Nama saya Reza Armanda, sekarang saya duduk di kelas 1a jurusan jurnalistik di UIN. Saya lahir di pertengahan tahun 1994 tepatnya tanggal 30 juni pada pukul 23.30 wib.
"kenapa anda memilih jurusan jurnalistik?". Itu hal kedua yang ditanyakan oleh bapak Tantan Hermansah selaku dosen sosiologi kepada saya. "umm, asik aja pak, gak membosankan". Hanya itu yang dapat saya jawab, saat itu. Ya, saat itu saya terlambat masuk kelas beliau. Rasa kantuk yang menggerogoti mata saya sudah tak tertahankan lagi. Waktu 10 menit istirahat setelah pelajaran bahasa arab itu saya pergi ke kantin. Saya setel sebungkus kopi kapal api hitam dan dua buah gorengan supaya tetap melek. Tapi si kantuk tak kunjung sirna, saat melihat jam ternyata sudah 09.25 menit. Saya bergegas pergi ke lantai 5, eh dosennya udah stand by. Baru saja saya mendarat di kursi, nama saya langsung di panggil. "sekolahnya di mana?" itulah hal pertama yang diajukan oleh pak Tantan, semua dosen juga menanyakan hal yang sama. Saat menjawab pertanyaan yang kedua saya bingung mau jawab apa. Saya memang termasuk orang yang lambat respon dan pelupa tapi bukan kikuk atau telmi. Padahal saya sudah menyiapkan jawaban yang lebih bagus dan lebih keren jika dibandingkan dengan jawaban asbun tadi. Setelah itu baru saya terpikir lagi,"kenapa saya hanya menjawab begitu? Atau "kenapa saya nggak jawab begini?".
Cita-cita saya ingin jadi apa?
Saya pernah menjadi anggota di teater di sekolah, mentor kami menawarkan untuk bermain di sebuah mini drama di televisi swasta di kota saya. Itu pengalaman syuting pertama saya. Exciting-lah pokoknya. Selesai syuting terpikir lagi "kok cuma segitu actingnya? Masih kurang, harusnya tadi saya dialognya begini aja biar lucu". Tapi syuting sudah selesai, saya tidak bisa mengulangnya lagi. Saya kecewa, semoga tidak ada teman yang menonton drama itu. Saat kelas 2 sma, guru memberikan tugas akhir untuk membuat sebuah film dengan kami sebagai pemainnya. "Kesempatan" saya pikir. Saya harus memberikan yang terbaik supaya tidak memalukan lagi kayak dulu. Itu pengalaman pertama saya menjadi cameramen, editor dan sutradara. Begini sensasinya megang kamera dan jadi sutradara. Tapi setelah filmnya selesai, baru terpikir lagi "durasinya pendek amat, adegannya kurang harusnya ditambah lagi". Mau bagaimana lagi, soalnya bukan saya yang bikin skenario. Tapi pemain lain sudah nggak ada lagi yang mau syuting, udah capek. Lalu kelompok lain meminta bantuan saya dalam film mereka. Mungkin mereka melihat bakat dan kesungguhan saya, membuat mereka tertarik merekrut saya. Dengan senang hati saya bergabung dengan mereka. Saya merangkap asisten sutradara dan cameramen. "Jadi tidak ada peran nih buat saya?". "ya nggak lah soalnya semua pemain utama udah terisi, tapi kalau mau kamu bisa jadi figuran". Haha jadi kerjaan saya cuma jadi orang yang suka nyelip di antara scene gitu. Boleh juga, setidaknya saya bisa bereksperimen dan tidak terikat aturan. Akhirnya film itu selesai, walaupun jadi figuran tapi saya puas karena bisa meluapkan semua keinginan saya. Sekedar info, film kami itu di adaptasi dari film india "3 idiot". Tentu saja tidak sebagus film aslinya, perbandingannya 10:1.
Saya tidak berani untuk mengatakan dengan pasti apa cita-cita saya. Namun saya mempunyai impian yang sangat banyak. "impian manusia tidak akan pernah berakhir" itu kutipan favorit saya dari sebuah tokoh fiksi. Dan saya akan terus berjuang mewujudkan mimpi-mimpi itu. Biarpun hanya sebatas mimpi.
Saya selalu ingin tampil beda. Jika orang lain pake kemeja, saya akan pake kaos oblong. Jika orang lain memilih putih, saya pilih hitam. Jika orang lain ribut, saya diam. Begitu juga sebaliknya. Mungkin itu juga alasan mengapa saya memilih jurusan jurnalistik.
Menjelang kelulusan sma, banyak orang bertanya,"kamu mau masuk mana, kalo lulus nanti?". Dan teman-teman saya akan menjawab,"saya mau masuk kedokteran". Saya pikir, kalo semua orang jadi dokter, siapa yang jadi pasiennya? Pilihan yang lain,"saya mau masuk hukum". Kalau semua orang jadi hakim siapa yang jadi penjahatnya? Terus,"saya mau masuk teknik". Untuk yang satu itu saya tidak dapat memberi komentar karena saya sendiri ingin belajar teknik informatika. Tapi urung karena PPA saya ditolak. Selama beberapa bulan saya galau. Apakah saya harus pilih manajemen? Atau kehutanan? Entahlah.
Saya ikut bimbingan belajar di ganesha operation selama setahun. Ada buku tentang kisi-kisi snmptn yang juga berisi pilihan jurusan kuliah. Disana saya melihat ada jurusan yang menarik, yaitu kriminologi. Baru pertama kali saya dengar jurusan seperti itu. Jurusan itu adanya di UI. Basicnya emang hukum namun lebih focus pada kriminal dan terorisme. Saya mulai mencari informasi tentang jurusan tersebut, dari internet, tanya sama guru,"oh bagus kriminologi itu, tugasnya membantu kepolisian". Tanya sama teman,"cocok jak!! Kau cocok jadi kriminal. Kriminologi itulah jalan kau jak". Siiip, pilihan sudah ditetapkan. Saya tidak perlu bingung lagi kalo ditanya,"kuliah nanti ambil apa?". Dengan percaya diri akan kujawab,"Kriminologi - UI." Gotcha B).
Namun timbul masalah lain. "PILIHAN KEDUA". Sengaja saya pakai huruf kapital biar lebih dramatis. Setiap siswa dapat memilih 2 pilihan jurusan. Saya lupa. Benar-benar lupa. Pilihan pertama saja saya harus mengahabiskan waktu 3 bulan menggalau, masa harus galau lagi selama 3 bulan. Bisa kurus badan saya. Saya ambil teknik informatika. Kembali ke pilihan awal.
Sampai akhirnya, para alumni dari sekolah berdatangan untuk melakukan sosialisasi sekaligus promosi universitas mereka. Dari sana saya dapat informasi mengenai jurusan ilmu komunikasi. Lulusan komunikasi dapat bekerja di stasiun tv swasta, contohnya di unpad telah menjalin hubungan dengan trans corp. Dengan begitu, saya bisa jadi kameramen lagi atau mungkin photographer. Pilihan kedua adalah ilmu komunikasi. Tapi universitanya yang mana? Komunikasi biasanya berada di bawah akuntansi dan ekonomi. Itu menunjukkan banyaknya peminat terhadap jurusan tersebut. Jika pilihan pertama saya kriminologi UI yang akan mengeluarkan biaya sangat besar dan sulit mendapatkannya, maka pilihan kedua harus yang sebaliknya. Saya cari lagi info tentang universitas, dan disana ada jurusan jurnalistik. Bukankah jurnalistik itu anaknya ilmu komunikasi ya?? Seandainya saya jadi reporter atau wartawan, mungkin saya bisa keliling dunia. Saya bisa melihat isi dunia dengan mata kepala sendiri. Atau bisakah saya jadi sutradara? Atau editor? Atau pemain film mungkin? Entahlah. Yang jelas, sekarang saya sudah menjadi mahasiswa di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
to be continued
Tidak ada komentar:
Posting Komentar