Seluruh Negara yang ada di bumi ini memiliki satu wilayah yang dapat dikatakan sebagai Ibu Kota Negara. Begitupun dengan Negara Indonesia. DKI Jakarta menjadi Ibu Kota Negara dari Republik Indonesia (RI). Menjadikannya sebagai pusat pemerintahan, pusat informasi dan komunikasi, pusat ekonomi, pusat bisnis mulai dari bisnis berskala kecil hingga besar, sampai menjadi pusat berbagai macam permasalahan dan persoalan tumbuh dan berkembang menjadi satu di Ibu Kota ini.
Realita kehidupan kota saat ini adalah obesitas di seluruh aspek kehidupannya. Kehidupan kota ini didiagnosa mengalami obesitas. Pengangguran, kemiskinan, kemacetan, polusi udara, kebisingan, ketegangan mental, kriminalitas, kenakalan remaja, seksualitas dan sebagainya menjadi permasalahan yang sulit di atasi. Permasalahan-permasalahan ini kian lama kian mencolok. Penyakit obesitas perkotaan ini kian hari kian memburuk. Hanya tinggal menunggu waktu untuk runtuh bahkan mati. Sedangkan yang sehat semakin sehat. Ini terjadi di semua aspek kehidupan di era saat ini. Golongan yang mampu makin berkuasa dan makin kaya sedangkan golongan miskin semakin bertambah miskin hingga sengsara. Polusi udara kian hari mengalami obesitas. Bertambah banyak kendaraaan tanpa dibarengi dengan kewajiban menanam pohon. Begitu halnya dengan kemacetan. Kian hari keluhan masyarakat ditujukan kepadanya. Kemacetan menderita obesitas juga. Bertambah banyak volume kendaraan tanpa diimbangi dengan bertambah luas dan lebarnya jalan raya. Dalam hal ini tidak hanya dalam hal lingkungan fisik kota itu saja yang obesitas (berlebihan) tetapi juga dalam lingkungan sosialnya (masyarakatnya). Masyarakat kota telah diklaim akan sikap individualisnya. Hal ini bisa dilihat dari beberapa contoh, seperti:
1. Sikap kurang akrab antar tetangga pada suatu kompleks perumahan atau perkampungan, karena masing-masing orang telah sibuk dengan urusannya sendiri.
2. Masing-masing tetangga merasa tidak perlu menyapa apabila bertemu di jalan, karena merasa tetangga tersebut adalah orang asing baginya. Kemungkinan lain adalah tidak terpikirkannya orang tersebut untuk menyapa, karena pikirannya memang sudah dipenuhi dengan berbagai kesibukan kerja hari itu.
3. Kurangnya tenggang rasa dalam bersikap dan berbuat.
Dengan adanya fenomena di atas dan melihat sifat kehidupan kota yang cenderung individualis karena hanya saling mengenal jika ada perlunya saja atau sesuai perannya saja maka dapat dikatakan bahwa sifat hubungan personal masyarakat kota tidak bersifat primer, namun lebih bersifat sekunder (berdasarkan peran dan atributnya). Sikap ini berbeda jauh dengan sikap masyarakat desa. Di kota sikap seperti ini sangat mudah ditemui. Hampir semua kalangan terhipnotis dengan kemewahan kota. Apalagi saat ini kecanggihan teknologi informasi sedang gencar-gencarnya di gandrumi. Sehingga kebiasaan bertamu sedikit demi sedikit luntur terkikis zaman. Digantikan dengan cara berkomunikasi melalui media elektronik seperti handphone dan internet.
Daftar Pustaka :
-H. Hartomo dan Arnicun Aziz, 2008, Ilmu Sosial Dasar, Jakarta: Bumi Aksara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar