Saya tinggal di sebuah kontrakan di daerah Pesanggrahan. Bersama 3 teman saya dari Fakultas Syariah dan Hukum, kami menempati sebuah kontrakan yang memiliki 3 ruang dan sebuah kamar mandi. Sebuah ruangan berbentuk segi empat, terletak di tengah kedua ruangan yang lainnya, berukuran sekitar 3x4 meter, dan temboknya berwarna putih bersih. Dengan beralaskan kasur yang tebal, tekstur, dan warnanya yang tak lagi sama seperti pertama kami beli setengah tahun yang lalu. Kini, kasur tersebut nampak seperti selembar roti tawar yang amat tipis dan tidak terlalu empuk, bahkan lebih terasa keras. Warna oranyenya pun sudah mulai pudar menjadi kuning. Meski demikian, kami bersyukur masih memiliki kasur itu. Dengan dilengkapi dengan bantal-bantal yang beraneka bentuk dan jumlahnya cukup, rasa lelah dan letih akibat aktivitas kuliah dan juga organisasi dapat hilang dengan berbaring di atas kasur itu semalaman. Di samping kasur berjejer lemari-lemari kami yang warna dan ukuran antara satu dengan lainnya beragam. Di mulai dari sebelah pojok, lemari coklat muda berukuran sedang dan memiliki dua pintu, berdiri dengan kokoh. Lemari tersebut terbuat dari kayu, di sebelah lemari kayu itu berdiri lemari abu-abu terbuat dari plastik yang ukurannya lebih kecil dan pendek, kira-kira tingginya satu meter. Di baris ketiga, berdiri lemari yang juga terbuat dari plastik, namun ukurannya lebih tinggi dan bewarna hijau. Di lemari tersebut kami menyimpan pakaian yang biasa dikenakan untuk kuliah dan untuk sehari-hari. Di atas beberapa lemari juga terdapat buku-buku dari pemilik tiap lemari tersebut, sementara beberapa buku lainnya tersimpan di sampingnya dikarenakan lemari itu sudah tak muat untuk menanggung jumlah buku yang lebih banyak. Di samping tumpukan buku terdapat terminal listrik berwarna hitam-kuning yang kami gunakan untuk men-charge gadget, baik handphone maupun laptop. Kemudian sebuah kipas angin berwarna putih-hijau yang tidak lagi baru berdiri di sampingnya. Kipas tersebut masih setia menyejukkan siang dan malam kami. Sementara itu, di tembok sebelah kanan terdapat sebuah jendela tempat bertukarnya udara. Setiap pagi, jendela berbingkai hitam itu kami buka agar udara segar dapat bertukar masuk dengan udara yang penuh karbon dioksida dari dalam. Sinar matahari pun dapat kami nikmati dari luar jendela itu. Di langit-langittnya terdapat sebuah bola lampu berukuran kecil sebagai penerang di kala malam tiba. Cahayanya tidak terlalu terang, hanya sekitar 15 watt. Hal itu sengaja kami pilih dikarenakan agar ketika tidur tidak menyilaukan mata. Tepat di samping kamar kami, terdapat sungai yang aliran airnya begitu deras. Saking derasnya, terkadang kami tertipu akan suara itu yang seakan mirip dengan suara turunnya hujan. Tidak jarang kami tak bisa membedakan antara suara hujan dengan suara aliran sungai itu. Apalagi ketika kami belum lama tinggal di sana karena aliran airnya pun menjadi deras meski hujan telah berhenti. Terlebih ketika malam hari, suara aliran air itu sekaligus menjadi nina bobo untuk tidur kami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar