Etika dan Komunikasi dalam Perspektif Islam: Etika dalam pergaulan sehari-hari; dan Etika komunikasi dalam dakwah
Ilmu komunikasi Islam, sebagaimana juga ilmu komunikasi umum, membahas tentang manusia. Komunikasi ada pada semua aspek kehidupan manusia. Tidak ada bidang kehidupan bermasyarakat yang tidak ada komunikasinya. Dengan konteks inilah menurut Wilbur Schramm dan Edward Sapir (1973) sebetulnya ilmu komunikasi tidak memiliki tanah atau lahan yang khusus bagi dirinya sendiri namun berdiri dari ilmu-ilmu sebelumnya seperti psikologi, antropologi dan lainnya seperti di kemukakan di atas.
Dengan demikian, komunikasi harus meminjam metode-metode dari disiplin-disiplin ilmu lain untuk memahami teorinya sendiri. Bagi Islam, komunikasi memang jelas sebagai salah satu fitrah manusia. Hal itu dapat dilihat pada Alquran surat ar-RahmÄn/55, ayat 1-4. Firman Allah:
"(Tuhan) Yang Maha Pemurah, Yang telah mengajarkan al Quran. Dia menciptakan manusia. Mengajarnya pandai berbicara."
Kata-kata "al-bayan" di dalam salah satu ayat tersebut ditafsirkan As-Syaukani dalam tafsirnya Fath al-Qadir, sebagaimana dikutip Jalaluddin Rakhmat, diartikan sebagai kemampuan berkomunikasi.
Dipahami bahwa obyek bahkan sekaligus yang menjadi subyek komunikasi Islam adalah manusia. Dengan demikian, obyek penelaahan ilmu komunikasi Islam juga manusia itu sendiri. Manusia yang menyampaikan pesan kepada sesamanya, bahkan ketika manusia berdo'a yang diyakini sebagai komunikasi antara manusia dengan Tuhan (komunikasi transendental) yang ditelaah adalah manusia itu sendiri, tentang bagaimana ia memanjatkan do'a, etikanya pada saat berdo'a, sampai kepada diterima atau tidaknya do'anya dengan melihat dampaknya terhadap dirinya atau yang dido'akannya.
Etika dalam pergaulan
Pergaulan remaja saat ini sudah sangat jauh berubah dibanding pada masa-masa sepuluh tahun silam. Remaja sekarang lebih mampu berekspresi pada emosi dan mengungkapkan perasaan tanpa sembunyi-sembunyi dan malu seperti dulu. Sudah lumrah saat ini kita melihat remaja mengungkapkan kemarahan, sedih dan kegembiraanya dengan kata-kata yang terucap secara langsung. Dibawah ini ada beberapa prinsip etika dalam pergaulan:
1) Perhatian terhadap orang lain.
2) Mengetuk pintu jika akan memasuki suatu ruangan.
3) Memberi salam jika berjumpa seseorang.
4) Mohom maaf jika melakukan kesalahan.
5) Melakukan perintah dengan wajah cerah.
6) Dapat menempatkan diri.
7) Sanggup menyesuaikan diri dengan lingkungan.
8) Rendah hati dan tidak ingin menang sendiri.
9) Siap memberi bantuan sesuai dengan batas kemampuan.
10) Mengucapkan terima kasih jika menerima bantuan dari orang lain.
Dan juga ada beberapa factor yang mempengaruhi etika pergaulan, yaitu:
-Faktor umur
Faktor umur menentukan bentuk hubungan sosialisasi pelaku. Usia anak-anak berbeda dengan usia remasa, usia dewasa, usia orang tua, usia lanjut dan sebaginya. Dapat dikatakan baik, apabila bentuk pergaulan itu dilakukan oleh dan untuk umur sebaya.
-Faktor pekerjaan
Faktor pekerjaan berpengaruh juga terhadap bentuk pergaulan. Perilaku pergaulan antara orang-orang kantor akan berbeda dengan orang-orang di lapangan, pekerja pabrik, pekerja bangunan, pekerja di terminal dan sebagainya.
-Faktor keterikatan
Faktor keterikatan, misalnya pelaku organisasi sosial, organisasi partai politik, peserta didik tentu cara bergaulnya juga akan berbeda.
-Faktor lingkungan
Pergaulan dalam lingkungan masyarakat yang macam pendidikan, kegiatan, status sosialnya sangat berbeda-beda, dan heterogen memerlukan penyesuaian yang sangat ekstra hati-hati.
Secara garis besar,etika pergaulan adalah sopan santun atau tata krama dalam pergaulan yang sesuai dengan situasi dan keadaan serta tidak melanggar norma-norma yang berlaku baik norma agama, kesopanan, adat, hukum dan lain-lain.
Etika dalam Dakwah
Semangat dalam berdakwah dan ber-amar-makruf-nahi-munkar merupakan nilai akhlak yang agung disisi Allah Ta'ala, karena dengan semua itu eksistensi agama ini bisa tegak, hanya untuk itulah Allah swt. mengutus para utusan dan nabi-Nya. Seandaianya tidak ada semangat dakwah yang dilakukan oleh para dai dan ulama di sepanjang masa, niscaya agama ini hanya akan menjadi sebuah cerita dalam catatan historis anak cucu Adam.
Mereka yang melakukan dakwah banyak yang melupakan atau mengesampingkan etika dakwah yang sebenarnya.
Pertama, Dia harus memahami bahwa gerakan dan aktifitas dakwah yang sedang ia lakukan, pada hakekatnya adalah bentuk pengabdian seorang hamba pada Tuhannya, dia melakukan semua ini demi menggapai keridhoan-Nya. Pekerjaan yang dia lakukan bukan karena tuntutan hawa nafsu, bukan karena kepentingan pribadi atau kelompoknya dan bukan untuk menghancurkan atau mengalahkan kelompok lain, dan berharap untuk masuk didalam golongan yang disifati oleh Allah Swt.
Kedua, Kalau kita masih belum memahami atau sulit untuk melaksanakannya, maka kita harus kembali pada tujuan pokok adanya agama ini. Bukankah perintah dan larangan-larangan Allah diturunkan sebagai bentuk kasih sayang Allah pada semua hamba-hamba-Nya? Kekerasan dan tindakan anarkis sama sekali tidak mencerminkan ajaran islam. Dari itu Rasulullah SAW bersabda "Lemah lembut pasti akan menyeimbangkan setiap perkara."
Ketiga, Seorang dai harus meyakini bahwa dakwah yang sedang dia jalani hanyalah melaksanakan kewajiban yang dibebankan oleh Allah kepada hambanya-hamba-Nya. Dalam artian: seorang dai tidak mempunyai kemampuan untuk memberi hidayah, tidak pula mengubah sebuah sistem kemasyarakatan seperti yang dia kehendaki dan tidak pula menunggu sebuah hasil dari apa yang dia kerjakan.
Hal ini harus diperhatikan oleh seorang aktifis, sebab tidak sedikit dari aktifis islam yang kurang memperhatikan masalah ini, sehingga mereka berusaha melaksanakan sesuatu yang bukan tugasnya bahkan kadang berlanjut pada hal yang tidak semestinya dilakukan. Disnilah letak masalah yang kerap membawa konflik antara ormas islam dengan pemerintah atau ormas sesama ormasnya. Apalagi kadang memaksakan kehendak dengan segala cara yang jelas membahayakan agama dan Negara, seperti meminta bantuan pihak asing dan semacamnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar