Selasa, 17 Maret 2015

Tugas 1. Sosped_Risna Siti Rahmah_Isu-isu penting pedesaan

Pendahuluan

Kehidupan dalam masyarakat dapat dilihat dari berbagai macam aspek sesuai dengan bidang yang dibutuhkan. Begitu pula dengan isu-isu penting tentang pedesaan, isu-isu penting tentang pedesaan banyak ditemukan dalam berbagai aspek. Sebelum membahas mengenai isu-isu penting tentang pedesaan maka, terlebih dahulu kita mengetahui pengertian desa dan masyarakat pedesaan.

Desa adalah salah satu bentuk kuno dari kehidupan bersama; tinggal bersama sebanyak-banyak beberapa ribu orang, yang hampir semuanya saling mengenal. Kebanyakan yang termasuk didalamnya hidup dari pertanian, perikanan dan sebagainya; usaha-usaha yang sangat dipengaruhi oleh hukum dan kehendak-kehendak alam. Dalam tempat inggal itu terdapat ikatan-ikatan keluarga yang rapat, ketaatan pada tradisi dan kaidah-kaidah sosial. Jiwa keagaman yang tumbuh dengan kuatnya, untuk sebagian disebabkan oleh perasaan tergantung pada alam. (F. J. Bouman dalam Djoko Pranowo)

Pengertian tentang desa ini dikemukakan oleh seorang Sarjana Sosiologi Barat. Tetapi karena masalah perbedaan desa dan kota bersifat universal, berlaku untuk semua wilayah di dunia, maka masyarakat Indonesia pun juga dapat diterima dan memang keadaan di Indonesia adalah sesuai dengan apa yang dikemukakan.

Desa menurut Undang-undang RI No. 5 tahun 1979, menyatakan desa adalah wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai satu kesatuan masyarakat yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung dibawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Republik Indonesia.

Namun demikian, pengertian tentang desa secara umum lebih sering dikaitkan dengan masyarakat agraris (CST Kansil, 1988: 23). Ciri utama yang melekat pada desa adalah fungsinya sebagai tempat tinggal (menetap) dari suatu kelompok masyarakat yang lebih kecil.

Isu-isu penting tentang pedesaan dapat dijabarkan secara luas dari beberapa referensi yang ada, banyak yang dapat digambarkan dari kehidupan di pedesaan. Warga desa terkenal atau identik dengan kehidupan sosial yang erat hingga kenal satu dengan yang lain. Hal ini disebabkan mereka hidup dalam tempat tinggal terbatas, dukuh, desa. Pada mereka belum terdapat birokrasi dan spesialisasi, sehingga hampir semua kebutuhan yang memerlukan kerja berat, mereka lakukan secara bersama-sama. Semua itu diwujudkan dengan bergotong-royong.

Selain itu, kolektivisme masyarakat desa sangat dominan. Mereka menghormati kaidah-kaidah sosial yang ada. Melanggar atau menyimpang dari kaidah sosial yang ada berarti menentang kolektivisme, seorang yang melanggar akan digunjingkan orang, bahkan dapat dikucilkan.

Disetiap masyarakat, baik yang masih bersahaja maupun yang sudah modern disana pasti ada seorang pemimpin. Di pedesaan juga terdapat seorang pemimpin, pemimpin disana ada yang formal atau informal. Masing-masing mempunyai peranan dan fungsi tersendiri, dan masing-masing mempunyai cara-cara menegakkan kepemimpinan yang berbeda satu sama lain. Isu-isu penting tentang pedesaan salah satunya adalah bagaimana kepemimpinan, sistem kekuasaan dan wewenang di pedesaan.

 

Pola Kepemimpinan Pedesaan

Kepemimpinan (leadhership) merupakan suatu keadaan untuk proses penganutan orang banyak kepada seseorang atau kelompok tertentu karena kelebihan-kelebihannya di bidang pengetahuan, kekuasaan atau lainnya, sehingga pihak tersebut mampu mempengaruhi orang yang mengikutinya (Soekanto 1933 dalam Syamsir Salam dan Amir Fadhilah 2008). Pola kepemimpinan dalam masyarakat desa dapat dibedakan menjadi dua, yaitu pola hierarki otoritas legal rasional dan pola paternalistik. Pola kepemimpinan legal formal merupakan tipe kepemimpinan berdasarkan keputusan birokrasi formal ataupun berdasarkan peraturan yang ada. Sedangkan tipe paternalistik adalah tipe kepemimpinan yang kebepakan dengan sifat-sifat antara lain: menganggap bawahan (orang yang dipimpinnya) sebagai anaknya sendiri yang perlu dikembangkan, bersikap terlalu melindungi (over protective), jarang memberikan kesempatan kepada orang yang dipimpinnya untuk berinisiatif dan selalu bersikap serba tahu (Kartono 1994).

Pimpinan yang berwenang dalam pemerintahan desa adalah kepala desa yang berperan memimpin anggota pamong desa dalam menjalankan kewajibannya, sesuai dengan pembagian tugas yang telah ditetapkan untuk masing-masing pamong desa.

Biasanya terdiri dari beberapa orang, yaitu: (1) Carik, yaitu pamong desa yang bertugas menangani tata usaha desa dan berperan sebagai sekretaris desa. (2) Kamituwa (bau), yaitu pamong desa yang bertanggungjawab atas masing-masing dukuh dan berfungsi sebagai wakil lurah. (3) Kabayan, yaitu pamong desa yang bertugas menyampaikan instruksi kepala desa kepada penduduk sesuai dengan bagiannya masing-masing (seperti: kepala urusan (kaur) pemerintahan, kaur pembangunan). (4) Lebe (modin), yaitu pamong desa yang bertugas menangani bidang keagamaan dan kesejahteraan sosial (kaur kestra). (5) Ulu-ulu, yaitu pamong desa yang bertugas mengatur tata irigasi pertanian. (6) Jagabaya, yaitu pamong desa yang bertugas mengurusi keamanan desa.

Lurah dipilih dari kalangan penduduk desa dan digaji oleh desa melalui hak pemanfaatan tanah bengkok dan berbagai pungutan lainnya. Kondisi ini menyebabkan jabatan sebagai kepala desa seringkali diperebutkan oleh warga desa. Berdasarkan jabatannya kepala desa tidak hanya mendapatkan tanah bengkok yang cukup luas dan tenaga kerja yang cuma-cuma atau dengan imbalan upah yang sangat sedikit untuk menggarap tanah-tanah jabatannya, ia juga berkesempatan untuk menggunakan kekuasaan politiknya untuk lebih memperluas tanah miliknya sendiri.

Disisi lain jabatan kepala desa membawa sejumlah hak istimewa yang penting di bidang ekonomi. Sejak dulu kepala desa berhak atas apa yang dinamakan palagara (Nordholt 1987), yaitu pungutan-pungutan tetap yang ditetapkan atas musyawarah bersama pada saat lurah mulai memangku jabatannya untuk urusan-urusan yang disebutkan satu persatu seperti: khitanan, pernikahan, jual beli tanah, dan penjualan ternak besar.

Sejak tahun 1971 masa jabatan kepala desa ditetapkan oleh pemerintah daerah selama 8 tahun, dan proses pergantiannya dilakukan melalui pemilihan kepala desa. Pemilihan di desa merupakan lembaga yang sudah lama diperkenalkan oleh Raffles selama pemerintahan peralihan Inggris pada awal abad kesembilan belas sekitar tahun 1811-1816. Melalui pilihan kepala desa proses pergantian tampuk kepemimpinan di desa dilaksanakan, proses pemilihan ini melibatkan seluruh warga desa baik sebagai pendukung aktif salah satu calon ataupun hanya ikut dalam proses pemungutan suara.

 

Kekuasaan dan Wewenang

Kekuasaan senantiasa ada di dalam setiap komunitas masyarakat, baik yang masih sederhana maupun yang sudah maju. Namun demikian meskipun ada dalam setiap masyarakat, kekuasaan tidak dapat dibagi rata kepada semua anggota masyarakat. Justru karena tidak dapat terbagi secara merata pada semua anggota masyarakat maka kekuasaan menjadi lebih memiliki makna.

Menurut Kamus Sosiologi (Suryono, 1993: 387) kekuasaan diartikan sebagai suatu kemamuan untuk mempengaruhi pihak lain sedemikian rupa, sehingga pihak tersebut mengikuti pemegang kekuasaan tersebut. Dengan kata lain kekuasaan merupakan kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain menurut kehendak yang ada pada pemegang kekuasaan. Dengan demikian kekuasaan adalah pengguna sejumlah sumber daya (aset, kemampuan) untuk memperoleh kepatuhan (tingkahlaku menyesuaikan) dari orang lain (Andrain 1992). Kekuasaan pada dasarnya merupakan suatu hubungan, karena pemegang kekuasaan menjalankan kontrol atas sejumlah orang lain.

Bentuk kekuasaan dalam setiap masyarakat beragam dan mempunyai pola masing-masing. Kekuasaan yang ada pada satu individu ataupun kelompok bila memperoleh pengakuan dari masyarakat, maka kekuasaan tersebut menjadi wewenang (Pudjiwati, 1985: 65 dalam Syamsir Salam dan Amir Fadhilah, 2008). Konsep wewenang berkaitan dengan tiga aspek (Peter M. Balu et al, 1987: 88 dalam Syamsir Salam dan Amir Fadhilah, 2008), yaitu: Pertama, konsep wewenang dikaitkan kepada hubungan antara orang-orang dan bukan melambangkan individu. Kedua, wewenang melibatkan pemberlakuan kontrol sosial yang bertumpu pada kerelaan bawahan dengan pengarahan-pengarahan tertentu dari atasan. Ketiga, wewenang merupakan suatu pola interaksi yang dapat ditinjau dan bukan suatu definisi kedinasan dari hubungan sosial.

Di dalam masyarakat kecil dan sederhana susunannya, maka pada umumnya kekuasaan dipegang oleh seorang atau sekelompok orang meliputi bermacam bidang, sehingga terdapat gejala yang kuat bahwa kekuasaan itu lambat laun diidentifikasikan dengan orang yang memegangnya. Gejala lain di dalam masyarakat yang kecil dan sederhana adalah tidak ada perbedaan yang jelas antara kekuasaan (yang tidak sesuai) dan wewenang (yang asli).

Tindakan-tindakan sosial individu dengan segenap maknanya membentuk bangunan struktur yang terus berkembang menjadi suatu otoritas yang memperoleh legitimasi terhadap tindakan sosial tersebut. Weber mengidentifikasi tiga dasar legitimasi yang utama dalam hubungan otoritas, yaitu (1) Otoritas Tradisional. Tipe otoritas ini berlandasakan pada suatu kepercayaan yang mapan terhadap kedudukan tradisi zaman dahulu. (2) Otoritas Legal Rasional. Otoritas ini didasarkan pada komitmen terhadap seperangkat peraturan yang dipandang secara resmi dan diatur secara impersonal. (3) Otoritas Kharismatik. Otoritas ini didasarkan pada mutu luar biasa yang dimiliki pemimpin sebagai seorang pribadi. Max Weber sendiri berpendapat bahwa tidak ada kepemimpinan yang murni berpegang atau bertumpu pada salah satu dari ketiga macam dasar tersebut. Tetapi pada umumnya seorang pemimpin bertumpu pada ketiga macam tersebut secara bersamaan. Hanya perbedaanya terletak pada macam yang mana yang lebih kuat atau lebih dominan.

Pemimpin yang ada di desa biasanya adalah pemimpin informal yang menerima status kepemimpinan atas dasar sukarela dari warga desa. Di bawah kepemimpinan informal biasanya segala sesuatu akan dapat berjalan dengan lancar. Pada umumnya orang-orang desa yang sederhana dalam berpikir dan berkebudayaan memberikan kepatuhannya kepada pemimpinnya lebih disebabkan pemimpin itu memang masih keturunan orang-orang yang berpengaruh. Jadi kepemimpinan tradisional. Dan lazimnya para pemimpin informal di pedesaan yang mendapat status lebih di masyarakat desa berusaha menegakkan kewibawaannya bertumpu juga pada kharismatik.

Sebagai contoh di kalangan masyarakat Islam di desa peran Ulama atau Kyai adalah juga sebagai pemimpin informal. Masyarakat Islam di pedesaan masih mempunyai anggapan positif terhadap Ulama atau Kyai, mereka beranggapan bahwa Ulama dan Kyai biasanya amal perbuatannya dianggap baik dan benar. Ulama dan Kyai merupakan figur terhormat tempat orang-orang bertanya tentang Agama. Bahkan tidak keberatan untuk ikut memecahkan kesulitan-kesulitan yang bersifat keluarga daripada warga desa.

Kepemimpinan tipe tradisional dan kharismatik sekarang sudah mulai luntur dan berkurang pengaruhnya.

Hal ini disebabkan karena semakin majunya pendidikan di kalangan pemuda di desa. Mereka telah memiliki pendidikan yang tinggi. Mereka lebih rasional dan lebih kritis. Angkatan pemuda di pedesaan lebih realistis. Mereka telah memiliki ukuran-ukuran rasional untuk memberikan kepatuhan pada seseorang. Kemauan untuk tunduk dan patuh lebih didasarkan pada pertimbangan akal pikiran. Mereka semakin tidak memperdulikan faktor keturunan dalam memberikan penghormatan pada seseorang. Tetapi penghormatan akan diberikan kepada siapa saja yang berjasa pada masyarakat.

Maka para pemimpin tradisional dan kharismatik akan kehilangan wibawa dan pengaruh apabila kepemimpinan mereka tidak segera ditunjang dengan kepemimpinan yang bersifat rasional. Artinya bahwa para pemimpin informal di pedesaan juga harus segera memperbarui cara memimpin masyarakat. Kepemimpinan itu seharusnya dapat diterima oleh masyarakat, sebab berdasar pertimbangan akal sehat perintah pemimpinn itu pantas ditaati, sebab perintah itu memang benar dan memberi manfaat bagi semua orang.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Pranowo, Djoko. 1985. Masyarakat Desa Tinjauan Sosiologi. Surabaya: PT Bina Ilmu.

Salam, Syamsir dan Amir Fadhilah. 2008. Sosiologi Pedesaan. Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Sajogyo dan Pudjiwati Sayogyo. 1996. Sosiologi Pedesaan Kumpulan Bacaan Jilid II. Yogyakarta: Gadjah Mada University PRESS.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini