Teori Max Weber
1. Teori Kapitalisme.
Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme
Max Weber hidup tatkala Eropa Barat sedang menjurus ke arah pertumbuhan kapitalisme modern. Situasi demikian mendorong Weber untuk mencari sebab – sebab hubungan antara tingkah laku agama dan ekonomi, terutama pada masyarakat Eropa Barat yang mayorias beragama protestan. Titik perhatian Weber sesungguhnya sudah menjadi perhatian Karl Marx, di mana pertumbuhan kapitalisme modern pada saat itu telah menimbulkan kegoncangan – kegoncangan hebat di lapangan kehidupan sosial masyarakat Eropa Barat. Marx dalam persoalan ini mengkhususkan perhatiannya pada system produksi dan perkembangan teknologi, yang menurut beliau akibat perkembangan sedemikian itu telah menimbulkan dua kelas masyarakat. Dua kelas dalam masyarakat tersebut yaitu kelas yang terdiri dari sejumlah kecil orang – orang yang memiliki modal dan menguasai alat – alat produksi, dan kelas yang terdiri dari orang – orang yang tidak memiliki modal atau alat – alat produksi. Golongan pertama yang dinamakan kaum borjuis secaa terus menerus berusaha untuk memperoleh untung yang lebih besar untuk mengembangkan modal yang sudah mereka miliki. Weber tidak berselisih dengan pendapat Marx dalam hal ini, terutama tentang ciri – ciri yang menandai tumbuhnya kapitalisme modern itu.
Adapun karakteristik Spirit Kapitalisme modern menurut Weber adalah sebagai berikut.
1. Adanya usaha-usaha ekonomi yang diorganisir dan dikelola secara rasional di atas landasan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan dan berkembangnya pemilikan/kekayaan pribadi.
2. Berkembangnya produksi untuk pasar.
3. Produks untuk massa dan melalui massa.
4. Produksi untuk uang.
5. Adanya anthusiasme, etos dan efisiensi maksimal yang menuntut pengabdian manusia kepada panggilan kerja.
Kerja merupakan suatu tujuan pribadi dari setiap orang, kerja tidak dipandang sebagai kegiatan yang insidental melainkan sebagai sesuatu yang melekat di dalam eksistensi hidup manusia. Masyarakat kapitalis memandang manusia terutama sebagai pekerja dan tidak peduli apapun yang menjadi pekerjaan mereka. Inilah yang disebut dengan vocational ethics yang merupakan tingkah laku yang menonjol dari Spirit Kapitalisme modern. Mereka yang miskin vocational ethicsnya akan runtuh, dan mereka memiliki vocational ethics akan dengan baik meningkatkan prestasi hidupnya.
Selain faktor di atas, ada beberapa elemen dari ekonomi kapitalis, yakni sebagai berikut.
1. Di satu pihak berkembang rasionalisme, utilitarianisme, rangsangan untuk berinisiatif dan menemukan hal – hal baru melalui berbagai sarana yang mungkin, dan di lain pihak ;
2. Terjadinya reduksi (penyusutan atau penyederhaan besar – besaran daripada tradisionalisme di dalam hal yang dipandang tidak efisien, kuno dn bersifat takhayul, irrasional dan segala sesuatu yang tidak sempurna dipandang dari sudut metoda – metoda rasional.
Keseluruhan elemen di atas merupakan tipe ideal dari karakteristik kapitalisme modern. Selanjutnya elemen – elemen tersebut masuk dalam masyarakat kapitalis dalam berbagai bentuk dan kondisi sebagai berikut.
1. Rational capital accounting and bussines management (perhitungan modal dan pengelolaan usaha secara rasional).
2. Appropriation of all means of production (pengerahan segala sarana produksi secara tepat guna).
3. Rational technique of production (penggunaan teknik – teknik produksi rasional).
4. Rational law (hukum rasional).
5. Free labor (adanya tenaga kerja yang bebas)
6. Commerzialization and marketing of the products of labor (komersialisasi serta pemasaran hasil – hasil produksi dan tenaga kerja).
Untuk mewujudkan kondisi di atas dan menjadi seorang kapitalis, seseorang harus memiliki karakteristik psikologis tertentu. Karakter ini sebagaimana yang tercermin dari unkapan – ungapan seperti: Time is Money, Credit is Money; Money grows Money; dan Honesty is the best policy. Dalam hal ini Weber berpendapat bahwa kapitalisme modern adalah kapitalisme yang bersumber dari agama protestan. Spirit kapitalisme modern adalah Protetanisme, yaitu merupakan aturan – aturan agama protestan tentang watak dan perilaku penganut – penganutnya dalam kehidupan sehari – hari.
Dalam catatannya, Weber menyatakan bahwa sebelum kapitalisme modern lahir, telah lahir etika protestan. Adanya etika protestan menumbuhkan spirit kaptalisme sehingga lahir dan berkembanglah kapitalisme dalam kehidupan sehari – hari penganut protestan.
Weber megajukan pembuktian secara analitis melalui penelitian yang mendalam terhadap ajaran – ajaran protestan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa spirit protestan dalam etika praktis sehari – hari identik dengan spirit kapitalisme modern. Menurut Weber, etika protestan mewujudkan diri sebagai suatu pengertian tertentu tentang Tuhan, di mana Tuhan dianggap sebagai Yang Maha Esa, maha Pencipta, dan Penguasa dunia. Tuhan menentukan akhir kehidupan manusia. Dengan kata lain sebelum manusia lahir Tuhan telah menetapkan apakah manusia itu akan dikutuk atau dibebaskan.
Oleh karena itu tidak ada gunanya manusia membujuk Tuhan. Tuhan menciptakan alam dan manusia untuk kemegahan Tuhan sendiri. Manusia berkewajiban untuk bekerja bagi kemegahan Tuhan dan menciptakan kerajaan Tuhan di dunia. Pembebasan manusia hanya melalui anugerah Tuhan.
Adanya konsepsi mengenai Tuhan yang demikian membuat penganut protestan menganggap bahwa kesenangan adalah sesuatu yang tidak baik. Untuk mengagungkan Tuhan orang harus berhemat. Semangat protestan demikian menurut Max Weber identik dengan spirit kapitalisme modern. Spirit kapitalisme modern pada dasarnya menganggap bahwa bekerja keras adalah suatu panggilan suci bagi kehidupan manusia. Dunia harus dipelajari secara ilmiah, rasional, hal ini terjadi karena Tuhan tidak dapat dibujuk untuk mengubah nasib manusia. Spirit proestan juga menganut paham bahwa membuat atau mencari uang dengan jujur merupakan aktivitas yang tidak berdosa.
Demikian di atas pembuktian pertama analisis Weber mengenai keidentikan spirit kapitalisme dengan spirit protestan.
Pembuktian kedua dilakukan Weber melalui angka – angka statistik hasil penelitiannya. Weber menunjukkanbahwa sejak zaman reformasi, negara – negara yang mayoritas menganut agama protestan ekonominya lebih maju. Dia menunjuk beberapa Negara seperti Belanda, Inggris dan Amerika. Sementara Negara yang mauoritas menganut agama non-protestan pada umumnya ketinggalan dalam perkembangan ekonominya. Dengan demikian ia simpulkan bahwa etika ekonomi protestan telah mendidik penganutnya menjadi seorang kapitalis.
Pembuktian ketiga menggunakan hipotesa yang diajukan oleh Weber yang juga menggunakan angka – angka statistik yang dilakukan di Jerman. Menururtnya, di negeri Jerman penduduk yang menganut ajaran protestan lebih kaya dibandingkan dengan penduduk yang menganut ajaran non-protestan. Selanjutnya, anak – anak yang beragama protestan menunjukkan keberhasilan dalam bersekolah dagang dibandingkan dengan anak – anak yang beragama non-protestan.
Demikian Weber secara bertahap membuktikan bahwa setiap sekte dalam protestan memiliki kecenderungan yang sama dalam menunjang kehadiran kapitalisme modern. Adanya pembuktian tersebut membuat Weber meyakini bahwa spirit kapitalisme memang lahir dari etik protestan.
2. Teori Tindakan Sosial
Weber melihat sosiologi sebagai sebuah studi tentang tindakan sosial antar hubungan sosial; dan itulah yang dimaksudkan dengan pengertian paradigma definisi atau ilmu sosial itu (Ritzer 1975). Tindakan manusia dianggap sebagai sebuah bentuk tindakan sosial manakala tindakan itu ditujukan pada orang lain.
Tindakan sosial menurut Max Weber adalah suatu tindakan individu sepanjang tindakan itu mempunyai makna atau arti subjektif bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain (Weber dalam Ritzer 1975). Suatu tindakan individu yang diarahkan kepada benda mati tidak masuk dalam kategori tindakan sosial. Suatu tindakan akan dikatakan sebagai tindakan social ketika tindakan tersebut benar-benar diarahkan kepada orang lain (individu lainnya). Meski tak jarang tindakan sosial dapat berupa tindakan yang bersifat membatin atau bersifat subjektif yang mungkin terjadi karena pengaruh positif dari situasi tertentu. Bahkan terkadang tindakan dapat berulang kembali dengan sengaja sebagai akibat dari pengaruh situasi yang serupa atau berupa persetujuan secara pasif dalam situasi tertentu (Weber dalam Turner 2000).
Ciri-ciri tindakan sosial
Ada 5 ciri pokok Tindakan sosial menurut Max Weber sebagai berikut:
1. Jika tindakan manusia itu menurut aktornya mengandung makna subjektif dan hal ini bisa meliputi berbagai tindakan nyata
2. Tindakan nyata itu bisa bersifat membatin sepenuhnya
3. Tindakan itu bisa berasal dari akibat pengaruh positif atas suatu situasi, tindakan yang sengaja diulang, atau tindakan dalam bentuk persetujuan secara diam-diam dari pihak mana pun
4. Tindakan itu diarahkan kepada seseorang atau kepada beberapa individu
5. Tindakan itu memperhatikan tindakan orang lain dan terarah kepada orang lain itu.
Selain kelima ciri pokok tersebut, menurut Weber tindakan sosial dapat pula dibedakan dari sudut waktu sehingga ada tindakan yang diarahkan kepada waktu sekarang, waktu lalu, atau waktu yang akan datang. Sasaran suatu tindakan social bisa individu tetapi juga bisa kelompok atau sekumpulan orang. Campbell (1981).
Tipe tindakan sosial
Weber membedakan tindakan sosial manusia ke dalam empat tipe yaitu:
1. Tindakan rasionalitas instrumental (Zwerk Rational)
Tindakan ini merupakan suatu tindakan sosial yang dilakukan seseorang didasarkan atas pertimbangan dan pilihan sadar yang berhubungan dengan tujuan tindakan itu dan ketersediaan alat yang dipergunakan untuk mencapainya. Contohnya : Seorang siswa yang sering terlambat dikarenakan tidak memiliki alat transportasi, akhirnya ia membeli sepeda motor agar ia datang kesekolah lebih awal dan tidak terlambat. Tindakan ini telah dipertimbangkan dengan matang agar ia mencapai tujuan tertentu. Dengan perkataan lain menilai dan menentukan tujuan itu dan bisa saja tindakan itu dijadikan sebagai cara untuk mencapai tujuan lain.
2. Tindakan rasional nilai (Werk Rational)
Sedangkan tindakan rasional nilai memiliki sifat bahwa alat-alat yang ada hanya merupakan pertimbangan dan perhitungan yang sadar, sementara tujuan-tujuannya sudah ada di dalam hubungannya dengan nilai-nilai individu yang bersifat absolut. Contoh : perilaku beribadah atau seseorang mendahulukan orang yang lebih tua ketika antri sembako. Artinya, tindakan sosial ini telah dipertimbangkan terlebih dahulu karena mendahulukan nilai-nilai sosial maupun nilai agama yang ia miliki.
3. Tindakan afektif/Tindakan yang dipengaruhi emosi (Affectual Action)
Tipe tindakan sosial ini lebih didominasi perasaan atau emosi tanpa refleksi intelektual atau perencanaan sadar. Tindakan afektif sifatnya spontan, tidak rasional, dan merupakan ekspresi emosional dari individu. Contohnya: hubungan kasih sayang antara dua remaja yang sedang jatuh cinta atau sedang dimabuk asmara.Tindakan ini biasanya terjadi atas rangsangan dari luar yang bersifat otomatis sehingga bias berarti
4. Tindakan tradisional/Tindakan karena kebiasaan (Traditional Action)
Dalam tindakan jenis ini, seseorang memperlihatkan perilaku tertentu karena kebiasaan yang diperoleh dari nenek moyang, tanpa refleksi yang sadar atau perencanaan. Tindakan pulang kampong disaat lebaran atau Idul Fitri.
Menurutnya bahwa keempat tindakan tersebut sulit diwujudkan dalam kenyataan, namun apapun wujudnya hanya dapat dimengerti menurut arti subjektif dan pola-pola motivasional yang berkaitan dengan itu. Sebuah interaksi sosial akan kacau bilamana antara pihak-pihak yang berinteraksi tidak saling memahami motivasi dan makna tindakan sosial yang mereka lakukan.
3. Teori Kharisma
Ada kecenderungan khusus yang perlu diteliti lebih mendalam kaitannya dengan persoalan-persoalan sosial di masyarakat, baik itu menyangkut dunia politik, ekonomi, maupun agama. salah satu hal penting yang patut untuk diulas leibh mendalam lagi yakni persoalan kepemimpinan karismatik (charismatic leadership) yang merupakan cenderung terhadap konsep politik. Hal ini penting mengingat peran dunia politik merupakan suatu aturan permainan yang bermain dalam ranah kekuasan dan hal itu cukup menjadi hal yang kompetitif dalam masyarakat ketika sudah menyangkut persoalan kekuasaan. Kepemimpinan kharismatik menjadi salah satu faktor khusus yang perlu dipertimbangkan dalam suatu pemetaan akan seorang pemimpin yang nantinya akan memiliki legalitas-otoritas untuk menentukan suatu kebijakan.
Teori kepemimpinan karismatik saat ini sangatlah dipengaruhi oleh ide-ide ahli sosial yang bernama Max Weber. Karisma adalah kata dalam bahasa Yunani yang berarti "berkat yang terinspirasi secara agung atau dengan bahasa lain yakni anugerah", atau dalam bahasa Kristen yakni rahmat (grace), seperti kemampuan untuk melakukan keajaiban atau memprediksikan peristiwa masa depan, sehingga melahirkan suatu perubahan yang radikal. Konsep kharismatik (charismatic) atau kharisma (charisma) menurut Weber lebih ditekankan kepada kemampuan pemimpin yang memiliki kekuatan luarbiasa dan mistis. Menurutnya, ada lima faktor yang muncul bersamaan dengan kekuasaan yang kharismatik, yaitu : Adanya seseorang yang memiliki bakat yang luarbiasa, adanya krisis sosial, adanya sejumlah ide yang radikal untuk memecahkan krisis tersebut, adanya sejumlah pengikut yang percaya bahwa seseorang itu memiliki kemampuan luarbiasa yang bersifat transendental dan supranatural, serta adanya bukti yang berulang bahwa apa yang dilakukan itu mengalami kesuksesan.
Melihat definisi di atas, Weber menggunakan istilah itu untuk menjelaskan sebuah bentuk pengaruh yang bukan didasarkan pada tradisi atau otoritas formal tetapi lebih atas persepsi pengikut bahwa pemimpin diberkati dengan kualitas yang luar biasa. Sebab Menurut Weber, kharisma terjadi saat terdapat sebuah krisis sosial, seorang pemimpin muncul dengan sebuah visi radikal yang menawarkan sebuah solusi untuk krisis itu, pemimpin menarik pengikut yang percaya pada visi itu, mereka mengalami beberapa keberhasilan yang membuat visi itu terlihat dapat dicapai, dan para pengikut dapat mempercayai bahwa pemimpin itu sebagai orang yang luar biasa.
Seorang yang berkharisma merupakan orang yang menciptakan suatu perubahan eksistensial. Namun terkadang, hal itu dianggap sebagai suatu pembaharuan terhadap adat, atau melahirkan perpecahan dunia. Asumsi lain tentang pemimpin kharismatik adalah orang yang dianggap dan dipersepsikan negatif, karena mengadakan keretakan (breakthrough), yang dilatar belkangi oleh sikapnya yang memperlihatkan suatu bentuk kemerdekaan yang baru dan mau tidak mau akan menuntut sebuah ketaatan yang baru juga, antara seorang pemimpin dengan pengikut.
Tipe kharismatik merupakan salah satu dari tiga tipe yang dikemukakan oleh Weber sebagai postulat ideal dalam memandang peranan pemimpin-pemimpin keagamaan terhadap pola sosial di masyarakat. Apakah mereka juga masuk dalam tipe yang dirumuskan oleh Weber dalam konsep kharismatik, atau malah tidak. Sebenarnya Weber menjadikan tipe otoritas atau sistem kepercayaan yang mengabsahkan hubungan -hubungan dalam masyarakat menjadi tiga, yaitu dominasi hukum (legal-rasional), tradisional (estabilished), dan kharismatik (pemimpin). Kekuasaan tradisional atas dasar suatu kepercayaan yang telah ada (estabilished) pada kesucian tradisi kuno. Kekuasaan yang rasional atau berdasarkan hukum (legal) adalah kekuasaan yang didasarkan atas kepercayaan terhadap legalitas peraturan-peraturan dan hak bagi mereka yang memegang kedudukan, yang berkuasa berdasarkan peraturan-peraturan untuk mengeluarkan perintah. Kekuasaan tradisional atas dasar suatu kepercayaan yang telah ada (estabilished) pada kesucian tradisi kuno. Dengan kata lain yakni bentuk kepercayaan terhadap legalitas praktek-praktek yang telah disucikan dan dibakukan. Sedangkan Kekuasaan kharismatik merupakan dominasi atau otoritas yang didapatkan atas pengabdian diri atas kesucian, sifat kepahlawanan atau yang patut diteladani dan dari ketertiban atas kekuasaannya.
Perbedaan mendasar antara tipe tradisional dan hukum dengan kharisma yaitu terletak pada sifatnya. Tradisional dan hukum merupakan bentuk relasi yang stabil dan terus menerus, sedangkan kharisma murni berusia pendek. Menskipun demikian, seorang pemimpin yang berkharisma, itu juga dapat dan bisa mewarisi ke-kharismaan-nya kepada orang lain atau istilah Weber rutinisasi kharisma.
4. Teori Verstehen
Teori sosiologi interpretatif berpandangan bahwa dunia sosial berbeda dengan dunia alam harus dimengerti sebagai suatu penyelesaian secara terlatih dari manusia sebagai subyek yang aktif dan pembentukan dunia ini sebagai suatu yang mempunyai makna, dapa diperhitungkan atau dimengerti dengan jelas. Menurut Max Weber, sosiologi adalah ilmu yang berhubungan dengan pemahaman interpretatif, dimaksudkan agar dalam menganalisis dan mendeskripsikan masyarakat tidak sekedar yang tampak saja melainkan dibutuhkan interpretasi agar penjelasan tentang individu dan masyarakat tidak keliru. Weber merasa bahwa sosiolog memiliki kelebihan daripada ilmuwan alam. Kelebihan tersebut terletak pada kemampuan sosiolog untuk memahami fenomena sosial, sementara ilmuwan alam tidak dapat memperoleh pemahaman serupa tentang perilaku atom dan ikatan kimia.
Kata pemahaman dalam bahasa Jerman adalah verstehen. Pemakaian istilah ini secara khusus oleh Weber dalam penelitian historis adalah sumbangan yang paling banyak dikenal dan paling controversial, terhadap metodologi sosiologi kontemporer. Ketika kita mengerti apa yang dimaksud Weber dengan kata verstehen, kita pun menggarisbawahi beberapa masalah dalam menafsirkan maksud Weber, muncul dari masalah umum dalam pemikiran metodologis Weber. Seperti dikemukakan Thomas Burger, Weber tidak utuh dan konsisten dengan pernyataan metodologisnya. Ia cenderung gegabah dan tidak tepat sasaran karena merasa bahwa ia sekedar mengulangi gagasan-gagasannya yang pada zamannya terkenal dikalangan sejarawan Jerman. Terlebih lagi, seperti ditegaskan diatas, Weber tidak terlalu memikirkan refleksi metodologis.
Pemikiran Weber tentang verstehen lebih sering ditemukan di kalangan sejarawan Jerman pada zamannya dan berasal dari bidang yang dikenal dengan hermeneutika. Hermeneutika adalah pendekatan khusus terhadap pemahaman dan penafsiran tulisan-tulisan yang dipublikasikan. Tujuannya adalah memahami pemikiran pengarang maupun struktur dasar teks. Weber dan lainnya berusaha memperluas gagasannya dari pemahaman teks kepada pemahaman kehidupan sosial: memahami aktor, interaksi dan seluruh sejarah manusia. Satu kesalahpahaman yang sering terjadi menyangkut konsep verstehen adalah bahwa dia dipahami sekedar sebagai penggunaan intuisi, irasional dan subyektif. Namun secara kategoris Weber menolak gagasan bahwa verstehen hanya melibatkan intuisi, keterlibatan berdasarkan simpati atau empati. Baginya, verstehen melibatkan penelitian sitematis dan ketat, dan bukannya hanya sekedar merasakan teks atau fenomena sosial. Dengan kata lain, bagi Weber, verstehen adalah prosedur studi yang rasional. Sejumlah orang menafsirkan verstehen, pernyataan-pernyataan Weber, tampaknya terbukti kuat dari sisi penafsiran level individu terhadap verstehen. Namun sejumlah orang juga menafsirkan bahwa verstehen yang dinyatakan oleh Weber adalah sebagai teknik yang bertujuan untuk memahami kebudayaan. Seiring dengan hal tersebut, W.G. Runciman (1972) dan Murray Weax (1976) melibatkan verstehen sebagai alat untuk mempelajari kebudayaan dan bahasa tertentu.
Max Weber juga memasukkan problem pemahaman dalam pendekatan sosiologisnya, yang sebagaimana cenderung ia tekankan adalah salah satu tipe sosiologis dari sekian kemungkinan lain. Karena itulah ia menyebutkan perspektifnya sebagai sosiologi interpretatif atau pemahaman. Menjadi ciri khas rasional dan positivisnya bahwa ia mentransformasikan konsep tentang pemahaman. Meski begitu, baginya pemahaman tetap merupakan sebuah pendekatan unik terhadap moral dan ilmu-ilmu budaya, yang lebih berurusan dengan manusia ketimbang dengan binatang lainnya atau kehidupan non hayati. Manusia bisa memahami atau berusaha memahami niatnyasendiri melalui instropeksi, dan ia bisa menginterpretasikan perbuatan orang lain sehubungan dengan niatan yang mereka akui atau diduga mereka punyai.
Refleksi metodologis Weber jelas berhutang pada filsafat pencerahan. Titik tolak dan unik, analisis paling utamanya adalah sosok individual. Sosiologi interpretatif memandang individu dan tindakannya sebagai satuan dasar, sebagai "atomnya" sekiranya perbandingan yang diperdebatkan bisa diterima. Dalam pendekatan ini individu juga dipandang sebagia batas teratas dan pembawa tingkah laku yang bermakna. Weber memilah berbagai "tipe" aneka tindakan bermotivasi. Tindakan-tindakan yang tercakup dalam sikap kelaziman rasional ia nilai secara khas sebagi tipe yang paling bisa dipahami dan perbuatan "manusia ekonomis" adalah contoh utamanya. Tindakan-tindakan yang kurang rasional ooleh Weber digolongkan, kaitannya dengan pencarian tujuan-tujuan absolute, sebagai berasal dari sentiment berpengaruh dalam (affectual sentiments) atau sebagai "tradisional". Karena tujuan absolute dipandang oleh sosiolog sebagai data yang "terberi" (given) maka sebuah tindakan bisa menjadi rasional dengan mengacu pada sarana yang digunakan, tetapi irasional jika dikaitkan dengan tujuan yang hendak dicapai.
Tindakan afektual, yang murni berasal dari sentiment, adalah tipe perbuatan yang kurang rasional. Dan akhirnya, mendekati level "instinctual" adalah perbuatan "tradisional" : tidak reflektif dan bersifat kebiasaan, tipe ini dikeramatkan karena "selalu dilakukan" dan itu dipandang tepat. Tipe-tipe tindakan ini dibentuk secara operasional kaitannya dengan sebuah skala rasionalitas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar