Abidin
PMI 2
1113054000005
Memerankan Reforma Agraria Untuk Desa 2030:
Strategi Untuk Memerankan Pertanian dan Kehutanan
Desa : Sebuah Pandangan
Memahami makna tentang desa, disisi lain, kadang menjadi jauh karena kita sangat enggan menjadi bagian dari “desa”. Istilah “wong ndeso” terasa dalam pikiran kita ada sesuatu yang harus di jauhi karena di dalamnya melekat segudang kekurangan, seperti tidak kenal tekhnologi canggih, ketinggalan jaman (kuno), feodalistik, terkekang, dan lain-lain, yang menunjukan sejuta “kehinaan”.
Secara formal, definisi desa adalah seperti yang dikeluarkan oleh beberapa institusi pemerintahaan seperti biro pusat statistic(BPS) yaitu “Desa adalah satuan wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah dan langsung dibawah camat, serta berhak menyelenggarakan rumah tangga sendiri dalam ikatan Negara kesatuan Republik Indonesia. Ciri utama desa adalah kepala desanya dipilih oleh masyarakat setempat”.
Adapun unit administrasi seperti desa (kelurahan) adalah satuan wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung dibawah camat dan tidak berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri. Ciri utama kelurahan adalah kepala kelurahannya (lurah) sebagai pegawai negeri dan tidak dipilih oleh rakyat.
Secara hukum (konstitusi) seluruh model kesatuan hukum memang diakui Negara secara sah. Dalam UUD 45 pada 188 (1) disebutkan bahwa “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Selanjutnya ayat 2, disebutkan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Dalam UU Perda No 32 tahun 2004, dikatakan bahwa “Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnyadisebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengaturr dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan di hormati dalam system Pemerintahan Negara Republik Indonesia”. Hal ini kemudian ditegaskan lagi dalam peraturan pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa.
Menjadi teramat jelas, di mana hampir semua ontology “desa” menekankan lebih kepada keberadaan satu kawasan atau wilayah, serta pengakuan akan nilai-nilai yang melekat pada aktivitas, dan cenderung dibuat berbeda khususnya secara admistratif.
Cara pandang dan pemahaman kita tentang desa dibangun melalui suatu cara pandang konservatif yang sangat erat dengan penglihatan dikotomis dan eksotis. Implikasinya, dengan cara pandang demikian maka permasalahan substansi desa tidak pernah terjamah. Desa semakin lama terpuruk dalam kubangan kemiskinan. Warga, dalam hal ini petaninya sendiri, meminjam istilah J.C Scott, sudah seperti berada dalam arus air dimana yang terlihat hanya jemari tangannya yang kalau ada ombak kecil saja bisa tenggelam.
Kemiskinan pedesaan –yang selama deru gelombang pembangunan nyaris tidak tersentuh olehnya- bukannya terselesaikan malah yang terjadi semakin kronis. Diimpornya berbagai teori dari negeri barat maupun yang lainya tetap tidak menyelesaikan masalah intinya. Hal ini secara indah disebut sebagai “delusion of grandeur” atau khayalan kemegahan telah menjauhkan kita dari upaya menyelesaikan kemiskinan secara kongkret, yaitu kita abai terhadap system pembangunan yang dekat dengan manusia, kehidupan dan kenyataan. (Gumilar R. Sumantri, 2007).
Quo Vadis desa
Berbicara tentang desa di tahun 2030 tentu tak bisa kita proyeksikan dengan begitu saja tanpa memahami lebih fundamental tentang apa itu “tanah”, “pasar”, “kapitalisme”dan pada giliranya reforma agrarian.
Kapitalisme memang berwatak desttruktif, karena system ini diizinkan untuk berdiri sendiri tanpa campur tangan Negara. Perkembangan kapitalisme yang dituntut self regulating, yang pada gilirannya menuntut pemisahan ekonomi dari politik, seperti didukung kuat oleh para ekonom klasik maupun neo klasik. Sekali pasar dibiarkan berjalan sendiri segala sesuatu akan berubah menjadi komoditas. Bukan hanya barang yang diatur oleh mekanisme pasar, tetapi juga tenaga kerja, tanah dan uang. Ini merupakan bahaya besar bagi masyarakat. Tenaga kerja (labor) adalah kata lain bagi kegiatan manusia yang satu dengan kehidupan itu sendiri, karenanya tidak diproduksi untuk diperjualbelikan. Ia jaga tidak dapat dilepaskan dari kehidupan.
Reforma Agraria
Menurut istilah Tap MPR IX/2001 adalah langkah strategis dan mendasar untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Langkah ini telah ditempuh Negara-negara yang struktur politik, ekonomi, dan sosialnya baik, seperti Cina, Jepang, Taiwan, Atau Amerika Serikat. Dan penghujung abad yang lalu, reforma agrarian telah menjadi bagian penting strategi Negara-negara di dunia untuk menata struktur politik, ekonomi, dan sosialnya dalam memasuki abad sekarang ini.
Cita-cita reforma yang digagas oleh para pendiri bangsa sejak tahun 1946 untuk menata struktur keagrarian nasional yang feodalistik dan kolonialistik –yang dicirikan oleh adanya system pertuanan dan kosentrasi asset keagrariaan yang berkeadilan sosial, secara resmi di canangkan oleh Presiden Sukarno pada tanggal 1 Januari 1961.
Sebagai bangsa, Joyowinoto mengindentifikasi ada 7 hal persoalan stuktural yang dihadapi bangsa ini: (a) tingginya tingkat penggangguran (b) tingginya tingkat kemiskinan, (c) tingginya konsentrasi asset agraria pada sebagian kecil anggota masyarakat, (d) tingginya sengketa dan konflik pertahanan di seluruh Indonesia, (e) rentannya ketahanan pangan dan ketahanan enerji rumah tangga dari sebagian besar masyarakat kita, (f) semakin menurunnya kualitas lingkungan hidup, dan (g) lemahnya akses sebagian terbesar masyarakat terhadap hak-hak dasar rakyat termasuk terhadap sumber-sumber ekonomi.
Berbagai fakta menyebutkan bahwa sebagai gambaran kasar, berdasarkan Sensus Pertanian tahun 1993, dari keseluruhan jumlah rumah tangga pertanian (20,7 juta rumah tangga), sebanyak 10,8% diantaranya adalah rumah tangga petani yang tidak menguasai tanah (tuna kisma) atau menguasai tanah dalam jumlah yang sangat kecil, yakni kurang dari 0,5 hektar (petani gurem). Pada tahun 2003 keadaan ini tidak bertambah baik dimana dari rumah tangga pertanian yang berjumlah 25,4 juta rumah tangga, sejumlah 13,6%, diantaranya termasuk dalam kategori petani gurem (BPS 2004). Kondisi ini diperparah oleh inkonsistansi kebijakan tata ruang yang sangat bias sektoral dan memarjinalkan sector pertanian yang berakibat pada terjadinya perubahan fungsi lahan secara cepat dan tak terkontrol, dalam hal ini konversi lahan-lahan pertanian ke non pertanian.
Desa dan Reforma Agraria di Indonesia
Dengan jujur harus kita akui bahwa realitas desa tidak seindah yang kita inginkan. Khususnya ketika program reforma agrarian dicabut oleh rejim orde Baru dan dijerembabkannya kepada kubangan kapitalisme global. Frans Husken menjelaskan bahwa seiring masuknya modernisasi ke pedesaan di Indonesia, daya dukung solidaritas sosial yang tadinya menjadi bukan sekedar modal sosial tetapi juga modal ekonomi itu perlahan tapi pasti melemah. Sehingga secara perlahan pula, terjadi peluruhan karakter masyarakat desa: Homogenitas melemah dan terjadi pelapisan sosial yang semakin tajam. Bahkan kemudian menajam menjamin polarisasi yang menyebabkan kapitalisme merasuki system kehidupan. Inilaj yang oleh Husken kemudian diidentifikasi sebagai bibit buit diferensiasi sosial pada masyarakat desa.
Ketika Indonesia merdeka, desain tentang desa bisa dikatakan masih buram. Apalagi hiruk pikuk kemerdekaan jauh lebih membahana ketimbang isu lain yang kebih “program”. Akan tetapi, kesaadaran bahwa desa harus tetap diperhatikan dengan lebih adil sangat nyata. Hal ini bisa dilihat pada kesadaran Mohammad Hatta untuk menempatkan agenda pembaruan agrarian sebagai salah satu program pembangunan.
Daftar Pustaka
Indonesia, Seputar. 2007. Lahan Gratis bagi Warga Miskin Tunggu PP. Tanggal 23 Mei 2007.
Husken, Frans. Masyarakat Desa dalam Perubahan Zaman: Sejarah Diferensiasi Sosial di Jawa 1830-1980. Grasindo: Jakarta.
Scoot, J. C. 1994. Ekonomi Moral Tani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. LP3ES: Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar