Selasa, 24 September 2013

Antik Bintari KPI 1A tugas 3

Division labour of society
     Awalnya diterbitkan pada tahun 1893. karya inovatif Emile Durkheim tetap menjadi salah satu teks landasan sosiologis dan sekarang diperbarui dan kembali diterjemahkan dalam edisi terbaru. Ketika Revolusi Industri telah mengubah lanskap kehidupan di masyarakat, Durkheim menyajikan visi baru dari struktur sosial pada akar-akar kapitalisme, dan isu-isu yang masih bergulat dengan bergema saat ini. Jika masyarakat pra-industri bersama-sama memegang nilai-nilai umum, sentimen, dan norma-norma, sedangkan masyarakat modern dengan divisi kerja mereka yang kompleks dan struktur sosial non-kohesif. Lalu apa arti tatanan sosial baru ini bagi otonomi individu?
Durkheim berpendapat bahwa konflik kelas tidak melekat dalam masyarakat kapitalis, seperti pendapat Marx, bahwa pertumbuhan kekuasaan negara yang bersifat absolut atau mengekang akan menyebabkan kepunahan individualitas. Hanya dalam masyarakat bebas yang mempromosikan ikatan sukarela antara anggotanya, Durkheim menyarankan, setiap individu bisa memakmuri dirinya.
      Perhatian Durkheim yang utama adalah bagaimana masyarakat dapat mempertahankan integritas dan koherensinya dimasa modern, ketika hal-hal latar belakang keagamaan dan etnik bersama tidak adalagi. Untuk. Mempelajari kehidupan sosial di kalangan masyarakat modern, Durkheim berusaha menciptakan salah satu pendekatan ilmiah pertama terhadap fenomena sosial. Bersama Herbert Spencer Durkheim adalah salah satu orang pertama yang menjelaskan keberadaan dan sifat berbagai bagian dari masyarakat dengan mengaju pada fungsi yang meraka lakukan dalam mempertahankan kesehatan dan keseimbangan masyarakat, suatu posisi yang telah dikenal sebagai fungsionalisme.
Dalam bukunya "The Division Labour of Society (Pembagian kerja dalam masyarakat)", Durkheim meneliti bagaimana tatanan sosial dipertahankan dalam berbagai bentuk masyarakat. Ia memusatkan perhatian pada pembagian kerja, dan meneliti bagaimana hal itu berbeda dalam masyarakat tradisional dan  masyarakt modern. Ia berpendapat bahwa masyarakat-masyarakat tradisionl bersifat mekanis dan dipersatukan oleh kenyataan bahwa setiap orang lebih kurang sama, dan karenanya mempunyai banyak kesamaan bakat dan kemampuan di antara sesamanya. Dalam masyarakat tradisional. Durkheim berkata bahwa kesadaran kolektif sepenuhnya mencakup kasadaran  individual, norma-norma  sosial kuat dan perilaku sosial diatur dengan rapi sehingga masyarakat ini memiliki tingkat integritas yang tinggi.
Kemudian pendapat Durkheim di dalam masyarakat modern, pembagian kerja yang sangat kompleks menghasilkan solidaritas organik. Spesialisasi dan keahlian yang berbeda-beda dalam bidang pekerjaan dan peranan sosial menciptakan ketergantungan yang mengikat orang kepada sesamanya, karena mereka tidak lagi dapat memenuhi seluruh kebutuhan mereka sendiri. Dalam "Division of Labour" Durkheim menggunakan ide pemahaman untuk mengkritik bentuk " abnormal" yang ada dalam pembagian kerja masyarakat modern. Pembagian kerja tersebut adalah:
Ø  Pembagian kerja anomik, yaitu tidak adanya peraturan dalam masyarakat yang menghargai individualitas yang terisolasi dan tidak mau membimbing masyarakat tentang apa yang harus mereka kerjakan.
Ø  Pembagian kerja yang dipaksakan, yaitu aturan yang dapat menimbulkan konflik dan pengekangan serta yang akan meningkatkan anomi (tidak adanya aturan). Hal ini menunjuk pada norma yang ketinggalan zaman dan harapan-harapan individu, kelompok, dan kelas masuk ke dalam posisi yang tidak sesuai dengan keinginan mereka.
Ø  Pembagian kerja yang terkoordinasi dengan buruk, dimana solidaritas organis berasal dari saling ketergantungan antarmereka.


The Elementary Forms Of Religious Life
Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa buku ini secara eksklusif sebelumnya merupakan hasil penelitian dan renungannya pada masyarakat Australia. Namun demikian, penelitian yang dihasilkannya tidak hanya terbatas pada masyarakat Australia, tetapi juga berlaku pada masyarakat lainnya. Dilihat dari judulnya, buku ini berusaha menemukan beberapa elemen-elemen dasar pembentuk semua agama.
Dalam bukunya itu, Durkheim menjelaskan bahwa yang dinamakan agama bukanlah seperti  yang selama ini telah dipahami secara konvensional, yaitu kepercayaan pada makhluk supernatural, seperti Tuhan atau para dewa. Asumsinya lebih didasarkan pada masyarakat primitif/awam, yang secara normal tidak berpikir tentang dua dunia yang berbeda, yaitu yang supernatural dan yang natural. Bagi masyarakat primitif, semua peristiwa, baik yang biasa ataupun luar biasa, pada dasarnya sama saja. Di sisi lain, ternyata munculnya konsepsi tentang adanya dewa melahirkan masalah baru, karena tidak semua orang beragama percaya pada wujud ilahi(Tuhan), meskipun mereka percaya yang supernatural. Dari latar belakang demikian, Durkheim hendak mendefinisikan ulang agama yang dapat membersihkan pandangan lama.
 Menurut pengamatannya, yang benar-benar merupakan karakteristik kepercayaan dari ritual agama bukanlah unsur supernatural, tetapi konsep tentang yang sakral (the sacred). Lebih lanjut ia mengatakan bahwa pembagian dunia yang berbeda bukanlah kepada yang supernatural dan yang natural, tetapi kepada wilayah yang sakral dan yang profan. Kategori yang pertama selalu dianggap superior, sangat kuasa, terlarang dari hubungan normal, dan pantas mendapat penghormatan tinggi. Sementara, kategori yang kedua, merupakan kebalikan yang pertama.
Atas dasar inilah, Durkheim mengolah definisinya tentang agama sebagai "sebuah sistem kesatuan dari kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal-hal yang sakral (sacred things), yakni hal-hal yang terpisah dan terlarang". Jika ditanyakan, apa tujuan dari hal-hal yang sakral ini, maka jawabannya terletak pada bagian kedua dari definisi tersebut, yaitu praktik-praktik ini menyatu ke dalam suatu komunitas moral yang disebut gereja, semua orang taat pada praktik itu. Kata kuncinya adalah pada 'komunitas' dan 'gereja'. Hal-hal yang sakral selalu melibatkan kepentingan besar: kepentingan dan kesejahteraan seluruh kelompok umat, tidak hanya satu atau beberapa. Sebaliknya, hal-hal yang profan adalah masalah-masalah kecil, yang mencerminkan urusan setiap individu sehari-hari.
Menurut Durkheim bahwa pembagian antara yang sakral dengan yang profan ini bukan pembagian yang bersifat  moral. Artinya, yang sakral itu harus baik dan yang profan mesti jahat, meskipun kecenderungannya lebih bersifat demikian. Menurutnya, garis pemisah itu sebetulnya melintasi pembagian antara yang sakral dengan yang profan. Yang sakral dapat menjadi yang profan sebaliknya, yang profan dapat bersifat baik ataupun jahat, namun yang profan tidak pernah menjadi yang sakral.
Mulai dari pandangannya bahwa yang sakral sebagai sesuatu yang bersangkutan dengan masyarakat, Durkheim secara tidak langsung telah membantah para pendahulunya. Menurutnya, bahwa agama bukanlah datang untuk menggantikan magi yang gagal, magi disini adalah perbuatan ajaib yang dilakukan golongan imam dari para ahli magi itu atau biasa disebut sebagai ilmu sihir, ilmu gaib, jampi dan sebagainya. sebagaimana dipahami oleh Frazer yang mengatakan bahwa bangsa manusia sebelumnya mengikuti kaidah-kaidah magi, dan ketika gagal, ia berpindah ke agama sebagai suatu bentuk pemikiran yang lebih baik. Menurut Durkheim bahwa magi merupakan masalah yang semata-mata pribadi, yang tidak berkaitan dengan yang sakral. lantaran ia hanya menempatkan agama sebagai "salah-satu" dari kumpulan konstruksi nilai yang menjiwai kehidupan masyarakat sehingga agama bisa saja digantikan oleh "entitas lain" namun Durkheim tampak jauh lebih bersifat perfect ketimbang teoretikus-teoretikus lainnya dalam membedah berbagai varian yang secara akademis disepakati sebagai "elemen dasar agama", seperti yang sakral dan yang profan, ruh, arwah leluhur, sakramen, pengorbanan, magis, ataupun ritual.


Referensi

Durkheim, Emile. (1858). The Division of Labor in Society. New York.
Durkheim, Emile. (2008). The Elementary Forms of the Religious Life. dover publication.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini