Rabu, 11 September 2013

INdah Kurniawati_PMI 3_Tugas 1_Masalah-Masalah Sosiologi Perkotaan

Kota menurut definisi universal, adalah sebuah area urban yang berbedadari desa ataupun kampung berdasarkan ukurannya, kepadatan penduduk,kepentingan, atau status hukum. Dalam konteks administrasi pemerintahdi Indonesia, kota adalah pembagian wilayah administratif di Indonesiasetelah provinsi, yang dipimpin oleh walikota. Kota adalah sebuahteritori yang pengertiannya terus berubah sejalan dengan dinamika kotaitu sendiri.

Beberapa definisi (secara etimologis) "kota" dalam bahasa
lain yang agak pas dengan pengertian ini, seperti alam bahasa cina,
kota dinding, dan dalam bahasa belanda kuno, kota, tuin, bisa berarti
pagar. Dengan demikian kota adalah suatu batas.
A. Beberapa masalah dalam kehidupan kota
Kehidupan kota bagi siapa pun merupakan impian untuk menikmatinya.
Kota masih menjadi magnet bagi setiap orang agar menikmati fasilitas
dan kemoderenannya. Setiap kali idul fitri, banyak orang dari berbagai
pelosok tanah air yang berasal dari desa-desa berbondong-bondong untuk
hanya mengubah nasib dari nikmatnya hidup di kota. Pemerintah DKI,
misalnya, dibuat pusing atas kehadiran manusia-manusia yang datang
itu, karena banyak di antaranya tidak memilki keahlian.
Masalahnya sekarang, apakah keindahan dan kemodernan kota yang menjadi
impian banyak orang itu benar-benar dapat mewujudkan? Berikut
diuraikan kehidupan kota dan masalah yang mengitarinya.
1. Permukiman dan masyarakat pagar perkotaan
Pemukiman merupakan masalah yang tak kunjung memperoleh penyelesaian.
Di perkotaan, pemukiman ini menjadi persoalan vital dan terus menuai
ganjalan. Laju modernisasi dan urbanisasi telah menuntut kota untuk
terus dapat menaungi para penghuninya. Dalam resolusi PBB No. 42 pasal
146 ditekankan bahwa memiliki tempat tinggal adalah hak asasi.
Terkadang kota berkembang dengan logikanya sendiri. Padatnya pemukiman
tak hanya disebabkan oleh laju urbanisasi yang melonjak, melainkan
juga perkembangan natural kota. Kota telah mengubah menjadi magnet
bagi desa-desa sekitarnya. Sebuah tempat, dimana istana-istana impian
dibangun, dan cita-cita diraih. Dari sana pula, kota-kota modern
hingga postmodern terbentuk dan memunculkan turunan-turunannya.
Semangat pembangunan ala modernisasi yang seakan menggayang
tradisonalisme sebagai representasi dari penindasan feodalisme akan
tetap dirayakan. Seperti yang sudah di jelaskan dimuka, perkembangan
kota-kota modern telah memunculkan konsep integrasi baru dan
diantaranya melahirkan masyarakat berpagar: komunitas sosial terbatas
yang dibatasi oleh pagar atau tanda/batas fisik yang lain.
Keterbatasan lahan, kemacetan transportasi, kesibukan, dan yang muncul
kemudian adalah gedung-gedung menjulang kelangit, apartemen-apartemen
mewah, rumah-rumah yang bertingkat lengkap dengan fasilitas yang
berlokasi di jantung kota.
2. Tata ruang dan infrastruktur kota
Sarana dan prasarana yang memadai memungkinkan sebuah kota metropolis
untuk mengembangkan tatanan kehidupannya sehari-hari. Jika setiap
unsur kota ditinjau satu persatu secara terpisah, kota tampak tidak
rumit. Namun, pada kenyataannya kota memiliki berbagai komponen yang
terlihat nyata secara fisik seperti sarana dan prasarana umum, hingga
komponan yang secara fisik tidak dapat terlihat yaitu berupa kekuatan
politik dan hukum yang mengarahkan kegiatan kota. Di samping itu,
berbagai interaksi antarunsur yang bermacam-macam memiliki tingkat
kepentingan yang sama dengan unsur itu sendiri. Pada saat unsur-unsur
dan keterkaitan antarunsur dipandang secara bersama-sama, kota-kota
yang cukup besar akan terlihat sebagai organisme yang paling rumit
yang merupakan hasil karya manusia.
Kondisi infrastruktur di Indonesia terdiri dari:
a. Infrastruktur jalan
b. Infrastruktur perkeretaapian
c. Infrastruktur angkutan sungai, danau dan penyeberangan (ASDP)
d. Infrastruktur transportasi laut
e. Infrastruktur transfor udara
f. Sumber daya air, irigasi, sarana dan prasarana sanitasi
g. Infrastruktur kelistrikan
h. Infrastruktur telekomunikasi
Semenjak bergulirnya otonomi daerah dengan semangat, esensi, dan
prinsip good governance, daerah sebetulnya telah diberi pijakan hukum
untuk membuat perencanaan dan melaksanakan pembangunan dengan lebih
leluasa, demokratis dan lebih bertanggung jawab kepada masyarakat
setempat.
Manfaat desentralisasi pembangunan infrastruktur adalah adanya
kesempatan interaksi langsung antara masyarakat dengan pemerintah
daerah yang lebih dekat dengan permasalahan yang di hadapi. Perkotaan,
sebagai sebuah wilayah tidak hanya dipandang lewat aspek fisik semata,
tapi juga aspek sosio kulturalnya nuansa keberagaman sosio kultural
telah hadir sejak lama dan tercipta di daerah perkotaan.
3. Keberagaman sosio kultural dan demokratisasi
Apabila kita mengamini dikotomi antara pedesaan perkotaan, terdapat
perbedaan yang amat mendasar atas keduanya. Desa digambarkan, secara
sosio kultural masyarakatnya bersifat homogen atau terbatas pada latar
belakang identitas seperti etnis, ras, kelompok atau komunitas sosial,
agama ataupun buday tertentu saja.
Sebaliknya, kondisi perkotaan mengandaikan keberagaman latar belakang
identitas, baik etnis, bangsa, ras, dan sebagainya. Oleh karena itu,
tak salah apabila ia, perkotaan, diandaikan sebagai melting pot, wadah
pecampuran antara orang-orang dan/atau masyarakat yang memiliki
berbagai perbedaan latar belakang identitas. Disana, mereka, dengan
perbedaan yang melatarbelakanginya, pada tataran ideal, saling
menghargai atau toleran terhadap keberagaman yang hadir di
tengah-tengah mereka. Galibnya, kondisi ini mempersyaratkan
terbentuknya kesederajatan antarmasyarakat perkotaan.
Hal-hal yang bersifat ideal, ternyata pengandaian itu, pada tataran
real, menjadi mentah begitu saja. Pelbagai konflik antaretnis maupun
antarpemeluk agama yang selama ini terjadi di beberapa perkotaan
menjadi sedikit bukti bahwa suatu harmoni urung tercipta di perkotaan
Negara ini. Terkait dengan problem keberagaman di Indonesia, beberapa
tahun terakhir marak diperbincangkan perihal wacana demokratisasi.
Tujuan akhir dari diskursus tersebut adalah hadirnya suatu Negara
demokrasi yang beriklim demokratis. Akan tetapi, kondisi itu tidak
serta merta dapat terjadi dengan sendirinya. Janji-janji kebebasan,
kesederajatan, dan keberagaman menjadikannya semakin menarik, terlebih
lagi saat ini Indonesia tengah did era konflik-konflik antaretnis
maupun keagamaan. Disinilah, sah dan perlunya diskursus tersebut di
ejawantahkan atau di jadikan suatu alat untuk mengimpletasikan janji
itu.
Secara historis beberapa perkotaan di Indonesia terbangun oleh
kerajaan-kerajaan yang bersifat konsentrasi yang berujung pada
terbentuknya masyarakat hierarkis dan berpola relasi poltik patron
klien. Walaupun bukan terbentuk dari suatu kerajaan, perkotaan juga
merupakan hasil bentukan tuan-tuan tanah yang boleh di katakana
memiliki hubungan bersifat feodal dengan masyarakat.
Akan tetapi, memang demokratisasi merupakan proses yang solutif untuk
mewujudkan harmoni di tengah keberagaman masyarakat, khususnya
masyarakat perkotaan.
4. Perkotaan dan konversi lahan
Indutrialisasi, yang diikuti urbanisasi, memecu kota-kota di Indonesia
sehingga mengalami pertumbuhan demikian pesat. Pada tahap tertentu,
bahkan nyaris tak terkontrol. Pertumbuhan yang dicirikan dengan
menjamurnya mal-mal sebagai sentral ekonomi dan ledakan pemukiman
urban itu pada gilirannya harus mengorbankan lahan yang semula di
peruntukkan untuk pertanian. Sebuah fenomena yang kemudian
mendatangkan setidaknya dua problem cukup serius.
Pertama, menyempitnya lahan hijau atau lahan pertanian di karenakan
beralih fungsi menjadi lahan perkotaan. Ironisnya, meluasnya konversi
lahan nonperkotaan menjadi lahan kota ini kurang mendapat perhatian
masyarakat. Masyarakat (petani, misalnya) justru merasa diuntungkan.
Usut punya usut, bagi mereka, dibandingkan dengan bertani, ternyata
menjualkan lahan lebih mendatangkan uang besar karena harga jual tanah
yang tinggi.
Kedua, konversi lahan menjadi wilayah bernuansa urban itu berdampak
pula pada ranah sosio kultural. Tatanan sosio kultural masyarakat
lama, semisal tradisi, yang sudah bertahun-tahun berdialektika dengan
masyarakat setempat dan tertanam sekian lama tiba-tiba goyah. Kultural
kota yang dibawah industrialisasi mengesernya.
5. Kriminalitas perkotaan
Kota berpotensi memberikan kondisi kehidupan yang sehat dan aman, gaya
hidup yang lebih berbudaya dan menyenangkan dengan konsumsi energi dan
sumber daya yang lebih rendah itulah imaji yang umumnya melekat dalam
benak kita ketika membayangkan kehidupan kota.
Tampaknya itu, hanya sebuah ilusi. Karena, konon, kota pada umumnya,
bermuka dua. Selain menwarkan beragam potensi untuk mengakumulasi aset
sosial, ekonomi, dan fisik, kota juga menyodorkan berbagai masalah.
Salah satunya adalah kriminalitas atau tindak kejahatan, seperti
perampokan, perkosaan, pembunuhan dan lain-lain.
Merebaknya prilaku kriminal di kota tidak lain merupakan bagian dari
wajah kota yang "terfragmentasi". Persaingan ketat antarpenduduk kota
yang dipicu cultural industri kota melahirkan orang-orang kalah yang
terpinggirkan. Terjadilah ketimpangan struktur sosial ekonomi
masyarakat kota. Akses kelompok sosial ekonomi lemah terhadap barang
kebutuhan pokok semakin kecil. Mereka tidak mempunyai banyak pilihan
untuk mempertahankan hidupnya selain merampas barang milik orang lain.
Tak heran, jika marx pun, dengan mendahului teori krominologi mana
pun, melihat kriminalitas sebagai cerminan dari konflik sosial yang
terjadi di kota sehingga begitu banyaknya kejahatan dan kriminalitas
di perkotaan.
Faktor pemicu tinginya tingkat kriminalitas di kota adalah kepadatan
penduduk. Tingginya kepadatan penduduk kota, secara psikologi, dapat
merangsang tingginya tingkat agresivitas manusia. Sementara sensus
penduduk tahun 2000 menunjukkan bahwa penduduk perkotaan di Indonesia
telah mencapai angka lebih dari 85 juta jiwa. Di perkirakan tahun
2005, angka tersebut melampaui 100 juta jiwa.
Demikian pula halnya dengan teknologi. Tesis erich fromm menyatakan
bahwa tingginya kemajuan teknologi berbanding lurus dengan canggihnya
modus tindak kejahatan.
6. Rekreasi dan hiburan kaum urban
Bagi masyarakat perkotaan, kebutuhan untuk berlibur merupakan bagian
dari gaya hidup. Andai mengandaikan kota dengan segenap kontruksi
industri, akan dibayangkan pula betapa primernya kebutuhan untuk
berekreasi dan liburan.
Rekreasi secara harfiah bisa di maknai sebagai kegiatan menyegarkan
kembali badan dan pikiran. Konsep libur dan plesir merupakan gaya
hidup yang acapkali dikenakan bagi masyarakat pekerja. Setelah
berhari-hari bekerja keras membanting tulang, para pekerjaan diberi
kesempatan untuk liburan. Kita akan menjumpai hari minggu sebagai
liburan yng umum di Indonesia. Orang-orang yang menganggarkan waktu
dan tabungan untuk berlibur dan berekreasi, sedangkan industri hiburan
tak diam saja membaca peluangnya. Berbondong-bondong tempat-tempat
hiburan menjadi salah satu rancangan dalam master plan perkotaan. Ada
sebuah arena yang disediakan khusus untuk bersenang-senang, dengan
tidak gratis tertentunya. Investor mulai menaruh simpati yang kuat
terhadap industri pleasure. Dan mulai gemar menciptakan kebutuhan
mendesak kepada masyarakat perkotaan untuk bersenang-senang.
Kini, bagi masyarakat perkotaan, liburan tidak harus pada hari minggu.
Tapi juga pada hari-hari biasa. Jam-jam biasa. Detik-detik biasa dunia
hiburan 24 jam tak berhenti di perkotaan. Kebutuhan berekreasi tidak
hanya menjadi ketenggangan tersier, tapi juga ketenggangan kultural.
Masyarakat menjadi terstrata dengan pola berekreasi mereka. Kebutuhan
masyarakat perkotaan untuk berekreasi menjadi ukuran status sosial
masyarakat. Rekreasi menjadi kebutuhan-kebutuhan yang terciptakan.
Semua itu tak terjadi begitu saja. Terdapat komodifikasi hasrat,
penciptaan kebutuhan untuk berekreasi. Komodifikasi hiburan di
ciptakan untuk dibuthkan. Hal itu berupa rekreasi nostalgis dalam
wisata kuliner, rekreasi dalam kejenuhan kreasi seksual, sampai
teritori yang ditandai dan mengadaikan yang lain seperti TMII di
Jakarta. Kota diandaikan tempat bagi orang-orang yang ingin
bersenag-senang dimana saja. Berekreasi sampai pagi.
7. Kota dan sekularisasi
Kota terus berkembang pesat, pada satu waktu sering dengan
tertatih-tatih dan pada waktu lain melompat pesat. Tertatih-tatih
karena ia mengalami kolonialisasi dan feodalisasi dalam suatu kurun
waktu (dan berulang-ulang dalam berbagai modus dan wujudnya), dan
mengalami lompatan ketika modernitas mengalir deras kesana.
Modernitas, yang diawali dari bergesernya pemahaman yang kosmosentris
ke antroposentris, kemudian secara sekaligus telah mengangkut pelbagai
fasetnya: rasional, fungsional, efektivitas, dan seterusnya. Ia
kemudian menciptakan suatu wilayah yang tertata, terprediksi,
terkontrol. Ia mengatur yang privat dan yang publik, mewujudkan suatu
lingkup administratif, merapikan segala sesuatu yang tadinya carut
marut. Dan, tentu saja, memperkenalkan, dan menempatkan moda-moda
ekonomi sebagai yang begitu determinan.
Moda ekonomi kemudian membawa impak besar terhadap kota, juga bagi
mereka yang menghidupi kota dan dihidupi kota. Ketika dunia telah
kehilangan pesonanya, disenchantementof the world, kota belum pudar,
justru semakin memancarkan pesonanya. Di bidang ekonomi inilah, tulis
berger, "terutama dalam sektor-sektor perekonomian yang sedang
dibentuk oleh proses-proses kapitalistik dan industrial" tempat asal
sekularisasi.
Orang-orang lantas berduyun-duyun ke kota, atau yang dibayangkan
sebagai kota, mencari kerja uang atau makan tepatnya 'mengadu nasib'.
Urbanisasi pun terjadi. Tak bisa di pungkiri, bahwa mereka yang
tergoda ini mayoritas sebagai orang desa, orang-orang di luar kota.
Selama ini kita memandang kota dan desa sebagai suatu antitesis: dalam
moral, politik, juga agama atau religiositas. Dimana desa atau
orang-orang desa, setelah menjadi kota, atau orang kota, lantas
menjadi cemar. Ia kehilangan hal-hal yang sakral dan menjadi profan.
Di kota keduniawian lebih terutamakan dan nilai-nilai moral dan agama
disingkirkan. Pemisahan agama dunia ini kemudian dilakukan secara
administratif birokratis, agama diurus oleh lembaga tersendiri dan tak
ada sangkut pautnya dengan urusan dunia. Kendati ini juga tak lepas
dari sejarah panjang agama-agama (samawi) dengan lika-likunya.
Agama barangkali telah kehilangan legitimasinya dalam menjawab
kebutuhan manusia-manusia kota. Meskipun begitu, ketika ibadah talh
hilang ekstasenya; ketika ibadah dan cermah-ceramah agama berguna
dalam memapankan clan modernisme, mendongkrak produktivitas; saat
tuhan kian di ragukan, tetap ada idealita yang diangankan (tiap-tiap)
manusia. Munculnya agama perenial, aliran-aliran new age, gerakan
sufistik, dan lain-lain barangkali menunjukkan bahwa persoalan
religiositas ditengah kondisi masyarakat seperti apapun belumlah
tuntas.
Dalam suatu Negara atau kota (dengan masyarakat yang) sekuler
sekalipun, kita barangkali masih menjumpai the city of god St.
Augustine. Dimana, yang tak terbatas masih, dan terus dicari, untuk
diimani, dipatuhi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini