Sabtu, 15 Maret 2014

Fauzia Nurul Khotimah_TUGAS2_PMI2

Nama              : Fauzia Nurul Khotimah
Jurusan/Smt : PMI2
NIM                : 1113054000007
 
PENGUATAN KETAHANAN MASYARAKAT DESA (COMMUNITY RESILIENCE) DALAM PEMBANGUNAN SOSIAL EKONOMI DESA
 
Latar Belakang
Fokus pembangunan ekonomi di pedesaan merupakan bagian integral dan tidak mungkin ditawar dalam kerangka pembangunan ekonomi nasional. Secara geopolitik desa mer7upakan wilayah administrasi terkecil dalam sistem pemerintahan yang secara yuridis formal keberadaannya diatur dalam Peraturan Pemerintahan no72 tahun 2005 tentang Desa. Berdasarkan PP tersebut pasal 1 yang dimaksud dengan desa adalah : Kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asa-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sebagaimana lazimnya suatu wilayah administratif maka pembentukan desa harus memenuhi syarat-syarat tertentu seperti:
a)      jumlah penduduk,
b)      luas wilayah,
c)      bagian wilaya kerja,
d)     perangkat dan
e)      sarana dan parasaran pemerintah.
Sampai dengan tahun 2006 jumlah desa di Indonesia mencapai 66.215. jumlah tersebut tidak menutup kemungkinan akan semakin bertambah mengingat bahwa pemerintah mengakomodir adanya pemekaran desa-desa.
Konsekuensi logis dari pengertain wilayah administrasi dan sebagai suatu kawasan, maka desa mempunyai fungsi-fungsi seperti: tempat pemukiman, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan aktivitas/ transaksi ekonomi.
Berdasarkan Gambar (1) Presentasi Perbandingan Jumlah Penduduk Perkotaan dan Pedesaan di Indonesia tahun 1950-2005. Penduduk yang tinggal di pedesan sampai tahun 2005 masih dominan, meskipun fakta yang ada telah terjadi perubahan yang cukup signifikan sejak tahun 1950 dari 87,6 persen menjadi 52.1 persen. Hal ini mengakibatkan berubahnya desa yang dulunya merupakan pedesaan menjadi perkotaan dan mengakibatkan pesatnya arus urbanisasi.
Berkurangnya presentase jumlah penduduk yang ada di perdesaan tidak secara otomatis berimplikasi terhadap semakin membaiknya fungsi  desa termasuk didalamnya uapay-upaya   untuk menginkatkan kesejahteraan masyarakat. Kemiskinan semakin merajarela hal ini disebabkan  karena struktur perekonomian yang tidak optimal memeberikan ruang bagi masyarakat pedesaan untuk partisipasi lebih dalam terhadap pelaksanaan pembangunan.
Sebagaimana di Gambar (2) Perbandingan Jumlah Penduduk Miskin di Perkotaan dan Perdesaan tahun 1995-2006. Jumblah penduduk miskin di Indonesia lebih banyak berada di perdesaan. Seperti :
a)      krisis ekonomi tahun 1998 mengakibatkan jumlah penduduk miskin di perdesaan meningkat cukup drastic, meskipun demikian tahun 2000 terlihat pengurangan yang cukup besar dibandingkan dengan penduduk di perkotaan.
b)      Kenaikan harga BBM tahun 2005 (2kali kenaikan) mengakibatkan pertambahan penduduk miskin yang ada di perdesaan lebih banyak dibandingkan penduduk perkotaan.
Menyiratkan bahwa daya tahan masyarakat pedesaan cukup berfluktuasi. Oleh karena itu untuk meningkatkan daya tahan diperlukan strategi-strategi khusus dan jitu.
Konsepsi Ketahanan (Resilience)
Pemahaman mengenai konsep ketahanan (resilience) dikemukakan oleh Holling 1973, merujuk pada teori yang berbasiskan ekologi, yaitu :
1.      Suatu keadaan untuk kembali pada situasi yang normal
2.      Arah serta besaran dari perubahan dimana suatu lingkungan mampu menyesuaikan diri seingga tidak terjadi pengaruh yang negative.
Dalam Gambar(3) Perkembangan teori resilience konsep dan teori ini tidak semata-mata digunakan untuk menganalisis daya adaptasi ekologi apabila terjadi perubahan, tetapi juga banyak digunakan pada cabang ilmu pengetahuan termasuk ilmu-ilmu sosial. Konsep resilience  di bidang teknik diaplikasikan untuk mengidentifikasi material yang digunakan dalam konstruksi gedung yang relatif tahan terhadap   perubahan lingkungan. Konsep pembangunan ekonomi di pedesaan juga tidak terlepas dari konsep ini.
Konsep mengenai community resilience dimaknai sebagai suatu kondisi kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang berkelanjutan yang dicirikan oleh :
1.      Kemampuan untuk mengatasi tekanan, guncangan dan perubahan yang terjadi dalam lingkungannya.
2.      Kemampuan untuk mengelola dan meningkatkan kapabilitas serta asset yang dimiliki baik pada saat ini dan pada masa yang akan datang.
 
A.    Faktor-faktor ekonomi dan kelembagaan
Faktor yang terpenting adalah pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan diantara masyarakat. Fakta yang ada di Indonesia dalam gambar (4) Pertumbuhan ekonomi dan Pengangguran di Indonesia, tahun 1985-2005.
1.      Periode sebelum krisis
Laju pertumbuhan ekonomi sebelum masa krisis ekonomi tahun 1998 menunjukkan angka yang siginifikan dari tahun 1985-1987 dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi kurang lebih di atas 5 persen. Laju peningkatan pengangguran pada waktu tersebut tidak melebihi laju pertumbuhan ekonomi. Faktor yang mendukung membiknya penyerapan tenaga kerja seperti : kebijakan ketenagakerjaan (sistem pengupahan), job creation, serta karakteristik business cycle itu sendiri.
2.      Periode setelah krisis
Krisis ekonomi yang diawali dengan krisis moneter dan ditandai dengan runtuhnya nilai tukar rupiah US dollar memberikan efek domino yang serius terhadap aktivitas-aktivitas perekonomian Indonesia. Karakteristik business cycle pada kurun waktu tersebut memberikan efek yang negative bagi bertambahnya angka pengangguran. Laju peningkatan pengangguran lebih besar dari pada laju pertumbuhn ekonomi. Kondisi ini mengisyaratkan bahwa perekonomian tidak mampu menyerap tenaga kerja dengan baik sebagaimana yang terjadi pada saat sebelum krisis. Gambar(5) Distribusi Pendapatan Berdasarkan Gini Ratio Tahun 1996-2006 dapat dikatakan belum terdistribusi secara merata.
 
B.     Variabilitas lingkungan
Lingkungan merupakan salah satu variabel yang sangat mempengaruhhi proses produksi khususnya di bidang pertanian. Ketahanan masyarakat perdesaan juga sangat dipengaruhi oleh adanya variabilitas lingkungan itu sendiri. Fenomena-fenomena alam yang mengikuti siklus tertentu seperti adanya kekeringan, banjir menimbulkan resiko yang tidak kecil bagi keberlangsungan proses produksi khususnya di sektor pertanian. Gambar (6) Produktivitas Tanaman Padi tahun 1980-2005 menunjukkan perkembangan produktivitas pada di Indonesia. Memasuki tahun 90-an, produktivitas padi sudah menunjukkan gejala levelling off. Hal ini apabila tidak diantisipasi secara baik akan mempengaruhi ketersediaan pangan baik bagi masyarakat perdesaan maupun perkotaan.
C.    Perubahan Demografis
Indikator demografis digunakan untuk menunjukkan daya tahan masyarakat pedesaan adalah mobilitas yang tinggi daapt dimaknai dua hal sekaligus yaitu menunjukkan adanya ketidakstabilan masyarakat, dimana mereka berusaha untuk mencari peluang di tempat lain sebagai upaya untuk menghindari atau mengurangi resiko di tempat asal. Makna lainnya juga berarti bahwa masyarakat yang mobilitasnya tinggi/bermigrasi adalah sebagai upaya untuk meningkatkan stabilitas dan ketahanan. Oleh karena itu indicator perubahan demografis ini harus dilihat secara cermat tergantung dari tipe dan jenis migrasi.
 
 
 
 
 
 
Pentingnya Keterkaitan Perdesaan-Perkotaan di Indonesia
Description: http://3.bp.blogspot.com/__wKSIY9nq2Q/S7Wga7vkaFI/AAAAAAAABWU/1qU4b_9W_ac/s1600/tabelmasydesadankota.jpg
A.    Keterkaitan Perkotaan-Perdesaan
Perdebatan mengenai hubungan antara perdesaan-perkotaan  (pertanian-industri) menjadi hal yang mengemuka dalam teori ekonomi  pembangunan. Sebelum tahun 1960, teori-teori ekonomi pembangunan  dalam literatur-literatur pada umumnya memandang inferior peranan  sektor pertanian. Kenyataan ini sangat mengejutkan banyak pihak  mengingat begitu dominannya peranan sektor pertanian di hampir semua  negara berkembang pada saat itu. Pandangan inferior terhadap sektor  ini membuat sektor pertanian tidak berkembang sebagaimana mestinya,  dan keadaan seperti ini mengakibatkan adanya kekurangan produksi  pangan domestik yang tiada hentinya, yang diikuti dengan krisis  neraca pembayaran dan instabilitas politik di banyak negara
berkembang.
Ada beberapa faktor yang melandasi anggapan pengabaian sektor  pertanian (the neglect of agriculture).
1.      sebagian besar para  pengambil keputusan dan para pakar di bidang ekonomi pembangunan  berasal dari kaum elit kota dan mereka tidak begitu memahami  perbedaan sifat dan karakteristik sektor pertanian dengan sektor  industri dan jasa (Little 1982).
2.      Kedua, model-model pembangunan pada  waktu itu lebih memprioritaskan pentingnya akumulasi kapital yang  identik dengan pembangunan industri. Ketiga, ada persepsi kuat yang  memandang pertanian sebagai penyedia surplus tenaga kerja yang dapat  ditransfer ke sektor industri tanpa membutuhkan biaya transfer  (Lewis 1954).\
 Alasan terakhir, ada persepsi yang kuat bahwa dalam  proses pembangunan pertanian para petani tradisional sering dianggap  sangat terikat kepada nilai-nilai tradisi dan tidak responsif  terhadap insentif pasar. Alasan-alasan inilah yang mendasari adanya  sikap yang meremehkan potensi pembangunan sektor pertanian sebagai  sektor yang perlu diprioritaskan penanganannya.
Pandangan para pakar ekonomi pembangunan terhadap peranan sektor  pertanian berubah secara signifikan sejak awal tahun 1960-an.  Berdasarkan pengalaman empiris, para pakar ekonomi pembangunan  (antara lain Rostow, Kalecki, Schultz, dan Johnston dan Mellor, memperkenalkan model pembangunan yang menitik beratkan adanya  keterkaitan antara sektor pertanian and sektor industri.
Johnston  dan Mellor (1961) mengindentifikasikan 5 (lima) kontribusi sektor  pertanian dalam pembangunan ekonomi.
1.      sektor pertanian  menghasilkan pangan dan bahan baku untuk sektor industri dan jasa. Jika peningkatan pangan dapat dipenuhi secara domestik, peningkatan  suplai pangan ini dapat mendorong penurunan laju inflasi dan tingkat  upah tenaga kerja, yang pada akhirnya diyakini dapat lebih memacu  pertumbuhan ekonomi. Peningkatan kebutuhan pangan yang berasal dari  sumber-sumber domestik dapat menghemat devisa yang langka. Di  samping itu, banyak sektor industri di negara berkembang yang  kelangsungan hidupnya sangat tergantung kepada suplai bahan baku  yang berasal dari sektor pertanian.
 
2.      sektor pertanian dapat menghasilkan atau menghemat devisa  yang berasal dari ekspor atau produk substitusi impor. Perolehan  devisa dari ekspor pertanian dapat juga membantu negara berkembang  3 untuk membayar kebutuhan impor barang-barang kapital dan teknologi  untuk memodernisasikan dan memperluas sektor non-pertanian. Melalui  kontribusi ini, pembangunan sektor pertanian dapat memfasilitasi proses struktural transformasi.
 
3.      Ketiga, sektor pertanian merupakan pasar yang potensial bagi  produk-produk sektor industri. Sektor pertanian yang tumbuh dan  berkembang sehat dapat menstimulasi permintaan terhadap  produk-produk yang dihasilkan oleh sektor industri. Dalam hal ini,  sektor pertanian menawarkan potensi konsumsi atau permintaan yang  besar terhadap produk-produk sektor industri dan juga input-input  pertanian yang dihasilkan oleh sektor industri, seperti misalnya  pupuk, pestisida dan peralatan pertanian.
 
4.      Keempat, transfer surplus tenaga kerja dari sektor pertanian ke  sektor industri merupakan salah satu sumber pertumbuhan ekonomi.  Perekonomian yang tumbuh dengan cepat dapat menstimulasi terjadinya  pemindahan tenaga kerja dalam jumlah yang besar dan kontinyu dari sektor pertanian ke sektor industri yang umumnya berlokasi di daerah  perkotaan.
 
Akhirnya, sektor pertanian dapat menyediakan modal bagi  pengembangan sektor-sektor lain (a net outflow of capital for  investment in other sectors). Bagi negara-negara yang ingin  mengindustrialisasikan perekonomiannya, sektor pertanian dapat berfungsi sebagai sumber utama modal investasi. Oleh karena itu  industrialisasi yang berhasil memerlukan dukungan yang kuat dari surplus yang dihasilkan oleh sektor pertanian.
Banyak bukti empiris yang mendukung pentingnya keterkaitan yang kuat  antara sektor pertanian dan keseluruhan pertumbuhan ekonomi. Sebagai  misal, World Bank (1982) memperlihatkan korelasi positif yang kuat  antara pertumbuhan pertanian dan sektor industri. Bautista (1991)  juga memperlihatkan adanya keterkaitan yang kuat antara pertumbuhan  sektor pertanian dan sektor-sektor lainnya. Ia memperkirakan  elastisitas keterkaitan pertumbuhan antara sektor pertanian dan  sektor-sektor lainnya sebesar 1,3 untuk periode 1961-84 dan 1,4 untuk  periode 1973-84.
Hal ini berarti bahwa pertumbuhan 1 persen nilai  tambah di sektor pertanian akan menciptakan pertumbuhan nilai tambah  di sektor non-pertanian sebesar 1,3 dan 1,4 persen untuk  masing-masing periode studi yang disebutkan. Data terakhir dari  International Food Policy Research Institute (IFPRI) yang diolah  dari 42 negara menunjukkan bahwa peningkatan produksi pertanian  senilai US$ 1 menghasilkan peningkatan pertumbuhan kegiatan ekonomi  senilai US$ 2.32 (Clements 1999). Studi ini juga menunjukkan apabila  sektor pertanian tidak produktif, pertumbuhan ekonomi secara  keseluruhan pada suatu negara akan menurun pula.
Studi-studi yang dilakukan di Indonesia juga menunjukkan hasil yang  serupa. Uphoff (1999) memperlihatkan bahwa selama tiga dekade  kemajuan ekonomi yang cepat dan mengesankan sebelum masa krisis  ekonomi, sektor pertanian Indonesia yang dihela oleh kegiatan para  petani berskala kecil (smallholders) mampu mendukung pertumbuhan  4 ekonomi secara keseluruhan melalui keterkaitan ke belakang dan ke  depan (forward and backward linkages) yang kuat dan juga melalui  pertumbuhan permintaan yang diciptakan oleh sektor pertanian (demand creation from agriculture).
 Studi yang dilakukan oleh Daryanto dan Morison (1992) juga memperlihatkan hasil yang sama dengan studi yang dilakukan oleh  Uphoff tersebut. Mereka menemukan bahwa efek keterkaitan konsumsi  yang diinduksi oleh sektor pertanian menunjukkan pengaruh yang lebih  besar dibandingkan efek keterkaitan produksi terhadap pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Hal ini berarti bahwa sektor pertanian  di Indonesia yang kuat dan sehat akan menyediakan potensi konsumsi  yang besar dalam menyerap produk-produk yang dihasilkan oleh sektor  industri dan jasa. Dengan demikian dapat diartikan bahwa sektor pertanian mempunyai keterkaitan konsumsi yang besar dengan sektor-sektor lainnya.
Walaupun kebijaksanaan perekonomian di Indonesia lebih ramah  terhadap sektor industri pada periode sebelum krisis, ternyata  kinerja sektor pertanian Indonesia dibandingkan dengan kinerja sektor pertanian di negara-negara berkembang lainnya dinilai oleh Uphoff (1999) relative lebih baik. Bahkan ia memuji Indonesia sebagai negara yang berhasil mengimplementasikan model pembangunan pertanian Mellor dan Johnston. Keberhasilan pertanian di Indonesia antara lain karena didukung oleh intervensi pemerintah yang dominan.  Pemerintah melakukan intervensi pasar dengan kebijaksanaan harga,  tarif, pajak serta kebijaksanaan non-ekonomi baik secara langsung maupun tidak langsung.
Namun demikian, terlepas dari pujian yang diberikan oleh Uphoff tersebut, banyak pihak yang
berpendapat bahwa intensitas intervensi pemerintah dalam sektor pertanian tidak konsisten dan tidak cukup kuat mengatasi permasalahan disparitas pembangunan antar sektor dan antar daerah di Indonesia. Secara umum diperoleh kesan bahwa kebijakan Pemerintah lebih banyak memprioritaskan kepentingan pembangunan sektor industri. Sejalan dengan debat peranan sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi, model peranan perkotaan dalam literatur ekonomi pembangunan diawali dengan model pembangunan ekonomi Lewis (1954) yang menyakini bahwa pertumbuhan ekonomi dan modernisasi bisa mentransfer surplus  dari sektor pertanian ke sektor industri perkotaan, yang sekaligus pula akan terjadi transfer alokasi sumber-sumber perdesaan, tenaga kerja dan modal ke perkotaan dalam pembangunan nasional jangka panjang.
Preskripsi umum yang dikemukakan oleh Lewis adalah  kebijakan pembangunan harus memprioritaskan peranan sektor perkotaan. Pada akhir tahun 1950-an kemudian muncul sebuah ide baru dalam wacana perencanaan regional, dengan dibangunnya sebuah model core-periphery and spatial polarisation, dimana dari hasil pengamatan menunjukkan bahwa kebanyakan di negara-negara maju pertumbuhan ekonominya selalu datang dari pusat-pusat pertumbuhan  pada satu atau beberapa wilayah perkotaan (Douglas 1998). Dalam model tersebut terungkap bahwa pertumbuhan di beberapa wilayah inti perkotaan akan memberikan keuntungan kepada perkembangan rural-periphery.
 Setiap perkotaan akan mengatur wilayah-wilayah perdesaan untuk melayani kepentingan kota, sehingga mendatangkan arus perputaran modal, brain drain, dan transfer sumber-sumber daya dari pertumbuhan wilayah perdesaan. Kota-kota besar secara aktif mengeksploitasi wilayah-wilayah perdesaan, dimana sebenarnya kemiskinan di desa dan migrasi desa-kota tidak berasal dari isolasi perdesaan pada wilayah perkotaan, namun dari hubungan yang erat antara perkotaan dengan perdesaan. Lebih lanjut dikemukakan dalam model tersebut bahwa dari wilayah perdesaan sering terjadi transfer hasil panen atau sumber-sumber daya ekonomi yang berlebihan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar di perkotaan. Dari sini kemudian timbul teori ketergantungan.
Pada tahun 1970-an, muncul suatu pandangan baru dengan ide bahwa  perkotaan itu lebih dianggap sebagai penyebab dibandingkan sebagai solusi untuk permasalahan perdesaan, sehingga muncullah istilah baru yang disebut urban bias dalam pembangunan perdesaan. Dipersoalkan bahwa kemunduran dalam pembangunan perdesaan disebabkan karena wilayah perdesaan selalu kalah terhadap kekuatan-kekuatan politik, sosial dan ekonomi dari wilayah perkotaan. Perencana pembangunan lebih mengedepankan pembangunan perkotaan, sedangkan pembangunan perdesaan selalu diletakkan paling belakang.
 Mereka lebih mengintensifkan modal pembangunan untuk kemajuan perkotaan, sedangkan modal yang disertakan untuk perdesaan sangat rendah. Mereka mempunyai pandangan bahwa perdesaan itu hanyalah merupakan urban nodes dan transportation linkages yang kelihatan di atas peta topografi. Bagi mereka, dalam integrasi regional perkotaanlah yang merupakan kuncinya. Kebijakan-kebijakan mereka seperti ini secara tegas menunjukkan adanya urban bias.
Kemudian di sisi lain, perencana perdesaan cenderung selalu beranggapan bahwa perkotaan itu adalah sebuah parasit dan mahkluk asing dalam pembangunan perdesaan. Mereka selalu hati-hati terhadap perkotaan, dan jarang sekali unsur perkotaan dimasukkan dalam wacana perdesaan. Definisi wilayah perdesaan dalam pembangunan dianggap hanya agricultural plots, resources areas dan villages. Dari sini kelihatan bahwa mereka itu rural bias, yang sangat sedikit, bahkan tidak tertarik sama sekali untuk mengamati perkembangan perkotaan dalam framework perencanaan perdesaan.
Terlepas dari pertentangan antar pro dan kontra di atas, hal sekarang yang perlu diperhatikan adalah bagaimana membawa potensi-potensi pembangunan perkotaan dan perdesaan tersebut dalam proses perencanaan. Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus mengenal fungsi dan peranan perkotaan terhadap perdesaan yang akan menghasilkan hubungan saling ketergantungan, bukannya hubungan one-way urban-to-rural. Sepertinya keterkaitan perkotaan-perdesaan  saat ini harus dilihat sebagai mutually reinforcing.
Dari Tabel(1) Keterkaitan dan Interdepedensi Perkotaan dan Perdesaan (urban and rural linkages and interdepedencies). Terlihat bahwa dalam hubungan perkotaan-perdesaan, sumber utama pertumbuhan dari perkotaan ternyata datang dari kenaikan permintaan barang-barang non-agricultural pada rumah tangga perdesaan. Dalam hubungannya yang lain, tampak pula kesediaan sektor perkotaan sebagai konsumen komoditi pertanian mampu meningkatkan kesejahteraan di wilayah perdesaan dan menaikkan pendapatan riil, bukan hanya untuk sebagian petani, tetapi juga untuk seluruh rumah tangga perdesaan.
Pada Gambar (7) Rural regional development process: structures, flows, and policy interventions. Dan juga bisa melihat bagaimana keterkaitan perkotaan-perdesaan itu tampak dalam pembangunan regional. Berdasarkan gambar tersebut ada kesan saat ini bahwa perubahan struktur dan pembangunan perdesaan keduanya sangat terkait erat Dengan fungsi dan peranan perkotaan yang terjalin dalam set of flows antara wilayah perdesaan dan perkotaan. Pada Gambar 7 terlihat bhwa terdapat lima tipe arus kegiatan ekonomi yang bisa diidentifikasikan dalam gambar tersebut, yaitu: people, production, commodities, capital dan information. Masing-masing terlihat mempunyai komponen dan dampaknya tersendiri. Sebagai contoh, untuk commodities, mempunyai komponen-komponen yang terdiri dari production inputs, marketed rural products, dan consumers non-durable/durable, yang kemudian melalui commodities ini akan terjalin hubungan yang erat antara perkotaan dengan perdesaan. Proses pembangunan perdesaan semacam ini, yang mengandalkan sinergi aliran keterkaitan perdesaan dan perkotaan, sejalan dengan konsep pembangunan pertanian yang disebut sebagai Agricultural Demand Led-Industrialization (ADLI). Studi yang dilakukan oleh Daryanto (2000) memperlihatkan bahwa strategi ADLI mempunyai potensi yang dapat diandalkan untuk memulihkan perekonomian Indonesia dari krisis ekonomi yang terjadi
 
Antara Gambar 1 dan Gambar 2 tampak jelas ada satu kesamaan yang sangat mendasar sekali untuk diungkapkan yaitu keterkaitan perkotaan-perdesaan selalu membutuhkan pemerintah, dalam kedua gambar tersebut ditunjukkan pada komponen intervensi. Peran pemerintah disini memang tidak bisa dilepas, karena pemerintah bersama swasta dan masyarakat sudah langsung melekat sebagai aktor dari sistem kota-desa. Sehingga dinamika sistem perkotaan-perdesaan yang pada akhirnya bisa menimbulkan masalah perkotaan merupakan masalah bersama bagi aktor-aktor pembangunan perkotaan tersebut.
 
 
 
 
 
 
Sumber Referensi :
Menuju Desa 2030, Daryanto, Arief. Nunryantono, Nunung. Penguatan Ketahanan Masyarakat Desa (Community Resilience) Dalam Pembangunan Sosial Ekonomi Desa
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini