KEHIDUPAN SOSIAL SOPIR ANGKUTAN BEMO DI JAKARTA BARAT
LATAR BELAKANG
Dalam penelitian ketiga ini, saya meneliti kehidupan sosial sopir angkutan bemo yang berada di Jakarta Barat. Kehidupan sosial sopir angkutan bemo di Jakarta menjadi suatu masalah yang akan dijadikan objek penelitian bagi saya.
Meski 'terengah' melawan hegemoni angkutan missal modern-mikrolet atau metmini-bemo masih diperkenankan beroprasi, walau hanya di pinggiran, seperti kawasan Manggarai, Jakarta Selatan, Pejompongan, Jakarta Pusat, atau Olimo, Jakarta Barat. Angkutan bemo yang semakin tergopoh dengan tiga rodanya menyusuri semrawutnya jalanan Jakarta. Meski tidak layak sebagai angkutan kota, Kendaraan yang telah hadir dari tahun 1962 ini masih diminati warga karena murah dan penumpang tidak terlalu lama menunggu karena hanya memuat tujuh orang. Kendaraan ini tidak hanya dipergunakan di Jakarta saja namun juga disejumlah kota lain di Indonesia seperti Bogor, Bandung, Surabaya, Malang, Padang, Denpasar, dan lain sebagainya.
Sampai saat ini, keberadaan bemo itu sendiri masih dapat ditemui di daerah Jakarta Barat, walaupun masih mendapat tantangan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta karena menghasilkan polusi yang cukup besar. Ketika jepang, Negara produsen awal bemo, menghentikan produksi kendaraan ini, eksistensi angkutan umum ini di tanah air semakin terpojok. keberadaan bemo makin terpuruk saat pemerintah menilai kendaraan ini dianggap sudah terlalu tua, tidak aman lagi dan asapnya menyebabkan polusi sehingga dihapuskan dari program angkutan kota, di Jakarta, bemo mulai disingkirkan pada 1971.
PERTANYAAN PENELITIAN
1. Bagaimana kehidupan sosial sopir angkutan bemo di Jakarta Barat?
2. Apa yang menjadi harapan sopir angkutan bemo terhadap kebijakan pemerintah DKI Jakarta?
LANDASAN TEORI
Dalam penelitian ini, saya menggunakan landasan teori dari Emile Durkheim. Teori Emile Durkheim menjadi landasan teori bagi saya untuk menyelesaikan penelitian ini.
METODE
Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan menggunakan metode kualitatif.
Tekhnik yang digunakan yaitu melalui wawancara dan observasi langsung ke area penelitian yang berada di Jakarta pusat. Saya mewawancarai salah seorang sopir angkutan bemo yang sedang tidak beroperasi. Dan saya mengobservasi kehidupan sosial para sopir angkutan bemo di area penelitian saya.
AREA RISET
Tempat : Jalan Olimo , Jakarta Barat
Tanggal : 13 s/d 15 Mei 2014
Objek : seorang sopir angkutan bemo bernama bapak Asyikin
HASIL PENELITIAN
Di dalam penelitian ini menghasilkan gambaran tentang bagaimana kehidupan sosial sopir angkutan bemo yang berada di Jakarta Barat. Saya mewawancarai seorang sopir angkutan bemo yang tidak sedang beroperasi, yang bernama bapak Asyikin.
Ia berangkat ke Jakarta, menarik bemo sejak tahun 1976 hingga sekarang. Ia seorang supir Bemo di pangkalan Olimo, Jakarta Barat. Dia mengaku merantau ke Jakarta sejak berusia belia. Pria asal Slawi, Tegal, Jawa Tengah ini berharap kehidupan yang layak sekaligus mencukupi sandang, pangan dan papan sanak keluarganya di kampung halaman. Dia keukeuh terus bekerja karena sopir Bemo sudah menjadi mata pencahariannya sejak lama. Kendati setiap hari badannya harus berpeluh debu di bawah terik matahari ibu kota, Asyikin tidak pernah lelah memacu besi tuanya. Dia mengaku, setiap hari berangkat dari rumahnya menuju pangkalan di Jalan Olimo, Taman Sari, Jakarta Barat, pada pukul 05.00 WIB pagi dan pulang menjelang matahari kembali ke peraduan. Di sana, Asyikin bersama puluhan sopir bemo lainnya berkumpul mengais rupiah. Ia menyewa Rp70 ribu per hari, pendapatan yang diterimanya tidak menentu paling besar bisa mencapai Rp50 ribu lebih. Para sopir angkutan bemo di sini juga tidak merasa tersaingi. Banyak warga yang memanfaatkan bemo. Trayek bemo bapak Asyikin dari Jalan Olimo sampai Jalan Pintu Air. Tarifnya dua ribu rupiah sekali jalan. Entah sampai kapan Asyikin menarik Bemo untuk menyambung hidup di tengah kerasnya kehidupan ibu kota.
Disisi lain, bapak Asyikin selalu berharap, agar Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta lebih memperhatikan lagi nasib ratusan sopir bemo di Jakarta. Karena masyarakat Jakarta masih membutuhkankendaraan roda tiga ini dijalanan. "Saya berharap agar Pak Jokowi dapat memperhatikan nasib kami. Karena kami tidak tahu sampai kapan akan terus narik bemo," pinta Asyikin. Pak Jokowi, tertarikkah Anda naik bemo blusukan berkeliling Jakarta?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar