Selasa, 17 Maret 2015

Tugas 1 Sosped Hasyim Asy'ari Isu-isu Penting Desa

Nama : Hasyim Asy'ari

Prodi : PMI 2

NIM   : 11140540000021

A.    Pendahuluan

Salah satu focus kajian sosiologi adalah masyarakat. Masyarakat merupakan kelompok individu yang di organisasikan dan mengikuti satu cara hidup tertentu. Dengan kata lain masyarakat sebagai individu manusia yang terbesar dan mempunyai kebiasaan, traisi, sikap dan persamaan persatuan yang sama. Masyarakat pada dasarnya dalam kondisi dinamis dan terus berkembang mengikuti kondisi disekitar lingkungannya.

Komunitas pedesaan merupakan salah satu bagian elemen masyarakat. Kajian terhadap komunitas pedesaan memerlukan disiplin kajian tersendiri, yaitu sosiologi pedesaan. Sebagai bagian dari disiplin sosiologi, maka sosiologi pedesaan merupakan salah satu cabang ilmu social (sosiologi) yang mengkaji hubungan timbal balik dan dampaknyadari berbagai variable (gejala) social, termasuk didalamnya struktur dan organisasi masyarakat, Ekologi (lingkungan) dan tipologi masyarakat, kekuasaan dan pola kepemimpinan serta budaya politik masyarakat, interaksi dan proses social, dinamika dan pengaruh perubahan social, pembangunan pertanian dan ketahanan pangan modal social, bentuk dan fungsi agama dimasyarakat, partisipasi dan pemberdayaan masyarakat serta aspek-aspek  lainnya. Dengan kata lain arah kajian sosiologi pedesaan lebih mengarah kepada sosiologi terapan. Namun dalam prakteknya seringkali sosiologi pedesaan seringkali diterjemahkan sebagai "kajian terhadap pertanian" sehingga lingkup kajiannya terbatas pada dunia pertanian saja.


A.    Posisi wanita dalam struktur sosial masyarakat pedesaan

Ahli-ahli sosiologi umumnya menentukan posisi sosial seseorang dalam masyarakat pedesaan berdasarkan luas kepemilikan tanah. Tanah merupakan aset paling bagi masyarakat pedesaan karena sebagian besar dari mereka adalah petani kecil. Orang yang memiliki lahan pertanian lebih luas diletakkan pada posisi yang lebih tinggi didalam struktur sosial masyarakat (sajugyo, 1983). Petani di Indonesia adalah petani gurem yang hanya memiliki lahan kurang dari 0,5 ha. Posisi wanita didalam struktur sosial masyarakat sosial umumnya berkaitan dengan kepemilikan tanah dan system hak kepemilikan keluarga.maka wanita yang sudah menikah, mereka akan mempunyai hak bersama atas harta benda miliknya bersama suaminya. Namun, dalam kenyataannya, jika seorang wanita mempunyai tanah system patemalistik memungkinkan manajemen atas harta bendanya diambil alih oleh suaminya. Demikian juga meskipun wanita tersebut memiliki lebih banyak harta benda sebelum menikah maka setelah menikah kewenangan pengaturan atas rumah tangganya adalah suaminya.

Dalam system  masyarakat patemalistik hamper tidak mungkin bagi wanita memiliki kesempatan untuk menjadi pemimpin rumah tangga. Emansipasi dan persamaan antara laki-laki dan perempuan ditafsirkan berdasarkan kepentingan laki-laki. Tidak ada hubungan yang signifikan antara kepemilikan tanah, kekayaan wanita, tingkat pendidikan (wanita), dan posisi wanita dalam struktur sosial masyarakat pedesaan. Apapun prestasi yang mereka capai, dalam kaitanya dalam pendidikan dan keberhasilan-keberhasilan ekonomi, wanita diposisikan dibawah kekuasaan laki-laki.

Ketidak beruntungan posisi wanita dalam struktur sosial dalam masyarakat pedesaan juga bisa dijelaskan dari adanya resepsi stereotip masyarakat yang berakar dalam tentang peranan laki-laki dan perempuan  (tjokrowinoto, 1988). Di masyarakat pedesaan secara umum masih berlangsung pandangan bahwa kaum wanita secara alamiyah terbatas gerak-geriknya dan peranan meraka utamanya adalah di sector domestik (melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga).

Konsep pembakuan peran gender yang mengkotak-kotakkan peran laki-laki dan perempuan / istri ini hanya memungkinkan perempuan berperan diwilayah domestik (domestikasi), yaitu sebagai pengurus rumah tangga sementara laki-laki diwilayah publik sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah utama. Peran gender yang memilah-milah peran perempuan dan laki-lakipada kenyataannya telah dibakukan oleh Negara dalam berbagai kebijakan tersebut pada akhirnya hanya menyisakan ketidak adilan pada prempuan. Dengan demokian, melalui hukum, Negara melakukan peran gender. Hukum, dengan demikian, dipandang sebagai agen yang menguatkan nilai-nilai jende yang dianut oleh masyarakat. Hal ini berkaitan dengan kebutuhan Negara untuk menjaga dan menjamin kepentingnnya.

Upaya domestikasi perempuan secara sistematis oleh Negara berdasarkan ideology gender dalam kebijakan-kebijakan negara berdampak lebih jauh pada peminggiran terhadap perempuan. Baik secara ekonomis, politik, sosial dan budaya, juga menimbulkan subor dinasi eksploitasi dan prifatisasi kekerasan terhadap peremuan.

Ruang lingkup kebijakan yang perlu dikritisi terkait dengan masalah gender adalah kebijakan-kebijakan yang lahir pada era Orde Baru. Dari kebijakan Negara seperti:

1)      Pada masa revolusi hijau, yaitu pada repelita satu tahun 1969-1974 dimana muncul kebijakan yang memarginakan kaum perempuan pedesaan yang awalnya memiliki peran penting sebagai petani kemudian digeser dengan munculnya alat-alat pertanian modern yang diasosiasikan dengan keahlian jenis kelamin laki-laki

2)      Kemudian, kebijakan lain yang juga mempunyai efek pembakuan perang adalah praktek-praktek koersi terhadap perempuan yang diterapkan berkaitan dengan kebijakan pemerintah tentang kependudukan => kebijakkan KB yang direncanakan sejak tahun 1969 hanya diperuntukkan bagi kelompok perempuan.

3)      Menunjukkan adanya asumsi patriarkal negar mengenai peran laki-laki dan perempuan yang menganggap bahwa Negara Orde Baru membatasi ruang lingkup kehidupan perempuan (secara sosial, ekonomi, politik) dan melegitimasi pembakuan perang gender.

4)      Kebijakan tentang Pembantu Rumah Tangga (perda No.6 thn 1993) tentang pembinaan kesejahteraan pramuwisma di DKI Jakarta dan SK Gubernur DKI Jakarta (No.1099 thn 1994). Asumsi pemerintah terhadap pramuisma yang cenderung ditujukan terhadap perempuan menyumbang pada pembakuan peran gender dalam pasal-pasal perda. Misalnya, pasal tentang perlunya ijin bekerja dari suami bagi perempuan yang sudah bersuami.

5)      Kebijakan tentang kekerasan terhadap perempuan: UHP berkaitan dengan penganiayaan terhadap istri. KUHP tidak mengenal konsep kekerasan berbasis gender, atau tindakan-tindakan kejahatan yangdilakukan karena jenis kelamin perempuan. Kemudian KUHP berkaitan dengan perkosaan, perkosaan terhadap istri dalam perkawinan (marital rape) tidak dikenal dalam KUHP berarti KUHP mengadopsi pandangan masyarakat bahwa fungsi istri adalah melayani suami.

B.     Sistem  ekonomi, pertanian masyarakat

Pada awalnya ditemukannya cocok tanam, nenek moyang kita hanya melakukannya demi untuk memenuhi kebutuhan pangan sendiri, belum melembagakan pertukaran. Dengan demikian pada masa itu, cocok tanam belum merupakan kegiatan yang sifat ekonomis. System penghidupan semacam ini hakikatnya masih sangat dekat dengan era food gathering economics. Dalam ersa ini, kebutuhan manusia yang harus di penuhi terutama hanya kebutuhan pangan saja. Memang ada juga kebutuhan lain misalnya untuk kepentingan sosial atau kekerabatan. Namun pada hakikatnya masih terpusat untuk konsumsi sendiri. Maka ada yang berpendapat bahwa masyarakat semacam ini belum dapat di sebut masyarakat petani melainkan pencocok tanam (cultivator).

Era pertanian prakapitalistik bertolak dari perkembngan kebutuhan manusia seiring dengan perkembngan kebudayaannya. Terlebih setelah munculnya fenomena kota, maka besar dan ragam kebutuhan masyarakat desapun menjadi meningkat pula. Bercocok tanam tidak lagi sekedar unuk memenuhi kebutuhan pangan, melainkan juga mencakup kebutuhan-kebutuhan lain di luar pangan. Smenjak inilah system pertanian mulai identic dengan system ekonomi. System pertanian dalam era prakapitalistik ini belum mempergunakan tekhnologi modern. Era ini adalah merupakan terciptanya peasan (peasant), sebagaimana telah di uraikan dalam modul VII.

Secara ringkas, peasan dengan kultur subsistennya merupakan gambaran dari kaum petani tradisional. Mereka menyikapi pertanian sebagai suatu way of life. Orientasi usahanya tidak untuk mengajar keuntungan, melainkan terutama untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Tentu saja kebutuhan keluarga bukan hanya kebutuhan pangan. Mereka juga mempunyai kebutuhan sandang dan papan (rumah). Dan yang lebih banyak lagi untuk masyarakat bersahaja (tradisional) adalah kebutuhan-kebutuhan sosial (upacara kelahiran, perkawinan, kematian, dan lain-lain).

 

C.     Masalah penduduk dan kemisinan

Cerita yang dikembngkan dalam kasus desa Sriharja (kabupaten bantul, D.I. Yogyakarta) cukup jelas; didesa itu kurang sekali tanah pertanian dibandingkan jumlah penduduk dan tenaga kerja berlebih untuk kesempatan bertani sehingga golongan besar penduduk (dua pertiga) tak mencapai tingkat penghasilan cukup, tergolong tak mampu. Bagi mereka yang kurang memperhatikan masalah pedesaan di Jawa khususnya, cerita sriharjo akan membuat orang terperanjat memperhatikan angka-angka disitu: rata-rata tanah pertanian serendah 0,22 ha perkeluarga, pekerjaan disawah selama satu musim hujan hanya menyerap rata-rata 115 orang hari kerja perkeluarga. Sedangkan ukuran tingkat penghasilan "cukup" yang diambil serendah 20 kg ekuivalen beres perorang sebulan (perhasil Rp 10.000,- sebulan) bagi keluarga sebesar 5 orang, jika harga beras Rp 100,- per kg menggolongkan 66% keluarga pada tarif hidup "tak cukup".

Penilaian orang akan laporan kasus Sriharjo tentulah akan tertuju pada cara dan hasil analisa masalah maupun pada cara-cara pemecahan masalah (menaikkan tingkat penghasilan mengatasi kemiskinan) yang disarankan oleh penulis itu. Orang terpaksa akan bertanya: di luar kasus itu, berapa luaskah gejalah kurang tanah, kurang pekerjaan dan kurang penghasilan di pedesaan kita ?

Diantara bacaan yang beredar di Indonesia mungkin baru ada satu tanggapan atas laporan tersebut, yaitu tulisan Alan M.Strout di Bulletin of Indonesia Economic Studies (juli 1974). Didalamnya ada satu pokok pemikiran yang dapat diterima, yaitu kesimpulan bahwa dalam batas-batas tertentu masyarakat Desa Sriharjo sebenarnya telah menemukan cara-cara yang berhasil dalam mengatasi tekanan penduduk atas tanah pertanian. Coba kita perinci dalam 4 bidang pemecahan yang dibahas para penulis:

1)      Intensifikasi pertanian: tingkat produktivitas sawah (1969/1970) mencapai 2,2 ton beras per hektar panen, dengan indeks panenan ganda sebesar 160%, berarti 3,5 ton beras/ha/tahun (bandingkan dengan 0,9 ton beras hasil netto dari 0,7 ha sawah tadah hujan konon dimasa lampau)pekarangan bahkan mencapai produktivitas 50% lebih tinggi dari sawah (per meter persegi setahun).

2)      Peluang bekerja: 67% sawah yang dimiliki oleh 16% keluarga digarap oleh 33% keluarga (dua kali jumlah pemilik); jumlah hari kerja laki-laki dewasa tak beda antara petani sawah yang sempit dan yang lebih luas (walau rata-rata 79 orang-hari dalam satu musim hujan); pohon pohon kelapa di pekarangan yang disadap (gula) oleh mereka yang kurang kesempatan lain banyak yang tergolong orang-orang yang punya lebih. Dalam hal ini menurut Strout, nyata pola "membagi kemiskinan" antara yang punya lebih dan yang punya sedikit (tak punya sama sekali), mengikuti pemikiran C. Geertz.

3)      pembatasan tekanan penduduk: kecuali adat menjarangkan kelahiran nyata dikenal penduduk, Strout menduga bahwa migrasi keluar desa cukup penting. Pertambahan penduduk Sriharjo hanya 1,0% setahun selama 1961-1969 (pulau jawa:1,9%)

4)      Kecuai dalam hal kerajinan gula kelapa (tenaga banyak, penghasilan rendah) laporan itu tak menunjukkan apakah jenis lain industri pedesaan tak berarti didesa itu  dalam menyerap tenaga kerja.

D.    Daftar pustaka

Sajugyo, pujiwati. 1996. sosiologi pedesaan. Yogyakarta, gaja madah university pres

Salam, syamsir. Fadhillah, amir.2008. sosiologi pedesaan. UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

Raharjo. 2001. Materi pokok sosiologi pedesaan. Jakarta , universitas tebuka


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini