain dan karena mereka cenderung sangat percaya pada moralitas bersama, apapun pelanggaran terhadap sistem nilai bersama tidak akan dinilai main-main oleh setiap individu. Meskipun pelanggaran terhadap sistem moral hanya pelanggaran kecil namun mungkin saja akan dihukum dengan hukuman yang berat.
Sebaliknya, masyarakat dengan solidaritas organis dibentuk oleh hukum restitutif, dimana seseorang yang melanggar mesti melakukan restitusi untuk kejahatan mereka. Dalam masyarakat seperti ini, pelanggaran dilihat sebagai serangan terhadap individu tertentu atau segmen tertentu dari masyarakat dan bukannya terhadap sistem mmoral itu sendiri. Karena kuranngnya moral bersama, kebanyakan orang tidak melakukan reaksi secara emosional terhadap pelanggaran hukum. Meskipun beberapa hukum represif tetap ada dalam masyarakat dengan solidaritas organis (missal, hukum mati) namun hukum restitusi dapat dikatakan lebih menonjol, khususnya bagi pelanggarang ringan.
Artinya, dalam The Division of Labor Durkheim berpendapat bahwa dalam masyarakat modern bentuk solidaritas moral mengalami perubahan, bukannya hilang. Kita memiliki bentuk solidaritas baru yang memungkinkan adanya interdepensi yang lebih kuat dan relasi yang lebih erat dan tidak terlalu kompetitif. Namun buku Durkheim ini bukanlah perayaan dan pengagung-agungan masyarakat modern. Durkheim justru berpendapat bahwa bentuk solidaritas ini cenderung melahirkan jenis patologi sosial.
Normal dan Patologi
Dalam The Division of Libor, Durkheim menggunakan ide patologi untuk mengkritik beberapa bentuk "abnormal" yang ada dalam pembagian kerja masyarakat modern. Dia membedakan tiga bentuk perilaku abnormal: (1) pembagian kerja anomik (2) pembagian kerja yang di paksakan, dan (3) pembagian kerja yang terkoordinasi dengan buruk.
Pembagian kerja anomik adalah tidak adanya regulasi dalam masyarakat yang menghargai individualitas yang terisolasi dan tidak mau memberitahu masyarakat tentang apa yang harus mereka kerjakan. Menurut Durkheim, pembagian kerja yang dipaksakan yaitu bahwa masyarakat memerlukan aturan dan regulasi untuk mengatur apa yang akan dilakukan oleh mereka, namun bentuk abnormal yang dikemukakan justru mengacu pada jenis aturan yang bisa memancing konflik dan isolasi serta yang akan meningkatkan anomi. Terakhir, bentuk pembagian kerja abnormal ketiga adalah dimana fungsi-fungsi khusus yang dilakukan oleh orang yang berbeda-beda tidak diatur dengan baik. Disini Durkheim kembali menyatakan bahwa solidaritas organis berasal dari saling ketergantungan yang makin meningkat, melainkan dalam isolasi, maka pembagian kerja tidak akan terjadi di dalam solidaritas sosial.
Keadilan
Agar pembagian kerja dapat berfungsi sebagai moral dan secara sosial menjadi kekuatan pemersatu dalam masyarakat modern, maka anomi pembagian kerja yang dipaksakan, dan koordinasi yang kurang sempurna dan spesialisasi kerja mesti jadi ditangani sedemikian rupa. Masyarakat modern tidak lagi disatukan oleh pengalaman dan kepercayaan bersama, melaikan melalui perbedaan yang terdapat di dalamnya, sejauh perbedaan tersebut mendorong perkembangan tempat terjadinya kesalingtergantungan. Bagi Durkheim kata kunci untuk persoalan ini adalah keadilan sosial.
Elementary Forms of Religious Life
Teori Agama
Dalam buku ini, Durkheim menempatkan sosiologi agama dan teori pengetahuan dibagian depan. Sosiologi agamanya terdiri dari usaha mengidentifikasi hakikat agama yang selalu ada sepanjang zaman dengan menganilisis bentuk-bentuk agama yang paling primitif. Dia menemukan hakikat abadi agama dengan cara memisahkan yang sakral dari yang profan.
Masyarakat yang (melalui individu) menciptakan agama dengan mendefinisikan fenomena tertentu sebagai sesuatu yang sakral sementara yang lain sebagai profan. Aspek realitas sosial yang didefinisikan dan dianggap sakral inilah yaitu suatu yang terpisah dari peristiwa sehari-hari yang membentuk esensi agama. Segala sesuatu yang selainnya didefinisikan dan dianggap profan –tempat umum, suatu yang bisa dipakai, aspek kehidupan duniawi. Di satu pihak, yang sakral melahirkan sikap hormat, kagum, dan bertanggung jawab. Dipihak lain, sikap-sikap terhadap fenomena-fenomena inilah yang membuatnya dari profan menjadi sakral.
Setiap fenomena sosial yang mudah menyebar mesti memiliki kebenaran. Namun, kebenaran tersebut belum tentu sama dengan apa yang diyakini oleh para penganutnya. Sebenarnya, sebagai seorang agnostik yang ketat, Durkheim tidak percaya dengan realitas supranatural apapun yang menjadi sumber perasaan agam tersebut. Namun ada suatu kekuatan moral yang superior yang member inspirasi kepada pengikut, dan kekuatan itu adalah masyarakat, bukan Tuhan. Durkheim berpendapat bahwa secara simbolis menubuh kedalam masyarakat itu sendiri. Agama adalah sistem simbol yang dengannya masyarakat dapat menyadari dirinya. Inilah satu-satunya cara yang bisa menjelaskan kenapa setiap masyarakat memiliki kepercayaan agama, akan tetapi masing-masing kepercayaan tersebut berbeda satu sama lain.
Kepercayaan, Ritual, dan Gereja
Perbedaan antara sakral dan yang profan serta terangkatnya beberapa aspek kehidupan sosial ke level yang sakral memang merupakan syarat mutlak bagi bagi keberadaan agama, namun belum cukup sebagai syarat kemungkinannya. Tiga syarat lain yang dibutuhkan adalah : pertama, harus ada pengembangan kepercayaan religius. Kepercayaan adalah "representasi yang mengekspresikan hakikat hal yang sakral dan hubungan yang mereka miliki, baik dengan sesama hal yang sakral atau dengan hal yang profan" (Durkheim, 1912/1965: 56). Kedua, mesti ada ritual agama, yaitu "aturan tingkah laku yang mengatur bagaimana seorang manusia mesti bersikap terhadap hal-hal yang sakral tersebut" (Durkheim, 1912/1965:56). Ketiga, agama membutuhkan gereja, atau suatu komunitas moral yang melingkupi seluruh anggotanya. Hubungan timbale balik antara yang sakral, kepercayaan, ritual, dan gereja mendorong Durkheim untuk mengemukakan definisi agama sebagai tersebut: "Agama adalah kesatuan sistem kepercayaan dan praktik yang menyatu dalam sebuah komunitas moral tunggal yang dinamai Gereja, semua yang melekat padanya". (1912/1965: 62) Ritual dan gereja sangat penting dalam teori agama Durkheim karena keduanya menghubungkan representasi sosial dengan praktik individu.
Kenapa Primitif ?
Durkheim mempelajari agama primitif adalah untuk menyelidiki agama dalam masyarakat modern. Agama dalma masyarakat nonmodern merupakan sesuatu yang melingkupi kesadaran kolektif. Akan tetapi masyarakat berkembang menjadi makin khusus, sehingga agama makin terpinggir. Durkheim mengaku bahwa agama per se memang menempati ranah yang sempit, akan tetapi dia juga mengatakan bahwa sebagian besar, kalaupun tidak semua, representasi kolektif masyarakat modern berasal dari agama masyarakat primitif, sebuah agama yang mencakup segala sesuatu.
Totemisme
Totemisme adalah sistem agama dimana sesuatu, bisa binatang dan tumbuhan, dianggap sakral dan jadi simbol klan. Durkheim memandang totemisme sebagai bentuk agama yang paling sederhana dan paling primitif dan percaya bahwa tptemisme terkait dengan bentuk paling sederhana dari organisasi sosial, sebuah klan.
Kategori Pemahaman
The Elementary Forms menghadirkan sebuah argumen tentang asal usul sosial dari enam kategori fundamental yang telah diindentifikasi oleh filsuf sebagai suatu yang esensial bagi pemahaman manusia: waktu, tempat, klasifikasi, kekuatan, kausalitas, dan totalitas. Waktu berasal dari irama kehidupan sosial. Tempat dikembangkan dari pembagian tempat yang ditempati oleh masyarakat. Klasifikasi dilekatkan pada kelompok manusia. Kekuatan berasal dari pengalaman dengan kekuatan sosial. Ritual imitasi adalah asal konsep kausalitas. Terakhir, masyarakat adalah representasi totalitas.
Semangat Kolektif
Konsep semangat kolektif tidak terlalu jernih dibahas dalam karya Durkheim. Dia sepertinya berpendapat bahwa, dalam pengertian umum, momen paling bagus dalam sejarah adalah ketika kolektivitas menerima kegairahan kolektif baru yang levelnya lebih tinggi yang kemudian bisa mendorong terjadinya perubahan yang baik dalam struktur masyarakat. Sebagaimana digambarkan berikut, semangat kolektif ini bisa saja terjadi dalam ruang kelas. Selama periode semangat kolektif inilah anggota suku menciptakan totemisme. Semangat kolektif menentukan momen formatif perkembangan sosial. Semangat kolektif adalah fakta sosial sejak awal.
Sebagai ringkasan dari teori agama Durkheim dapat dinyatakan bahwa masyarakat adalah sumber agama, konsep tentang Tuhan, dan segala sesuatu yang sianggap sakral (sabagai dari profan). Dalam pengertian riil, maka kita bisa menyimpulkan bahwa yang sakral, Tuhan, dan masyarakat adalah satu dan sama. Sementara kesimpulan sosiologi pengetahuan Durkheim adalah klaim dia bahwa konsep dan kategori-kategori fundamental kita adalah representasi kolektif yang diciptakan masyarakat, paling tidak pada awalnya, melalui ritual agama. Agama adalah sesuatu yang menghubungkan masyarakat dan individu, karena melalui ritual terhadap yang sakrallah kategori sosial menjadi dasar bagi konsep individu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar