Sabtu, 15 Maret 2014

Dauatus Saidah_tugas 2

Nama : Dauatus Saidah
Jurusan : PMI 2
Nim : 1113054000016
 
 
 
OTORITAS LOKAL DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM: MENATAP OTONOMI DESA DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI PEMBANGUNAN DAN EKOLOGI POLITIK
Arya Hadi Dharmawan
 
Pendahuluan
Desa dalam Pusaran Kekuatan TNCs, TNSs, TNKs
            Tidak mudah membayangkan seperti apakah wujud desa dalam pengelolaan sumberdaya alam (SDA) di Indonesia pada 2030 (23 tahun kedepan). Berbagai spekulasi yang didasarkan kondisi factual dan prediksi kecenderungan global telah dimulai sejak lama oleh para ahli termasuk kalangan political ecologists untuk bisa meraba "bangun strukstur social dan politik serta nilai-nilai budaya" desa masa depan di kawasan negara dunia ketiga  (termasuk Indonesia).
            Desa (lokalitas) juga menjadi ajang perebutan tarik menarik kepentingan social politik dan ekonomi yang menjadikan eksistensinya tidak selalu bebas dalam menentukan arah perkembangannya kedepan. Dari perspektif world system theory, Friedman (1999) bahkan dengan sangat tandas menyatakan bahwa gejala artikulasi (perbuatan kekuatan) system-sistem pengaturan dimana system social lokalitas diwakili oleh indigenous civilization terus didesak oleh kekuatan western-global world yang sangat menekan.
            Robinson (2001) mengemukakan lebih jauh bahwa kapiatalisme menyebabkan kelumpuhan kawasan peripheral melalui dua cara, yaitu Ekspansi Kolonialisme di era penjajahan (abad 16-19) dan Ekspansi Globalisme di era modernisme (abad 20-21).
            Hasil akhir dari bekerjanya sistem-sistem pengaturan ala kapitalisme dan globalisme adalah apa yang di konseptualisasikan sebagai pengaturan-pengaturan berbasiskan kepahaman antar bangsa (antar Negara). Kesepakatan antar Negara bangsa itu dalam konteks globalisme dikenal sebagai konsep Trans-National States (TNSs). Teladan yang sangat sederhana dalam hal ini kesepakatan Indonesia dengan USA atas eksploitasi bahan tambang bernialai ekonomi tinggi (minyak, emas, tembaga). Oleh karena itu, konflik-konflik sumber daya alam yang muncul diberbagai daerah adalah keniscayaaan yang tidak dapat dihindari.
            Castels (2001) mengemukakan dalam hal ini,bahwa ekspansi globalisme (Trans-Nationalism Theory) yang menghempaskan sistem sosio kemasyarakatan local adalah prasyarat penting (dan tidak terelakan) bagi terbetuknya "world modern social system" sejak keseluruhan scenario pembangunan kawasan Negara dunia ketiga terperangkap dalam modernization-theory.
            Dalam kerangka ini, maka globalisme selain diartikan sebagai Integrasi Ekonomi dan Sistem social global, tidak dapat dihindarkan konsep tersebut menyangkut pula gagasan tentang adanya penetrasi budaya Trans-National Knowledge system (TNKs) secara sitematis di seluruh penjuru dunia. Penetrasi TNK sebagai keniscayaan modernisasi dan kapitalisme global ikut mengerogoti kedaulatan local terutama di wilayah spiritualitas dan budaya.
            Strategi "reteritorialisasi kedaulatan lokal" dalam hal ini di pandang dapat berfungsi sebagai penawar proses-proses deteritorialisasi sistem social-ekonomi dan budaya lokalitas akibat globalisme.
            Kasus-kasus marjinalisasi teritorial sistem-sistem peradaban asli oleh kekuatan barat, sebagaimana yang terjadi di desa-desa asli "ngata toro"disekitar taman nasional lore lindu di Sulawesi tengah atau suku anak dalam di jambi, adalah teladan-teladan yang represintatif dan sangat tepat untuk menggambarkan proses-proses keterdesakan local oleh globalisme-modernisme-kapitalisme ala eropa di Indonesia.
            Keseluruhan perspektif keterdesakan local oleh kekuatan global di atas, diformulasikan dengan baik oleh Fukuyama (2004) menjadi sebuah teoretisasi yang dikenal sebagai "the theory of sovereignty erosion". teori ini menjelaskan betapa kedaulatan-kedaulatan local dalam pengaturan di segala tatanan kehidupan tererosi secara dramatis oleh mekanisme-mekanisme pengaturan social ekonomi politik barat/global.
            Dalam kerangka teori erosi kedaulatan dari Fukuyama, proses-proses peluruhan kekuatan organisasi social pengaturan asli (terutama yang berkaitan dengan pengelolaan SDA) menjadi bagian yang paling sulit untuk dihindarkan. Proses penggerusan kedaulatan local atas SDA yang dimiliki/dikuasai itu dating bergelombang seiring datangnya proses-proses modernisasi-westernisasi struktul social dan budaya yang dibawakan dan di implementasikan secara massif oleh pemerintah di kawasan pedesaan.
            Escobar (2005) dengan menggunakan kerangka filosofi Faucauldian mengatakan bahwa rejim pengaturan local (pemerintah desa) tidak mampu lagi berkuasa dan berwenang dalam pengaturan SDA yang dimilikinya sendiri. Hal ini dikarenakan, cara berfikir ideology local yang di anut oleh para pemegang otoritas local (kepala desa dan tokoh desa) yang diikuti oleh warga secara sengaja atau tidak sengaja telah larut mengikuti logika rasionalitas atau cara berfikir yang di anut oleh agensi ekstra local (TNCs dan TNSs).
            Disebutkan pula oleh Escobar bahwa rejim pembangunanisme yang berjalan menurut "logika" teori modernisasi dianggap telah menjadi kekuatan kolonialisme baru tidak saja sebagai poworful mechanism for production and economic management (TNCs) namun, lokalitas juga telah menjadi obyek-obyek baru penetrasi ilmu-pengetahuan ala Western (TNKs). Penetrasi cara berfikir (yang serba pertumbuhan, serba investasi asing, serba akumulasi ekonomi dan serta ekspansi-kapital) itulah yang selanjutnya kelak menghasilkan dominasi-dominasi budaya dalam cara berfikir yang melenggangkan dan melenggangkan dominasi kekuasaan-kekuasaan politik local ala kelembagaan kapitalis barat (pada tatanan pengetahuan lokal).
            Dalam kerangka foucauldin pula, dijelaskan bahwa otoritas lokalitas dibanyak kawasan dunia ketiga menyerah pasrah dan menjadi tidak berdaulat (authority-loss) lagi atas SDA. Kehilangan kedaulatan ini jelas mengubah the whole landscape of livelihood system secara totalitas sehingga struktur nafkah local (pedesaan) menjadi sangat mengenaskan.
            Dalam hal ini Escobar (1998, 1999) memperkenalkan konsep TIGA_ALAM untuk melihat kekalahan sistem pengaturan SDA local. Ketiga alam itu adalah: "alam organik" (sistemalam yang diperlihara oleh komunitas lokal) yang menjadi domain kekuatan lokalitas dalam rejim tata-kelola SDA. Kedua "alam kapitalis" yaitu sistem alam atau SDA yang dikoloniasasi oleh kekuatan kapitalisme, dan ketiga "alam-teknologis" yaitu sistem alam yang dikuasai oleh pemilik teknologi maju-barat.
Empat Sekenario Sistem Pengelolaan SDA Lokal: Memberikan Kesempatan Bagi Lokalitas (Desa) untuk Memilih
            Dalam teoritas Friedman (1999), ranah identitas struktur kekuasaan mengenal dua kutub yang saling bersebrangan, yaitu "self directed regime" (kedaulatan lokal) di satu kutub dan "other directed regime" (keterjajahan oleh kekuatan asing) dikutup yang lain. Kedua kutub dihubungkan oleh continuum of identity dimana diantara keduanya ditemukan variasi-variasi identitas struktur kekuasaan dan otoritas turunanya.
            Dengan memkirkan pemikiran Friedman dapat diperoleh empat kombinasi ekstrem tata kelola SDA maupun identitas ekstrem pembangunan sistem pengetahuan dan nilai budaya local. Ruang-ruang tata pengaturan SDA adalah :
1.      Ruang Ekstrem I (kiri-atas) adalah ruang dimana pengelolaan SDA mengadalkan strktur-struktur kelembagaan dan aturan-aturan local yang sangat ototnom sifatnya. Segala kekuatan asing (TNCsmTNKs, maupun TNSs) tidak dapat menembus isolasi ruang sehingga struktur otoritas pengelola SDA berkesan bercirikan "lokalisme defensif" (Winter, 2003).
2.      Ruang Ekstrem II (kanan-atas) adalah ruang dimana kedaulatan local atau otonomi local hanya terjadi dalam hal olah-otoritas pengelolaan SDA saja. Hingga taraf tertentu TNCs dan TNSs tidak mampu mengubah tatanan pengelolaan SDA local. Namun sifat keterbukaan masyarakat dan tiadanya filter budaya yang kuat (bersifat kosmopolit atau permisif terhadap nilai-nilai asing) telah menyebabkan intercultural-influx mengarus masuk dengan kekuatan cukup tinggi diruan ini.
3.      Ruang Eksterm III (kanan-bawah) adalah ruang dimana modernitas barat yng dibawa oleh gerakan modernisasi (termasuk modernisasi pemerintah lokal) via berbagai kegiatan pembangunan (kerjasama TNCs dan TNSs), telah mampu mengubah struktur-struktur atau tatanan-kelembagaan pengelolaan SDA local.
4.      Ruang Eksterm IV (kiri-bawah) adalah ruang dimana kelembagaan bentukan pengelolaan SDA (akibat kekuatan proses-proses modernisasi-kapitalisasi oleh TNCs dan TNSs) telah mengubah langkap kelembagaan pengaturan SDA diwilayah tempatan. Komunitas local dan tata-pengaturan SDA local tidak berdaya menghadapi tekanan TNCs dan TNSs, sehingga sistem pengelolaan SDA secara keseluruhan mengikuti cara-cara yang iintroduksikan dari luar sistem social local.
Terdapat empat sekenario kemungkinan dan ratusan kemungkinan lainnya yang dapat diturunkan secara variatif oleh keempat ruangan diatas. Namun prediksi paling kuat menunjuk pada sekenario tunggal yaitu terbentuknya pola ektrem di ruang III. Ruangan ini diisi oleh lokalitas yang tidak lagi berdaulat dalam pengelolaan SDA dan lokalitas-lokalitas yang tidak lagi memiliki cirri budaya local yang khas. Semua menuju ketunggalan sistem tata pengaturan dan budaya pemanfaatan SDA.
 
 
Referensi
Judul buku : Menuju Desa 2030
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini