nama : Ikrima Nur Alfi
prodi : Pengembangan Masyarakat Islam
nim : 11140540000015
Pendahuluan
Paradigma Sosiologi yang mengkaji masalah konflik sosial adalah paradigma fakta sosial, salah satu varian teori dari paradigma ini adalah teori konflik dengan tokoh utamanya adalah Ralp Dahrendorf. Teori ini dibangun dalam rangka untung menentang secara langsung terhadap Teori Fungsionalisme Struktural.
Konflik merupakan suatu tingkah laku yang dibedakan dengan emosi-emosi tertentu yang sering dihubungkan dengannya, seperti kebencian ataupun permusuhan. Konflik dapat terjadi pada lingkungan kecil, yaitu individu maupun ligkungan luas, yaitu masyarakat.
Dinamika Masyarakat dan Sosiologi Konflik
Istilah ilmu sosiologi diciptakan oleh Aguste Comte (1798-1857), seorang ilmuan dari perancis. Awalnya Comte menamai ilmu sosiologi sebagai fisika sosial namun diubahnya karena istilah itu sudash digunakan oleh orang lain. Comte meyakini ilmu sosiologi harus bersifat sains (scientific) dengan landasan filsafat positif (positive philosophy).Kelahiran ilmu sosiologi ini tidak lepas dari dinamika sosial masyarakat Eropa, Perancis khususnya di mana Comte hidup, pada wakti itu.Revolusi politik di Perancis pada tahun 1789 melahirkan harapan baru terhadap politik liberal yang diperjuangkan sejak kekuasaan monarki absolute para kaisar di Eropa.Walaupun demikian, revolusi ini juga menyebabkan kekacauan sosial dan ketidakmapanan struktur masyarakat.Comte merumuskan filsafat positif yang semangatnya adalah mengembalikan masyarakat yang damai tanpa mereduksi kemerdekaan berpolitik.
Revolusi industry di Eropa yang mengubah model produksi tradisional menjadi model produksi modern menghasilkan produk secara masal telah ikut berperan dalam mengubah struktur sosial masyarakat Eropa di awal abad ke-19.Kemunculan kelompok-kelompok pemilik modal yang menguasai sistem produksi telah menyebabkan ketertindasan kalangan yang tidak memiliki modal kecuali tenaga. Latar belakang masyarakat inilah yang menjadi perkembangan analisis konflik dalam sosiologi di Eropa seperti konflik kelas Karl Marx.
Pengamatan terhadap fenomena konflik dan dinamika sosial juga sudah muncul di Afrika beberapa abad sebelum kelahiran sosiologi secara formal di Eropa.Pada abad ke-14 pada masa awal keruntuhan khalifah Abbasiyah akibat invasi bangsa Mongol.Masa ini ditandai oleh kekuasaan yang silih berganti dan tatanan politik yang labil.Berbagai kelompok kepentingan berbasis pada tribal melakukan gerakan kudeta terhadap kekuasaan negara sehingga menciptakan masyarakat dinamis secara politik.Konteks dinamika masyarakat dan konflik ini yang kemudian dianalisis oleh Ibnu Khaldun.Analisis tersebut melahirkana teori konflik kelompok dan hukum sosial konflik masyarakat.
Masyarakat selalu mengalami perubahan sosial baik pada nilai dan strukturnya baik secara revosioner.Perubahan-perubahan tersebut dipengaruhi oleh gerakan-gerakan sosial dari individu dan kelompok sosial yang menjadi bagian dari masyarakat. Gerakan sosial dalam sejarah masyarakat dunia bisa muncul dalam bermacam bentuk kepentingan, seperti mengubah struktur hubungan sosia, mengubah pandangan hidup, dan kepentingan merebut peran politik (kekuasaan). Ilmu sosiologi, khususnya sosiologi konflik dilahirkan oleh perubahan-perubahan sosial dan dinamika gerakan sosial dari masa klasik sampai kontemporer.Bisa dikatakan, menurut Kornblurn, sosiologi menjadi bagian dari gerakan sosial itu sendiri karena seorang ilmuan sosial dalam sejarahnya adalah re-former.(kornblurn,2003).
Dinamika Perubahan Masyarakat Pedesaan
Sasrodiharjo (1972) dengan mengambil setting masyarakat Jawa, menggambarkan munculnya kelas-kelas pemasaran di Jawa mengakibatkan terjadinya perubahan dalam struktur masyarakat, yang akhirnya merubah status dan kedudukan anggota masyarakat.Dalam pemikiran Karl Marx penguasaan alat produksi merupakan saluran bertindak yang vital bagi kelas penguasa, hal ini dapat diterapkan pada masyarakat yang telah memiliki alat produksi yang sempurna.Sedangkan pada masyarakat yang alat produksinya belum sempurna sangat tergantung penguasaan pemasaran. Pada keadaan tertentu dimana pemasaran sudah melebihi batas optimum, maka kelas konsumen akan melakukan mobilitas vertikal menjadi kelas pemasaran.
Sejarah menunjukan bahwa kerajaan-kerajaan Jawa telah ada gejala perubahan pemasaran antara golongannya yang satu dengan golongan yang lain. Pada Zaman Majapahit, pemasaran bahan bahan penting dikuasai oleh kerajaan meskipun tidak scara langsung. Pegawai negara dan para pujangga tidak diperkenankan berdagang sendiri tetapi dari tanah jajahan ditarik upeti dan pajak.Namun ketika Majapahit mengalami kemunduran, maka pemasaran dikuasai oleh para bupati di daerah yang sudah tidak menghiraukan lagi kekuasaan Majapahit.Dengan demikian pemasaran dikuasai para raja bekas bawahan Majapahit khususnya kawasan pesisir Jawa, dengan melakukan monopoli terhadap pemasaran bahan bahan pokok dari Indonesia Timur ke Malaka.Disini dapat kita lihat terjadinya perebutan pemasaran yang berdampak pada munculnya kelas pemasaran baru yang dikuasai oleh para raja Jawa Islam. Pada masa itu terjadi proses mobilitas vertikal yang dilakukan oleh raja Jawa Islam yang membawa nilai-nilai dan norma-norma baru (Agama Islam) dalam masyarakat yang sebelumnya didominasi oleh budaya Hindu. Namun sejak kedatangan V.O.C, maka seluruh kelas pemasaran Jawa dihapus dan pemasaran dikuasai Belanda, sedangkan pemasaran perantara diserahkan kepada 'orang-orang timur asing' yang sebagian diskusi oleh bangsa Tionghoa. Hilangnya kelas pemasaran Jawa menyebabkan terjadinya kemunduran kebudayaan karena jarak antara raja dengan rakyatnya semakin jauh, sementara itu pemerintah colonial menerapkan kerja paksa dan VOC menuasai pemasaran.
Sastrodihardjo menggambarkan munculnya kelas pemasaran di Jawa dalam empat fase: (1) permulaan abad ke20, (2) zman sekitar Malaise dan menjelang Perang Dunia II, (3) zaman kependudukan Jepang, (4) zaman kemerdekaan. Pada permulaan abad ke-20 komunitas Tionghoa menguasai pemasaran kelas menengah dan menguasai konsumen terutama dalam industry Batik yang bahan bakunya diimpor dari Eropa sehingga pengusaha pribumi harus membeli ke mereka.disisi lain pengusaha timur asing juga menguasai harga jual yang mereka tawar lebih rendah sehingga terjadi persaingan pemasaran yang tidak seimbang dengan pengusaha pribumi. Kondisi ini mendorong timbulnya gerakan protes yang dimotori oleh Serikat Dagang Islam (SDI) terhadap sistem pemasaran yang dikuasai oleh pengusaha pemasaran kelas menengah.
Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa jarak sosial antar segmen masyarakat rural dengan urban tidak terjembatani yang berdampak pada munculnya gerakan-gerakan sosial politik.Para pengurus SI dengan memakai ikatan tali keagamaan mampu memobilisasi pergerakan penduduk dalam melawan dominasi-dominasi kekuatan asing.Dengan demikian variable-variabel yang berpengaruh terhadap perubahan di Madura, disamping faktor ekonomi dan ekologi serta kekuasaan colonial juga tidak lepas dari perkembangan politik berorganisasi di media agama.
Pengembangan Wilayah Pedesaan
Pola pengembangan wilayah pedesaan dirasakan sangat penting, karena struktur ekonomi pedesaan berada dalam keadaan yang tidak menguntungkan dibandingkan dengan struktur ekonomi kota. Struktur ekonomi pedesaan didasarkan pada pertukaran jasa atau pertukaran tenaga kerja, karena kurang tersedianya uang dan tidak adanya kemampuan untuk mengelola uang.(Sasrodihardjo.S, 1971). Biro pusat statistik mendasarkan perbedaan antara kota dan desa atas tersedianya fasilitas-fasilitas tertentu dan berdasarkan atas kriteria ini dibuatlah peta-peta indeks untuk beberapa daerah, misalnya untuk Jawa Tengah dan D.I.Yogyakarta. (Biro Pusat Statistik1982). Jika kita teliti lebih lanjut, kriteria BPS ini didasarkan pada fasilitas-fasilitas yang memerlukan uang seperti jalan raya, sekolah-sekolah, rumah sakit dan fasilitas-fasilitas yang mendatangkan uang seperti pasar, industry, bank, kantor pos dan sebagainya.
Tidak tersedianya uang menyebabkan digunakannya tenaga kerja sebagai pengganti uang.Keadaan demikian memang dipertahankan oleh pemerintah colonial Belanda dahulu.Hal ini karena pemerintah kolonial membutuhkan tenaga kerja murah guna keperluan pabrik gula dan perkebunan-perkebunan. Jika keadaan itu kini dipertahankan, maka akan terjadi kesulitan didalam tinggal landas menuju kearah industrialisasi. Hal ini sebabnya, system ekonomi uang dan system ekonomi jasa tidak dapat langsung mengadakan hubungan.
Jika sebagian besar dari ekonomi kita masih berada dalam tahap ekonomi jasa, kita akan sangat tergantung pada negara-negara perantara. Demikian pula jika keadaan ini dipertahankan, ekonomi pedesaan akan sangat tergantung pada pedagang-pedagang perantara, yang akan lebih banyak mendapat keuntungan jika dibandingkan dengan para petani yang menjadi produsennya. Contohnya ialah mandor sebagai perantara antara masyrakat pedesaan dengan pabrik, khususnya pabrik gula di Jawa. Demikian pula terdapat pedagang pedagang perantara dalam perdagangan ternak, yang mempunyai nama khusus dalam bahasa daerah, ada makelar dan sebagainya. Untuk membantu masyarakat pedesaan, maka hubungan antara produsen dan konsumen harus diperpendek.Hal ini menyangkut persoalan pemasaran.
Dengan adanya struktur yang ditimpang ini, terdapat kecenderungan untuk lebih banyak menitikberatkan kepada pembangunan masyarakat kota. Sebab, hasilnya Nampak dengan cepat, berkat adanya fasilitas yang tersedia. Kebijaksanaan ini antara lain tercermin pada adanya pusat-pusat pengembangan atau growth centres. Yang dijadikan pusat-pusat pengembangan ialah kota-kota yang mempunyai penghasilan tinggi dan di harapkan pengembangannya dapat memengaruhi kota-kota didekatnya.Untuk Sulawesi ke Timur, ujungpandang dijadikan pusat pengembangan.Akibatnya ialah, bahwa daerah-daerah yang terlalu jauh letaknya dari pusat-pusat pengembangan ini, tidak atau kurang tersentuh oleh pembangunan. Maka munculnya kebijaksanaan untuk menetapkan kajian pengebangan wilayah pedesaan dapat dianggap sebagai pengisi kekurangan-kekurangan yang di timbulkan oleh system itu growth centres. Dengan cara ini diharapkan pembangunan dapat lebih merata dan menyeluruh. Bagi perguruan tinggi merupakan tantangan untuk menangani persoalan ini.Memang usaha ini merupakan usaha yang berat, yang harus dilakukan pendekatannya oleh beberapa disiplin, sehingga dengan demikian setiap disiplin ilmu dapat dikembangkan bersama-sama untunk mencapai tujuan dimaksud.
Secara diam-diam, efek ekonomi uang dan industrialisasi sudah terasa diberbagai bagian dari tanah air kita. Industry-industri dengan teknologi tinggi akan memasuki daerah-daerah pedalaman, jika tidak kita persiapkan sedini mungkin, maka yang pertama kali terdesak adalah mereka yang berada dalam system ekonomi jasa. Hal ini disebabkan, modal berupa uang sangat langka, sedangkan modal berupa tenaga kerja terdapat dalam jumlah yang sangat besar. Akibatnya hokum ekonomi biasa akan berlaku, penawaran jasa melimpah, penawaran uang sedikit.
Adalah menjadi kewajiban kita juga bagi perguruan tinggi untuk mempersiapkan penduduk pedesaan, agar mereka dapat menyambut modernisasi dengan perasaan tenang.Untuk keperluan ini, diperlukan pengembangan tata kerja, berdasarkan atas analisis yang mendalam dari masyarakat pedesaan itu sendiri.
Daftar Pustaka
Susan, Novri. 2008. Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-isu Konflik Kontemporer. Jakarta: KENCANA.
Salam, Syamsir dan Amir Fadhilah. 2008. Sosiologi Pedesaan. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah
Soedjito. 1987. Aspek Sosial Budaya dalam Pembangunan Pedesaan. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar