Minggu, 16 Maret 2014

Rafi Fajrin Azhari_Tugas 2_Memerankan Reforma Agraria Untuk Desa 2030: Strategi Untuk Memerankan Pertanian dan Kehutanan

Memerankan Reforma Agraria untuk Desa 2030: Strategi untuk Memerankan Pertanian dan Kehutanan
               
                Persoalan Indonesia adalah persoalan “menjadi”. Untuk itu, proses “menjadi Indonesia” adalah persoalan substantive yang tidak hanya merupakan tugas para politisi dan birokrat yang menjadi pelayan rakyat, tetapi juga persoalan seluruh lapisan social bangsa ini, entah itu ilmuwan, peneliti, dan bahkan masyarakat Indonesia. Sehingga gambaran Indonesia masa depan adalah sesuatu yang harus dibuat terus menerus dan intens.

Desa : Sebuah Pandangan
Memahami makna tentang desa, di sisi lain, kadang menjadi jauh karena kita sangat enggan menjadi bagian dari “desa” istilah “wong ndeso” terasa dalam pikiran kita ada sesuatu yang harus dijauhi karena didalamnya melekat segudang kekurangan, seperti tidak kenal teknologi canggih, ketinggalan jaman (kuno), feodalistik, terkekang dll.
Akan tetapi jika kita kembali ke definisi tentang desa, beberapa pertanyaan kritis patut kita arahkan kepada mereka. Mari kita telusuri beberapa kutipan berikut. Dalam “The Random House Dictionary” (1968) disebutkan bahwa yang disebut desa adalah a small community or group of house in a rural area usually smaller than a town and sometimes incorporated as a municipality. Sedangkan secara formal, definisi adalah seperti yang dikeluarkan oleh beberapa institusi pemerintahan seperti Biro Pusat Statistik (BPS) misalnya. Institusi ini memberikan definisi desa sebagai berikut:
“Desa adalah satuan wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat, termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hokum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah dan langsung dibawah camat, serta berhak menyelenggarakan rumah tangga sendiri dalam ikatan Negara kesatuan Republik Indonesia. Cirri utama desa adalah kepala desanya dipilih oleh masyarakat setempat”.
Adapun unit administrasi seperti desa (kelurahan) adalah,
“… satuan wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung dibawah camat, dan tidak berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri. Cirri utama keluarahan adalah kepala kelurahannya (lurah) sebagai pegawai negeri dan tidak dipilih oleh rakyat.”


Adapun secara ekonomi jelas sekali bahwa kontribusi desa sangat signifikan. Menurut rilis BPS 2006, bahwa dari sejumlah penduduk miskin di Indonesia ada sekitar 39.05 juta. Setahun kemudian Maret 2007 data kemiskinan menunjukkan bahwa jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 37,17 juta atau 16,58 persen dari total populasi Indonesia. Meski angka kemiskinan itu menurun, akan tetapi kemiskinan di kawasan pedesaan masih tetap terbesar.

Pada akhirnya cara pandang dan pemahaman kita tentang desa dibangun melalui suatu cara pandang konservatif yang sarat dengan penglihatan dikotomis dan eksotis. Implikasinya, dengan cara pandang demikian maka permasalahan substansi desa tidak pernah terjamah. Desa semakin lama terpuruk dalam kubangan kemiskinan. Warga, dalam hal ini petaninya sendiri, meminjam istilah J.C Scott, sudah seperti berada dalam arus air dimana yang terlihat hanya jemari tangannya yang kalau ada ombak kecil saja bias tenggelam.
Quo Vadis Desa
Berbicara tentang desa ditahun 2030 tentu tak bias kita proyeksikan dengan begitu saja tanpa memahami lebih fundamental tentang apa itu tanah pasar kapitalisme dan pada gilirannya ‘reforma agraria’. Ada pertanyaan apakah benar system pasar itu telah ada sejak dulu kala ketua usia peradaban manusia itu sendiri ? atau apakah pasar hanyalah bentukan manusia akhir-akhir ini saja ?
Kendati merkantilisme mulai diterapkan di Inggris, memang didalamnya dikandung tendensi untuk komersialisasi, namun khusus untuk tanah dan tenaga kerja keduanya tak pernah diperlakukan sebagai barangyang diperjual belikan dengan uang. Ternyata, system pasar masuk ketika kapitalisme menusuk secara pelahan lahan. Kapitalisme memang berwatak destruktif, karena system ini diizinkan untuk berdiri sendiri tanpa campur tangan Negara. Perkembangan kapitalisme yang dituntut self regulating, yang pada gilirannya menuntut pemisahan ekonomi dari politik, seperti didukung kuat oleh para ekonom klasik maupun neo klasik. Sekali pasar dibiarkan berjalan sendiri segala sesuatu akan berubah menjadi komoditas. Bukan hanya barang yang diatur oleh mekanisme pasar, tetapi juga tenaga kerja, tanah dan uang. Ini meruapkan bahaya besar bagi masyarakat. Tenaga kerja atau labor adalah kata lain bagi kegiatan manusia yang satu dengan kehidupan itu sendiri, karenanya tidak diproduksi untuk diperjualbelikan. Ia juga tidak dapat dilepaskan dari kehidupan, di simpan digudang atau dimobilisasikan. Tanah adalah nama lain bagi alam yang juga bukan hasil produksi manusia. Akhirnya uang hanyalah tanda beli yang tidak diproduksi, tetapi ada karena mekanisme perbankan. Kalau tenaga kerja, tanah dan uang dipandang sebagai komoditas maka ini tidak lebih daripada sebuah fiksi semata.
Desa dan Reforma Agraria di Indonesia
Dengan jujur, harus kita akui bahwa realitas desa tidak seindah yang kita inginkan. Khususnya ketika program reforma agrarian dicabut oleh rezim Orde baru dan dijerembabkannya kepada kubangan capital;isme global. Frans Husken menjelaskan bahwa seiring masuknya modernisasi ke pedesaan di Indonesia, daya dukung solidaritas social yang tadinya menjadi bukan sekedar modal social tetapi juga modal ekonomi itu perlahan tapi pasti melemah. Sehingga secara perlahan pula, terjadi peluruhan karakter masyarakat desa, Homogenitas melemah dan menjadi pelapisan social yang semakin tajam. Bahkan kemudian menajam menjadi polarisasi yang menyebabkan kapitalisme erasuki system kehidupan. Inilah yang oleh Husken kemudian didefintikasi sebagai bibit buit diferensiasi social pada masyarakat desa.
Ketika Indonesai merdeka, desain tentang desa dikatakan masih buram. Apalagi hiruk pikuk kemerdekaan jauh lebih baik membahana ketimbang isu lain yang lebih program. Akan tetapi kesadaran bahwa desa harus tetap diperhatikan dengan lebih adil sangat nyata. Hal ini bias lihat pada kesadaran bung Hatta untuk menempatkan agenda pembaruan agrarian sebagai salah satu program pembangunan.
Perhatian serius dari pemerintah baru tampak sekitar hamper dua decade kemudian. Ini tampak dalam pidatonya Soekarno ditahun 1960. Ia mengatakan,
Revolusi Indonesia tanpa landreform adalah sama dengan gedung tanpa alas, sama saja pohon tanpa batang, sama saja omong besar tanpa isi…’
Tanah tidak boleh manjadi alat penghisapan ! Tanah untuk Tani !
Tanah untuk mereka yang betul-betul menggarap tanah!”
Dari sini, keberpihakan kem udian diteruskan dengan dikeluarkan satu aturan penataan masalah sumberdaya agrarian melalui undang-undang pokok agrarian No 05 Tahun 2960 atau kemudian lebih dikenal dengan UUPA 1960 yang secara sekilas sudah disinggung di atas. Kita menemukan bahwa sepanjang sejarah berdirinya republic ini, undang-undang ini merupakan model keberpihakan terbesar yang dilakukan oleh Negara.
Sehingga jika ada kesimpulan bahwa desa dijaman Orba adalah desain sistematik yang mengakibatkan terbunuhnya nilai lokalitas dan keberagamaan dan kesatuan hidup yang ada pada bangsa Indonesia wajar saja. Pendekatan proyek kemudian lebih kental selama itu tidak menyentuh masalah politik.


Daftar Pustaka

Indonesia, Seputar. 2007. Lahan Gratis bagi Warga Miskin Tunggu PP. Tanggal 23 Mei 2007.
Husken, Frans. Masyarakat Desa dalam Perubahan Zaman: Sejarah Diferensiasi Sosial di Jawa 1830-1980. Grasindo: Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini