Selasa, 17 Maret 2015

tugas meresum buku titik balik peradaban

Nama    : Aden Ahmad Jainudin
Nim     : 1112054000034
Jurusan : PMI 6
 
Mesin Dunia A La Newton
Pandangan dunia dan sistem nilai yang melandasi kebudayaan kita dan yang telah dikaji ulang secara seksama telah dirumuskan dalam sketsa penting abad ke-16 dan 17. Antara tahun 1500 dan 1700 itu terdapat suatu perubahan dramatis pada cara manusia menggambarkan dunianya dan dalam keseluruhan cara berpikir mereka. Mentalitas dan persepsi baru tentang kosmos itu memberikan sifat-sifat pada peradaban Barat yang menjadi karakteristik era modern. Mentalitas dan persepsi tersebut menjadi dasar paradigma yang telah mendominasi kebudayaan kita selama 300 tahun yang lalu dan kini sudah hampir berubah.
Sebelum tahun 1500 pandangan dunia yang dominan di eropa dan sebagian besar peradaban lain bersifat oraganik. Manusia hidup dalam komunitas-komunitas kecil dan erat, dan menjalani kehidupan alam raya dalam pengertian hubungan yang organik, yang ditandai oleh saling ketergantungan antara fenomena spiritual dengan fenomena material dan prinsip bahwa kebutuhan masyarakat umum lebih utama daripada kepentingan pribadi. Kerangka ilmiah dari pandangan dunia yang organik ini didasarkan atas dua otoritas -  Aristotle dan Gereja. Pada abda ke-13 Thomas Aquinas memadukan sistem alam aristotle yang komprehensif dengan teologi dan etika Kristen, dan menetapkan kerangka konseptual yang tetap tak terbantahkan selama Abad Pertengahan. Sifat dasar ilmu pada Abad Pertengahan sangat berbeda dengan sifat dasar ilmu modern. Ilmu Abad Pertengahan didasarkan atas penalaran dan keimanan dan tujuan utamanya adalah memahami makna dan signifikansi segala sesuatu, dan bukan untuk tujuan peramalan dan pengendalian. Para ilmuan pada Abad Pertengahan, yang mencari-cari tujuan dasar yang mendasari berbagai fenomena, menganggap pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan Tuhan, roh manusia, dan etika sebagai pertanyaa-pertanyaan yang memiliki signifikansi tertinggi,
Pandangan Abad Pertengahan itu berubah secara mendasar pada abad ke-16 dan 17. Pengertian alam semesta sebagai sesuatu yang bersifat organik, hidup, dan spiritual digantikan oleh pengertian bahwa dunia itu laksana sebuah mesin, dan mesin dunia itu kemudian menjadi metafora yang dominan pada zaman modern. Perkembangan ini diakifisika oleh perubahan-perubahan revolusioner dalam ilmu fisika dan astronomi yang mencapai puncaknya pada prestasi yang dicapai oleh Copernicus, Galileo, dan Newton. Ilmu pada abad ke-17 itu didasarkan atas suatu metode penelitian yang baru, yang dikembangkan dengan sedemikian kuat oleh Francis Bacon, dengan melibatkan deskripsi alam matematis dan metode penalaran analitik yang di susun oleh si jenius Descrates. Dengan mengakui peran ilmu yang sangat menetukan dalam menghasilkan perubahan-perubahan yang luar biasa itu, para sejarawan telah menyebut abad ke-16 dan 17 itu sebagai Zaman Revolusi Ilmiah.
Revolusi ilmiah itu dimulai dengan Nicolas Copernicus, yang mematahkan pandangan geosentrik Pteolemy dan Gerejayang telah diterima sebagai dogma selama lebih dari seribu tahun. Setelah Copernicus, bumi tidak lagi menjadi pusat alam semesta tetapi hanya sebagai salah satu dari sekian planet yang mengelilingi sebuah bintang kecil di ujung galaksi, dan manusia didepak dari kedudukan kebanggaannya sebagai gambaran sentral dan ciptaan Tuhan. Copernicus sadar sepenuhnya bahwa pandangannya akan menyerang kesadaran religus pada zamannya dengan telak; dia telah menunda publikasi penemuannya itu hingga tahun 1543, tahun kematiannya, dan bahkan kemudian dia mengajukan pandangan heliosentrik itu sekadar sebagai sebuah hipotesis.
Copernicus diikuti oleh Johannes Kepler, seorang ilmuwan dan sekaligus seorang ahli mistik yang mencari harmoni planet-planet yang melalui kerja keras dan menggunakan tabel-tabel astronomi dia mampu merumuskan hukum-hukum empiriknya yang terkenal tentang gerak planet, yang memberikan dukungan lebih jauh pada sistem Copernicus. Namun demikian, perubahan yang sebenarnya dalam pandangan ilmiah adalah perubahan yang dihasilkan oleh Galileo Galilei, yang terkenal menemukan hukum-hukum bintang jatuh ketika dia mengalihkan perhatiannya pada astronomi. Dengan mengarahkan teleskop baru yang diciptakannya ke langit dan dengan memanfaatkan bakatnya yang luar biasa dalam pengamatan ilmiah terhadap fenomena langit, Galileo mampu menyingkirkan kosmologi lama dengan begitu menyakinkan dan kemudian menetapkan hipotesis Copernicus sebagai teori ilmiah yang shahih.
Peran Galileo dalam Revolusi Ilmiah jauh melebihi prestasinya dalam astronomi, meskipun semua itu tidak dikenal luas karena pertentangannya dengan Gereja. Galileo adalah orang pertama yang memadukan percobaan ilmiah dengan bahasa matematika untuk merumuskan hukum-hukum alam yang ditemukannya, dan oleh sebab itu dia dianggap sebagai bapak ilmu modern. " Filsafat",* katanya," ditulis dalam buku besar yang terhampar didepan mata kita; tetapi kita tidak dapat memahaminya jika kita tidak mempelajari bahasa dan huruf yang dipakainya terlebih dahulu. Bahasa itu adalah matematika, dan hurufnya adalah segitiga, lingkaran dan bentuk-bentuk geometris lainnya." Kedua aspek karya utama Galileo – pendekatan empirik dan penggunaan gambaran alam matematisnya – menjadi sifat-sifat ilmu yang dominan pada abad ke-17 dan tetap menjadi kriteria penting teori ilmiah hingga dewasa ini.
Untuk memungkinkan para ilmuwan menggambarkan alam secara mamtematis, Galileo menetapkan postulat bahwa mereka harus membatasi diri untuk mempelajari sifat-sifat esensial benda material-bentuk, bilangan, dan gerakan-yang dapat diukur dan dikuantifikasikan. Sifat-sifat lainnya, seperti warna, suara, rasa, atau bau hanyalah proyeksi mental subjektif yang tidak boleh dimasukkan kedalam ranah ilmu. Strategi Galileo untuk mengarahkan perhatian para ilmuwan sifat-sifat materi yang dapat dikuantifikasikan telah terbukti benar-benar berhasil dalam semua ilmu modern, tetapi strategi itu juga telah meminta banyak korban, sebagaimana diingatkan oleh psikiater R.D.Laing:"Matilah pemandangan, suara, rasa, sentuhan, dan bau bersama itu mati pulalah perasaan estetik dan etik, nilai, kualitas, bentuk; semua perasaan, motif, kehendak, jiwa, kesadaran, dan roh. Pengalaman semacam itu telah dikesampingkan dalam pembicaraan ilmiah." Menurut Laing hampir tidak ada satu pun yang lebih kuat mengubah dunia kita selama empat ratus tahun terakhir ini kecuali obsesi para ilmuwan akan ukuran kuantifikasi.
Sementara Galileo melakukan percobaan-percobaannya yang cemerlang di Italia, Francis Bacon merumuskan metode ilmu empiris secara panjang lebar di Inggris. Bacon merupakan orang pertama yang merumuskan teori tentang prosedur induktif dengan sangat jelas – untuk membuat percobaan dan menarik kesimpulan umum dari percobaan-percobaan itu, untuk diuji dalam percobaan lebih jauh – dan dia menjadi sangat berpengaruh dan mengembangkan metode baru itu. Dengan tegas dia menyerang aliran-aliran filsafat tradisional dan mengembangkan suatu semangat baru untuk melakukan percobaan ilmiah.
"Semangat Bacon" menimbulkan perubahan yang luar biasa pada hakikat tujuan penelitian ilmiah. Sejak zaman kuno tujuan ilmu adalah untuk mencari kearifan, dengan memahami tatanan alam dan kehidupan yang harmonis dengan alam. Ilmu dicari " demi keagungan Tuhan", atau seperti ungkapan Cina, untuk "mengikuti tatanan alam" dan "mengalir dalam aliran Tao." Semua ini merupakan tujuan-tujuan yin, atau bersifat integratif; sikap dasar ilmuan adalah ekologis, seperti ungkapan kita dewasa ini. Pada abad ketujuh belas sikap ini berubah menjadi lawan kutubnya; dari yin ke yang, dari integrasi ke penonjolan diri. Sejak Bacon, tujuan ilmu berubah menjadi pengetahuan yang dapat digunakan untuk menguasai dan mengendalikan alam, dan sekarang baik ilmu maupun teknologi digunakan untuk tujuan-tujuan yang sama sekali antiekoligis.
Istilah-istilah yang digunakan oleh Bacon dalam mengembangkan metode penelitian empiris barunya tidak hanya penuh semangat tetapi juga sangat kejam. Dalam pandangannya, alam harus "diburu dalam pengembaraannya", "diikat dalam pelayanan", dan dijadikan "budak". Alam harus "dimasukkan ke dalam kerangkeng", dan tujuan ilmuan adalah "mengambil rahasia alam secara paksa". Sebagian besar dari gambaran kekerasan ini tampak diilhami oleh pengadilan terhadap para ahli sihir pada zaman Bacon. Sebagai seorang jaksa penuntut umum bagi Raja Charles I, Bacon sangat dekat dengan tuntutan-tuntutan semacam itu, dan karena alam biasanya dipandang sebagai wanita, maka tidaklah mengherankan jika dalam tulisan-tulisan ilmiahnya dia menggunakan metafora-metafora yang biasa di gunakan di pengadilan. Memang, pandangannya tentang alam sebagai wanita yang rahasia-rahasianya harus diambil secara paksa dengan menggunakan bantuan alat-alat mekanis menyiratkan dengan jelas praktik penyiksaan yang meluas terhadap para wanita dalam pengadilan pengadilan tukang sihir pada awal abad ketujuh belas. Dengan demikian, karya Bacon menjadi contoh penting pengaruh sikap patriarkhal pada pemikiran ilmiah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini