Selasa, 24 September 2013

Nur Khaleda Ayuningtiyas KPI 1/C_Tugas3_Emile Durkheim 2

THE DIVISION OF LABOR IN SOCIETY
                The Division of Labor in Society (Durkheim,1893/1964). Di dalamnya, Durkheim melacak perkembangan modern terutama ingin menggunakan ilmu sosiologi barunya untuk meneliti sesuatu yang sering dilihat sebagai krisis moralitas. "Buku ini adalah sebuah karya yang membahas fakta kehidupan moral berdasarkan metode ilmu posivistik". The Division of Labor in Society justru bisa dilihat sebagai penyangkalan terhadap analisis Comte ini (Gouldner, 1962). Durkheim berpendapat bahwa pembagian kerja yang tinggi bukannya menandai keruntuhan moral sosial, melainkan melahirkan moralitas sosial jenis baru. Tesis The Division of Labor adalah bahwa masyarakat modern tidak diikat oleh kesamaan antara orang-orang yang melakukan pekerjaan yang sama, akan tetapi pembagian kerjalah yang mengikat masyarakat dengan memaksa mereka agar tergantung satu sama lain. Kelihatannya pembagian kerja memang menjadi tuntutan ekonomi yang merusak solidaritas sosial, akan tetapi Durkheim (1893/1964:17) berpendapat bahwa "fungsi ekonomis yang dimainkan oleh pembagian kerja ini menjadi tidak penting dibandingkan dengan efek moralitas yang dihasilkannya. Maka fungsi sesungguhnya dari pembagian kerja adalah untuk menciptakan solidaritas antara dua orang atau lebih."
SOLIDARITAS MEKANIS & ORGANIS
                Durkheim membagi dua tipe solidaritas-mekanis dan organis. Masyarakat yang ditandai oleh solidaritas mekanis menjadi satu dan padu karena seluruh orang adalah generalis. Ikatan dalama masyarakat seperti ini terjadi karena mereka terlibat dalam aktivitas yang sama dan memiliki tanggung jawab yang sama. Sebaliknya, masyarakat yang ditandai oleh solidaritas organis bertahan bersama justru dengan perbedaan yang ada di dalamnya, dengan fakta bahwa semua orang memiliki pekerjaan dan tanggung jawab yang berbeda-beda.
                Durkheim meyakini bahwa solidaritas mekanis menjadi organis disebabkan oleh dinamika penduduk. Konsep ini merujuk pada jumlah orang dalam masyarakat dan banyaknya interaksi yang terjadi diantara mereka. Semakin banyak orang berarti makin meningkatnya kompetisi memperebutkan sumber-sumber yang terbatas, sementara makin meningkatnya jumlah interaksi akan berarti makin meningkatnya perjuangan untuk bertahan di antara komponen-komponen masyarakat yang pada dasarnya sama.
                Perbedaan terakhir antara solidaritas mekanis dan solidaritas organis adalah bahwa dalam masyarakat dengan solidaritas organis, kompetisi yang kurang dan diferensiasi yang tinggi memungkinkan orang bekerja sama dan sama-sama ditopang oleh sumber daya yang sama. Oleh karena itu, diferensiasi justru menciptakan ikatan yang lebih erat dibanding persamaan. Selain itu, masyarakat yang dibentuk solidaritas organis mengarah pada bentuk yang lebih solid dan lebih individual daripada masyarakat yang dibentuk solidaritas mekanis (Rueschemeyer, 1994). Individualitas, bukannya menghancurkan keeratan ikatn sosial, ia malahan dibutuhkan untuk memperkuat ikatan tersebut (Muller, 1994).

HUKUM REPRESIF & RESTITUTIF
                Durkheim berpendapat bahwa masyarakat dengan solidaritas mekanis dibentuk oleh hukum represif. Karena anggota masyarakat jenis ini memiliki kesamaan satu sama lain dan karena mereka cenderung sangat percaya pada moralitas bersama, apa pun pelanggaran terhadap sistem nilai bersama tidak akan dinilai main-main oleh setiap individu. Karena setiap orang dapat merasakan pelanggaran itu dan sama-sama meyakini moralitas bersama, maka pelanggar tersebut akan dihukum atas pelanggarannya terhadap sistem moral kolektif.
                Sebaliknya, masyarakat dengan solidaritas organis dibentuk oleh hukum restitutif, dimana seseorang yang melanggar mesti melakukan restitusi untuk kejahatan mereka. Dalam masyarakat seperti ini, pelanggaran dilihat sebagai serangan terhadap individu tertentu atau segmen tertentu dari masyarakat dan bukannya terhadap sistem moral itu sendiri.
                Artinya, dalam The Division of Labor Durkheim berpendapat bahwa dalam masyarakat modern bentuk solidaritas moral mengalami perubahan, bukannya hilang. Kita memiliki bentuk solidaritas baru yang lebih erat dan tidak terlalu kompetitif. Hal ini kemudian melahirkan hukum yang dilandaskan pada restitusi. Namun, buku Durkheim ini bukanlah perayaan dan pengagung-agungan masyarakat modern. Durkheim justru berpendapat bahwa bentuk solidaritas ini cenderung melahirkan jenis patologi sosial.
NORMAL & PATOLOGI
                Dalam The Division of Labor, Durkheim menggunakan ide patologi untuk mengkritik beberapa bentuk "abnormal" yang ada dalam pembagian kerja masyarakat modern. Dia membedakan tiga bentuk perilaku abnormal:
  1. Pembagian kerja anomik : adalah tidak adanya regulasi dalam masyarakat yang menghargai individualitas yang terisolasi dan tidak mau memberitahu masyarakat tentang apa yang harus mereka kerjakan. Durkheim menggunakan istilah pembagian kerja anomi untuk mengacu kondisi sosial dimana manusia kekurangan pengendalian moral (Bar-Haim, 1997; Hilbert, 1986). Bagi Durkheim, masyarakat modern selalu cenderung melakukan anomi, namun akan mencuat ke permukaan manakala terjadi krisis sosial & ekonomi.
  2. Pembagian kerja yang dipaksakan : mengacu pada jenis aturan yang bisa memancing konflik dan isolasi serta yang akan meningkatkan anomi. Merujuk pada fakta bahwa norma yang ketinggalan zaman dan harapan-harapan bisa memaksa individu, kelompok, dan kelas masuk ke dalam posisi yang tidak sesuai bagi mereka. Tradisi, kekuatan ekonomi, atau status bisa menjadi lebih menentukan pekerjaan yang akan dimiliki ketimbang bakat dan kualifikasi.
  3. Pembagian kerja yang terkoordinasi dengan buruk : solidaritas organis berasal dari kesalingtergantungan  antarmereka. Jika spesialisasi seseorang tidak lahir dari kesalingtergantungan yang makin meningkat, melainkan dalam isolasi, maka pembagian kerja tidak akan terjadi di dalam solidaritas sosial.

ELEMENTARY FORMS OF RELIGIOUS LIFE
TEORI AGAMA YANG SAKRAL & YANG PROFAN
                Dalam buku ini, Durkheim menempatkan sosiologi agama dan teori pengetahuan di bagian depan. Sosiologi agamanya terdiri dari usaha mengidentifikasi hakikat agama yang selalu ada sepanjang zaman dengan menganalisis bentuk-bentuk agama yang paling primitif. Sementara teori pengetahuannya berusaha menghubungkan kategori –kategori fundamental pikiran manusia dengan asal-muasal sosial mereka. Singkat kata, Durkheim menemukan hakikat abadi agama dengan cara memisahkan yang-sakral dari yang profan. Yang sakral tercipta melalui ritual-ritual yang mengubah kekuatan moral masyarakat menjadi simbol-simbol religius yang mengikat individu dalam suatu kelompok.
KENAPA PRIMITIF?
                Durkheim ingin mempelajari agama dalam budaya "primitif" karena beberapa alasan. Pertama, dia percaya bahwa lebih mudah memperoleh pengetahuan tentang hakikat agama dalam budaya primitif karena sistem ide agama primitif kurang berkembang ketimbang agama modern, yang menyebabkan ia kurang dikenal. Bentuk agama dalam masyarakat primitif bisa "dilihat dalam seluruh keasliannya mereka," dan tidak membutuhkan "usaha keras untuk mengungkapnya" (Durkheim, 1912/1965: 18). Dalam hal ini, kalau agama dalam masyarakat modern memiliki bentuk yang bermacam-macam, dalam masyarakat primitif agama memiliki "persesuaian intelektual dan moral" (Durkheim,1912/1965:18). Hal ini memudahkan kita untuk menghubungkan kepercayaan bersama dengan struktur sosial.
TOTEMISME
                Totemisme adalah sistem agama dimana sesuatu, bisa binatang dan tumbuhan, dianggap  sakral dan jadi simbol klan. Durkheim memandang totemisme sebagai bentuk agama yang paling sederhana dan paling primitif dan percaya bahwa totemisme terkait dengan bentuk paling sederhana dari organisasi sosial, sebuah klan.
Kategori Pemahaman. The Elementary Forms menghadirkan sebuah argumen tentang asal-usul sosial dari enam kategori fundamental yang telah diidentifikasi oleh filsuf sebagai suatu yang esensial bagi pemahaman manusia. Waktu, tempat, klasifikasi, kekuatan, kausalitas, dan totalitas. Waktu berasal dari irama kehidupan sosial. Kategori tempat dikembangkan dari pembagian tempat yang ditempati oleh masyarakat. Pembahasan dalam totemisme, klasifikasi dilekatkan pada kelompok manusia. Kekuatan berasal dari pengalaman dengan kekuatan sosial. Ritual imitasi adalah asal konsep kausalitas. Terakhir, masyarakat  adalah representasi totalitas (Nielsen, 1999).
Poin pentingnya disini adalah bahwa kategori-kategori fundamental yang memungkinkan kita mengubah cerapan indera menjadi konsep-konsep abstrak berasal dari pengalaman sosial, khususnya pengalaman akan ritual-ritual agama. Dalam ritual tersebut, keterlibatan jasmaniah para pengikut dalam suara dan gerak ritual menciptakan perasaan yang melahirkan kategori-kategori pemahaman (Rawls, 2001).
 Sumber : Ritzer, George dan J.Goodman Douglas. 2004 .Teori Sosiologi Modern.Jakarta: Kencana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini