Nama : Edi Firdiansyah
Kelas : KesSos II (A)
Teori pemahaman “Verstehen”, teori ini menekankan pada tingkah laku yang menurut Webber perbuatan si pelaku memiliki arti subyektif, kehendak mencapai tujuan, serta di dorong motivasi.
Verstehen merupakan salah satu kelebihan sosiologi dibandingkan ilmu lain, pemahaman yang dilakukan sosiolog untuk memahami kondisi masyarakat tidak dapat digunakan untuk mengamati atom atau molekul-molekul. Konsep Verstehen bukan berarti suatu intusi yang dapat digunakan para peneliti sebagai metodologi riset yang lunak. Bagi Webber Verstehen merupakan metodologi riset yang rasional.
Verstehen sering di temukan dalam kalangan sejarawan jerman dalam bidang hermeneutika, yaitu pendekatan khusus terhadap penafsiran tulisan-tulisan atau teks. Sedangkan Webber mengembangkan gagasannya menyangkut kepada kehidupan sosial seperti memahami aktor, interaksi, dan seluruh sejarah manusia.
Teori Verstehen masih sangat relevan untuk digunakan dalam penelitian sosiologi hingga saat ini. Perubahan sosial yang dinamis dalam perkembangan masyarakat harus selalu diperbaharui dengan pengamatan dan pemahaman. Satu titik simpul yang membuat perubahan bukan hanya dari sudut pandang dimana kebanyakan orang melihatnya. Tetapi dari sudut pandang berbeda yang dapat kita kaji melalui penjelasan fakta tanpa mempersoalkan baik buruknya fakta yang terjadi (non-etis).
Sosiolog harus memiliki pndangan berbeda mengenai keadaan yang ada di lapangan. Misalnya pada kasus maraknya anak jalanan, seseorang melihat mereka adalah anak orang tidak mampu yang dipekerjakan oleh orangtua mereka untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Dengan pemahaman kita mencoba melihat dari sisi sosial yang terjadi di masyarkat dimana dia dilahirkan, serta bagaimana keadaan keluarganya. Tidak semua anak jalanan tersebut merupakan anak dari keluarga tidak mampu.
Jika kita melihat megahnya piramida di mesir atau betapa indahnya candi borobudur. Betapa kita mengagungkan karya arsitektur yang dasyat pada saat itu. Pernahkah kita berfikir bagaimana keadaan masyarakat pada waktu piramida atau candi tersebut dibangun. Bagaimana pula kisah para pekerja rodi saat itu?
SOSIAL MENURUT MAX WEBER. dalam Masyarakat Multikultural
Tindakan sosial menurut Max Weber adalah suatu tindakan individu sepanjang tindakan itu mempunyai makna atau arti subjektif bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain (Weber dalam Ritzer 1975). Suatu tindakan individu yang diarahkan kepada benda mati tidak masuk dalam kategori tindakan sosial. Suatu tindakan akan dikatakan sebagai tindakan social ketika tindakan tersebut benar-benar diarahkan kepada orang lain (individu lainnya). Meski tak jarang tindakan sosial dapat berupa tindakan yang bersifat membatin atau bersifat subjektif yang mungkin terjadi karena pengaruh positif dari situasi tertentu. Bahkan terkadang tindakan dapat berulang kembali dengan sengaja sebagai akibat dari pengaruh situasi yang serupa atau berupa persetujuan secara pasif dalam situasi tertentu (Weber dalam Turner 2000).
Ciri-ciri tindakan sosial
Ada 5 ciri pokok Tindakan sosial menurut Max Weber sebagai berikut:
1. Jika tindakan manusia itu menurut aktornya mengandung makna subjektif dan hal ini bisa meliputi berbagai tindakan nyata
2. Tindakan nyata itu bisa bersifat membatin sepenuhnya
3. Tindakan itu bisa berasal dari akibat pengaruh positif atas suatu situasi, tindakan yang sengaja diulang, atau tindakan dalam bentuk persetujuan secara diam-diam dari pihak mana pun
4. Tindakan itu diarahkan kepada seseorang atau kepada beberapa individu
5. Tindakan itu memperhatikan tindakan orang lain dan terarah kepada orang lain itu.
Selain kelima ciri pokok tersebut, menurut Weber tindakan sosial dapat pula dibedakan dari sudut waktu sehingga ada tindakan yang diarahkan kepada waktu sekarang, waktu lalu, atau waktu yang akan datang. Sasaran suatu tindakan social bisa individu tetapi juga bisa kelompok atau sekumpulan orang. Campbell (1981).
Tipe tindakan sosial
Weber membedakan tindakan sosial manusia ke dalam empat tipe yaitu:
1. Tindakan rasionalitas instrumental (Zwerk Rational)
Tindakan ini merupakan suatu tindakan sosial yang dilakukan seseorang didasarkan atas pertimbangan dan pilihan sadar yang berhubungan dengan tujuan tindakan itu dan ketersediaan alat yang dipergunakan untuk mencapainya. Contohnya : Seorang siswa yang sering terlambat dikarenakan tidak memiliki alat transportasi, akhirnya ia membeli sepeda motor agar ia datang kesekolah lebih awal dan tidak terlambat. Tindakan ini telah dipertimbangkan dengan matang agar ia mencapai tujuan tertentu. Dengan perkataan lain menilai dan menentukan tujuan itu dan bisa saja tindakan itu dijadikan sebagai cara untuk mencapai tujuan lain.
2. Tindakan rasional nilai (Werk Rational)
Sedangkan tindakan rasional nilai memiliki sifat bahwa alat-alat yang ada hanya merupakan pertimbangan dan perhitungan yang sadar, sementara tujuan-tujuannya sudah ada di dalam hubungannya dengan nilai-nilai individu yang bersifat absolut. Contoh : perilaku beribadah atau seseorang mendahulukan orang yang lebih tua ketika antri sembako. Artinya, tindakan sosial ini telah dipertimbangkan terlebih dahulu karena mendahulukan nilai-nilai sosial maupun nilai agama yang ia miliki.
3. Tindakan afektif/Tindakan yang dipengaruhi emosi (Affectual Action)
Tipe tindakan sosial ini lebih didominasi perasaan atau emosi tanpa refleksi intelektual atau perencanaan sadar. Tindakan afektif sifatnya spontan, tidak rasional, dan merupakan ekspresi emosional dari individu. Contohnya: hubungan kasih sayang antara dua remaja yang sedang jatuh cinta atau sedang dimabuk asmara.Tindakan ini biasanya terjadi atas rangsangan dari luar yang bersifat otomatis sehingga bias berarti
4. Tindakan tradisional/Tindakan karena kebiasaan (Traditional Action)
Dalam tindakan jenis ini, seseorang memperlihatkan perilaku tertentu karena kebiasaan yang diperoleh dari nenek moyang, tanpa refleksi yang sadar atau perencanaan. Tindakan pulang kampong disaat lebaran atau Idul Fitri.
Pemikiran Max Weber dalam The Protestan Ethic and The Spirit of Capitalism berangkat dari satu pertanyaan dasar: Kenapa kapitalisme lahir dan berkembang di Barat dan bukan di wilayah lain di dunia?
Dalam karyanya yang terkemuka tersebut, Weber memaparkan bagaimana agama Protestan mendorong lahir dan berkembangnya kapitalisme. Namun, harus dipahami bahwa pengaruh agama Protestan hanya satu bagian saja dari keseluruhan pemikiran Weber yang menjelaskan kenapa kapitalisme lahir dan berkembang di barat. Agama hanyalah satu faktor, disamping faktor lain yang juga penting yakni rasionalisasi intitusi.
Randall Collins dalam tulisannya Weber’s Last Theory of Capitalism menyebut bahwa teori Weber tentang kapitalisme merupakan teori yang paling memukau dibanding teori-teori lain yang menjelaskan kapitalisme (Sociology of Economic Life: 87). Anthony Giddens dalam pengantar untuk edisi Inggris The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism mengatakan pemikiran Weber dalam buku tersebut adalah salah satu sumbangan terbesar dalam ilmu sosial modern.
Weber mendefinisikan kapitalisme sebagai upaya manusia untuk mendapatkan keuntungan melakukan kegiatan-kegiatan usaha yang dikelola secara pribadi. Meski demikian, kegiatan usaha yang dimaksud bukanlah sekedar perdagangan dan pertukaran barang yang sudah ada sejak dahulu di masyarakat manapun. Menurut Weber, kapitalisme harus mengandung aspek kunci, yakni rasionalisasi. Sistem kapitalisme yang rasional menurut Weber adalah sistem yang menggunakan penghitungan akuntansi, yaitu sistem yang menghitung pengeluaran dan pemasukan dengan sistem penghitungan berdasarkan tata pembukuan modern (Sociology of Economic Life: 92 – 93).
Kapitalisme yang rasional harus mengandung beberapa komponen. Pertama adalam sistem penghitungan pengeluaran dan pemasukan berdasarkan pembukuan yang modern. Kedua, tenaga kerja yang bebas dan bisa berpindah dari satu tempat kerja ke tempat kerja lainnya. Ketiga adalah adanya pengakuan pada hak milik pribadi. Keempat, pasar perdagangan tidak dibatasi oleh aturan-aturan yang tidak rasional. Dan terakhir adalah adanya hukum yang mengikat anggota masyarakat. Weber juga memasukkan teknologi sebagai komponen kapitalisme. Sebab hanya dengan teknologi produksi skala besar bisa dihasilkan. (hal: 93-94).
Menurut Weber, ada kondisi-kondisi sosial tertentu dalam masyarakat yang menentukan lahirnya sistem kapitalisme yang rasional. Pertama, adanya pergerakan bebas dari tenaga kerja, lahan, dan barang. Syarat kedua, adanya sistem kepemilikan, hukum, dan keuangan yang mendukung terciptanya pasar yang luas. Syarat-syarat ini yang kemudian menjadi jawaban kenapa kapitalisme bisa lahir dan berkembang di barat, tapi tidak di wilayah lainnya. Sebelum mencapai kesimpulan tersebut, Weber meneliti sistem masyarakat di China dan India. Weber membandingkan antara sistem masyarakat yang satu dengan yang lainnya.
Di China, rasionalisasi terhambat oleh ikatan kesukuan dan sistem klan yang feodal dan patriarkal. Selain itu, sistem kekaisaran yang mendasarkan pemerintahan pada nilai-nilai dan keyakinan tradisional juga menghalangi terciptanya kondisi yang menjadi syarat kapitalisme yang rasional. Di India, rasionaliasi dihambat oleh sistem kasta. Pembedaan masyarakat dalam kasta-kasta mmenjadi dasar sistem pemerintahan dan ekonomi di India.
Randall Collins menggambarkan konsep kapitalisme Weber ini dalam sebuah skema yang disebut The Weberian Causal Chain (hal: 92). Collins memetakan tiga kelompok kondisi masyarakat untuk bisa menciptakan komponen-komponen kapitalisme. Tiga kelompok itu disebut dengan ultimate conditions, background conditions, dan intermediate conditions.
Ultimate conditions adalah faktor-faktor dasar, antara lain tenaga administrasi yang mampu baca tulis, alat komunikasi dan transportasi yang mendukung, adanya tulisan dan catatan, dan sumber persenjataan dan militer yang terpusat. Faktor-faktor ini akan melahirkan negara dengan sistem birokrasi yang merupakan background conditions. Faktor dasar berikutnya adalah institusi agama, yang terdiri dari Yunani Kuno, Yahudi, Kristen, dan aliran-aliran reformasi. Institusi-institusi agama ini menyumbang terbentuknya tenaga administrasi yang memiliki kemampuan baca tulis dan konsep kewarganegaraan yang diadopsi oleh negara-negara barat dan sistem etika yang seragam dalam hubungan ekonomi. Sistem negara birokrasi dan sistem kewarganegaraan melahirkan sistem hukum yang pasti dan megikat. Keseluruhan inilah yang membentuk komponen-komponen kapitalisme.
Pengaruh Agama Protestan
Komponen-komponen kapitalisme rasional diperkuat oleh semangat etika yang ada dalam agama Protestan khususnya aliran Calvinisme atau Puritanisme. Untuk menjelaskan pengaruh Protestan, Weber terlebih dahulu menjelaskan asal-usul lahirnya Protestan dari agama Katolik. Menurut nilai-nilai Katolik, semua kegiatan di dunia adalah untuk kepentingan agama. Pembaharuan nilai-nilai Katolik dalam Protestan mengubah pandangan tersebut. Agama Protestan muncul dengan konsep yang oleh Weber disebut The Calling, yang berarti ajaran bahwa kewajiban moral paling tinggi dari seorang manusia adalah untuk melaksanakan tugasnya dalam kehidupan sehari-hari. Ajaran ini sangat berlawanan dengan ajaran Katolik inti kegiatan kesehariannya adalah beribadah. Konsep-konsep seperti dosa turunan, penebusan dosa yang harus dilakukan seumur hidup tidak dikenal dalam Protestan (The Protestan Ethic and the Spirit of Capitalism: 39).
Konsep kedua dari ajaran Protestan adalah Predestination,yaitu hanya sebagian orang yang akan dipilih untuk diselamatkan dari siksaan. Pemilihan ini telah ditentukan sebelumnya oleh Tuhan. Dengan demikian, umat Protestan tidak tahu apakah mereka akan dipilih atau tidak. Kembali lagi ke konsep The Calling bahwa moral tertinggi manusia adalah melaksanakan tugasnya dalam kehidupan sehari-hari, maka satu-satunya hal yang bisa mereka lakukan adalah melaksanakan tugas dalam kehidupan sehari-hari itu dengan sebaik-baiknya. Keberhasilan dalam melaksanakan hanya dapat diukur oleh tingkat kemakmuran mereka. Tingkat kemakmuran ini juga menunjukkan apakah mereka diberkati oleh Tuhan dan apakah mereka akan dipilih untuk lepas dari siksaan (The Protestan Ethic and The Spirit of Capitalism: 56-65).
Kedua konsep ini membuat penganut Protestan hidup sederhana dan menginvestasikan uang mereka lagi ke dalam usaha mereka dan menjauhi hidup foya-foya. Etika Protestan inilah yang menjadi cikal bakal kelahiran dan perkembangan sistem kapitalisme.
Kombinasi antara rasionalisasi institusi dan etika Protestan inilah yang menghasilkan sistem kapitalisme rasional yang kita kenal sekarang. Dua fenomena ini merupakan karakteristik yang khusus ada di Barat, bukan di wilayah-wilayah lain. Inilah jawaban kenapa sistem kapitalisme hanya lahir dan berkembang di Barat.
Teori Kepemimpinan Karismatik
Teori saat ini mengenai kepemimpinan karismatik amatlah berpengaruh oleh ide-ide dari ahli social awal bernama Max Weber. Karisma berasal dari bahasa Yunani yang berarti “berkat yang terinspirasi secara agung” atau “pemberian tuhan”. Seperti kemampuan melakukan keajaiban atau memprediksikan peristiwa masa depan. Weber (1947) menggunakan istilah itu untuk menjelaskan sebuah bentuk pengaruh yang bukan didasarkan pada tradisi atau otoritas formal, tetapi lebih atas persepsi pengaruh pengikut bahwa pemimpin diberkati dengan kualitas yang luar biasa. Menurut Weber, karisma terjadi saat terdapat sebuah krisis social, seorang pemimpin muncul dengan sebuah visi radikal yang menawarkan sebuah solusi untuk krisis itu, pemimpin menarik pengikut yang percaya pada visi itu, mereka mengalami beberapa keberhasilan yang membuat visi itu dapat terlihat dapat dicapai, dan para pengikut dapat mempercayai bahwa pemimpin itu sebagai orang yang luar biasa.
Konsep kharismatik (charismatic) atau kharisma (charisma) menurut Weber (1947) lebih ditekankan kepada kemampuan pemimpin yang memiliki kekuatan luarbiasa dan mistis. Menurutnya, ada lima faktor yang muncul bersamaan dengan kekuasaan yang kharismatik, yaitu : Adanya seseorang yang memiliki bakat yang luarbiasa, adanya krisis sosial, adanya sejumlah ide yang radikal untuk memecahkan krisis tersebut, adanya sejumlah pengikut yang percaya bahwa seseorang itu memiliki kemampuan luarbiasa yang bersifat transendental dan supranatural, serta adanya bukti yang berulang bahwa apa yang dilakukan itu mengalami kesuksesan.
Karisma akan lebih dihubungkan dengan pemimpin yang menyarankan sebuah visi yang amat tidak sesuai dengan status quo, tetapi masih dalam ruang gerak penerimaan oleh para pengikut. Yaitu, para pengikut tidak akan menerima visi demikian sebagai kompeten atau gila. Para pemimpin yang tidak karismatik biasanya mendukung status quo atau hanya memberikan sedikit atau tambahan perubahan.
House berpendapat bahwa seorang pemimpin karismatik mempunyai dampak yang dalam dan tidak biasa terhadap para pengikut, mereka merasakan bahwa keyakinan-keyakinan pemimpin tersebut adalah benar, mereka menerima pemimpin tersebut tanpa mempertanyakannya lagi, mereka tunduk kepada pemimpin dengan senang hati, mereka merasa sayang terhadap pemimpin tersebut, mereka terlibat secara emosional dalam misi kelompok atau organisasi tersebut, mereka percaya bahwa mereka dapat memberi kontribusi terhadap keberhasilan tersebut, dan mereka mempunyai tujuan-tujuan kinerja tinggi.
Para pemimpin akan lebih mungkin dipandang sebagai karismatik jika mereka membuat pengorbanan diri, mengambil resiko pribadi, dan mendatangkan biaya tinggi untuk mencapai visi yang mereka dukung. Kepercayaan terlihat menjadi komponenpenting dari karismatik, dan pengikut lebih mempercayai pemimpin yang kelihatan tidak terlalu termotivasi oleh kepentingan pribadi daripada oleh perhatian terhadap pengikut. Yang paling mengesankan adalah seorang pemimpin yang benar-benar mengambil resiko kerugian pribadi yang cukup besar dalam hal status, uang posisi kepemimpinan atau keanggotaan dalam organisasi.
Dalam hal selektivitas yang dimiliki komunikan ini diketahui bahwa seseorang akan memilih pesan tergantung pada dua faktor:
a) Expectation of reward – mengharapkan ganjaran.
b) Effort to be required – menghendaki suatu usaha.
Dengan kata lain besar kecilnya kedua faktor tersebut dapat menentukan pemilihan komunikan terhadap pesan tertentu.
Beberapa teori-teori membahas mengenai bagaimana karisma seorang pemimpin mempengaruhi bawahanya. Disana dibahas mengenai mengapa seorang bawahan begitu kuat terpengaruh oleh karisma pimpinanya dalam menyelasaikan sebuah misi. Hal-hal yang mempengaruhi proses pengaruh karismatik seorang pemimpin yaitu adalah:
1) Identifikasi pribadi (personal identification), identifikasi pribadi merupakan sebuah proses mempengaruhi yang dyadic yang terjadi pada beberapa orang pengikut namun tidak pada yang lainnya. Proses ini akan paling banyak terjadi pada para pengikut yang mempunyai rasa harga diri rendah, identitas diri rendah, dan kebutuhan yang tinggi untuk menggantungkan diri kepada tokoh-tokoh yang berkuasa. Shamir dan kawan-kawan mengakui bahwa identifikasi pribadi dapat terjadi pada beberapa orang pengikut dari para pemimpin karismatik, namun mereka kurang menekankan pada penjelasan tersebut karena masih ada proses-proses lainnya.
2) Identifikasi sosial (sosial identification). Identifikasi sosial merupakan sebuah proses mempengaruhi yang menyangkut defenisi mengenai diri sendiri dalam hubungannya dengan sebuah kelompok atau kolektivitas. Para pemimpin karismatik meningkatkan identifikasi sosial dengan membuat hubungan antara konsep diri sendiri para pengikut individual dan nilai-nilai yang dirasakan bersama serta identitas-identitas kelompok. Seorang pemimpin karismatik dapat meningkatkan identifikasi sosial dengan memberi kepada kelompok sebuah identitas yang unik, yang membedakan kelompok tersebut dengan kelompok-kelompok yang lain.
3) Internalisasi (internalization). Para pemimpin karismatik mempengaruhi para pengikut untuk merangkul nilai-nilai baru, namun lebih umum bagi para pemimpin karismatik untuk meningkatkan kepentingan nilai-nilai yang ada sekarang pada para pengikut dan dengan menghubungkannya dengan sasaran-sasaran tugas. Para pemimpin karismatik juga menekankan aspek-aspek simbolis dan ekspresif pekerjaan itu, yaitu membuat pekerjaan tersebut menjadi lebih berarti, mulia, heroic, dan secara moral benar. Para pemimpin karismatik tersebut juga tidak menekankan pada imbalan-imbalan ekstrinsik dalam rangka mendorong para pengikut untuk memfokuskan diri kepada inbalan-imbalan intrinsik dan meningkatkan komitmen mereka kepada sasaran-sasaran objektif.
4) Kemampuan diri sendiri (self-efficacy). Efikasi diri individu merupakan suatu keyakinan bahwa individu tersebut mampu dan kompeten untuk mencpai sasaran tugas yang sukar. Efikasi diri kolektif menunjuk kepada persepsi para anggota kelompok bahwa jika mereka bersama-sama, mereka akan dapat menghasilkan hal-hal yang luar biasa. Para pemimpin karismatik meningkatkan harapan dari para pengikur bahwa usaha-usaha kolektif dan individual mereka untuk melaksanakan misi kolektif, akan berhasil.
Beberapa media yang digunakan kyai agar menarik perhatian masyarakat terhadap lembaga pendidikan, di antaranya :
1. Media Radio
2. Media Televisi
3. Hubungan Pers
4. Jurnal internal dan eksternal
5. Media autovisual
6. Literature edukatif
7. Komunikasi lisan
8. Pameran
9. Seminar dan konferensi
10. Sponsor
11. Berdiskusi/bercakap-cakap
Tidak ada komentar:
Posting Komentar