Selasa, 01 Oktober 2013

lilis_okviyani_PMI3_Tugas3_Teori Kritik Marxisme

                                                            Teori Kritis Marxisme
Kemunculan Teori
Awal kemunculan marxisme dan teori kritis merupakan respon dari dua perspektif sebelumnya, yakni liberalisme dan realisme. Marxisme dan teori kritis menganggap bahwa liberalisme dan realisme merupakan perspektif yang terbatas, maka itu keduanya tidak fleksibel. Keduanya dapat dikatakan gagal dalam memaknai fenomena-fenomena, khususnya pada sistem internasional, yang terus berkembang. Realisme dan liberalisme dianggap hanya berpatokan pada orientasi aktor seperti power dan interest yang kurang memperhatikan proses sosial pada aktor yang pada dasarnya sudah dikrontruksi secara historis dan secara tersirat menolak kemungkinan  adanya alternatif lainnya yang berupa proses produksi sosial (Rupert, 2007:149). Teori yang di bawa oleh Karl Marx ini menyoroti aspek-aspek yang dimiliki manusia seperti self-productive secara sosial dan perlunya pertimbangan wawasan kritis yang mencakup budaya, politik, ekonomi, dan aspek-aspek dalam proses tersebut. Oleh karena itu dalam tulisan ini, penulis akan mengulas asumsi-asumsi yang dibawa kaum Marxist melalui artikel yang ditulis oleh Mark Rupert (2007) yang berjudul Marxism and Critical Theory.
Seperti realisme dan liberalisme, marxisme turut berpatokan pada sifat dasar manusia sebagai pembangun asumsi-asumsi dasarnya. Menurut marxisme, pada dasarnya manusia bersifat berhubungan (relational) dan beriorientasi pada proses (process oriented), hal ini di didukung oleh argumen Marx bahwa manusia sekiranya bertindak karena adanya proses sosial yang saling berhubungan (Rupert, 2007:150). Hal itu menandakan bahwa manusia bukanlah makhluk yang egois. Rupert menjelaskan adanya tiga jenis hubungan manusia dalam kehidupan, yakni hubungan manusia dengan alam, yang mengindikasikan bahwa manusia adalah makhluk materialisme yang akan berusaha memenuhi kebutuhannya dengan memanfaatkan persediaan alam guna bertahan hidup;relasi sosial dan institusi, yang menginidikasikan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang senantiasa terlibat dalam aktivitas produktif yang terstruktur secara sosial; serta hubungan manusia dengan dirinya sendiri, dimana manusia merupakan produk dari sejarah yang turut berkesempatan mempelajari proses sejarah dengan memperbaiki kualitas diri sendiri dengan berubah ataupun yang lainnya. Berkaitan dengan kehidupan sosial manusia sebagai proses hubungan, Marx menyuguhkan dialektika pemahaman sejarah, dimana manusia adalah makhluk sejarah yang memproduksi sejarah serta menjadi produk proses sejarah (Rupert, 2007: 151). Proses ini dipahami pula sebagai dialektika agen dan struktur. Agen sendiri adalah aktor sosial yang berperan dalam hubungan sosial dan struktur merupakan penentu peran aktor tersebut.
Berbagai asumsi dasar yang berpatokan pada sifat dasar manusia yang diusung oleh kaum Marxist juga hadir untuk mengkritisi era kapitalisme di Eropa pada abad ke-19. Kapitalisme sendiri dapat dipahami sebagai sistem sosial dimana lingkup ekonomi diprivatisasi dan terdepolitisasi, serta menghendaki adanya kelas-kelas dalam masyarakat (Rupert, 2007:154). Terdapat dua kelas dalam masyarakat dalam sistem kapitalisme, yakni kaum borjuis sebagai kelompok pemilik modal dan penguasa sumber produksi; dan kaum proletar yakni kaum yang tidak memiliki modal dan tidak menguasai sumber produksi, sehingga satu-satunya sumber penghasilan mereka adalah jasa yang dapat diberikan untuk kaum borjuis. Maka, politik menjadi terbatas pada kaum-kaum tertentu, yakni kaum borjuis, sebaliknya marxisme membuka pemikiran baru akan adanya penghapusan kelas-kelas yang dinilai hanya membatasi politik. Menurut marxisme, sistem kapitalisme dinilai disabling, eksploitatif, dan tidak demokratis.Disabling, karena pada dasarnya kaum kapitalisme secara langsung mendistorsi kehidupan sosial dan memunculkan ketidakjelasan kemungkinan self-determination­ secara sosial (Rupert, 2007:152). Eksploitatif, karena sistem kapitalisme hanya memanfaatkan kaum proletar yang pada dasarnya berjasa besar dalam memproduksi produk dan secara tidak langsung membeli produk-produk yang telah mereka hasilkan dari kaum borjuis untuk pemenuhan kebutuhan. Kepemilikan sumber produksi oleh kaum  borjuis secara pribadi telah mengeliminasi kemungkinan bagi kaum proletar untuk berkembang. Terakhir ialah tidak demokratis. Sistem kapitalisme dipahami pada segi sejarah, dalam era feodal, kaum borjuis (bangsawan) secara koersif mengambil alih perekonomian dan perpolitikkan, dimana pemerintah juga bergantung pada pihak swasta, sehingga terlihat jelas bahwa sistem kapitalis yang berkembang sangatlah tidak demokratis. Dalam penjabaran asumsinya, marxisme berpendapat bahwa sistem kapitalisme ini dapat meluas menjadi kolonialisme dan imperialisme.
Max Weber (1864-1920), pemikir sosial Jerman, mungkin adalah orang yang di zamannya paling merasa tertantang oleh determinisme ekonomi Marx yang memandang segala sesuatu dari sisi politik ekonomi. Berbeda dengan Marx, Weber dalam karya-karyanya menyentuh secara luas ekonomi, sosiologi, politik, dan sejarah teori sosial. Weber menggabungkan berbagai spektrum daerah penelitiannya tersebut untuk membuktikan bahwa sebab-akibat dalam sejarah tak selamanya didasarkan atas motif-motif ekonomi belaka. Weber berhasil menunjukkan bahwa ide-ide religius dan etis justru memiliki pengaruh yang sangat besar dalam proses pematangan kapitalisme di tengah masyarakat Eropa, sementara kapitalisme agak sulit mematangkan diri di dunia bagian timur oleh karena perbedaan religi dan filosofi hidup dengan yang di barat lebih dari pada sekadar faktor-faktor kegelisahan ekonomi atas penguasaan modal sekelompok orang yang lebih kaya. Kegelisahan teoretis yang sama, bahwa marxisme klasik terlalu naif dengan mendasarkan segala motif tindakan atas kelas-kelas ekonomi memiliki dampak besar yang melahirkan teori kritis dan marxisme baru. Aliran ini dikenal sebagai Mazhab Frankfurt, sebuah kumpulan teori sosial yang dikembangkan di Institute for Social Research, yang didirikan di Frankfurt, Jerman pada tahun 1923. Mazhab ini terinspirasi dari pandangan-pandangan Marx, namun tidak lagi menjelaskan dominasi atas dasar perbedaan kelas ekonomi semata, melainkan atas otoritas penguasa yang menghalangi kebebasan manusia. Jika fokus marxisme klasik adalah struktur ekonomi politik, maka marxisme baru bersandar pada budaya dan ideologi. Kritisismenya terasa pada kritik-kritik yang dilontarkan atas ideologi-ideologi yang bersandar pada pendekatan psikolog klasik Austria, psikoanalisisme Sigmund Freud (1856-1939); tentang kesadaran, cara berfikir, penjajahan budaya, dan keinginan untuk membebaskan masyarakat dari kebohongan publik atas produk-produk budaya.
Sosiolog Mazhab Frankfurt Max Horkheimer (1895–1973) dan Theodor Adorno (1903-1969) membuat landasan instrumental agenda-agenda teoretis mazhab ini. Analisisnya berkenaan dengan pembedaan antara peradaban barat dan timur, dan bagaimana peradaban barat telah menyimpang dengan konsep rasionalitas yang bertujuan untuk menaklukkan dan mengatur alam semesta. Studi-studi yang mereka lakukan berlandaskan pada hal ini, diikuti oleh sosiolog Jerman-Amerika, Herbert Marcuse (1898-1979). Dalam perkembangannya, sosiolog Frankfurt termuda, Juergen Habermas, mengubah agenda Mazhab Frankfurt menjadi upaya emanisipatoris atas rasionalisme pencerahan.
Belakangan, pemikiran Mazhab Frankfurt ini telah mempengaruhi banyak sekali teoretisi sosial yang memfokuskan kritik pada obyek budaya seperti hiburan, musik, mode, dan sebagainya yang dinyatakan sebagai industri budaya. Dalam teori kritis atau neo-marxisme ini, sudah tidak ada lagi determinisme ekonomi dan tak lagi meyakini bahwa kaum miskin (proletar) akan menjadi agen perubahan sosial, namun bergerak ke kelompok sosial lain, seperti kaum radikal di kampus-kampus, dan sebagainya. Ini menjadi keyakinan mereka merupakan agen-agen untuk melakukan transformasi sosial di kemudian hari.
Hingga hari ini, neo-marxisme masih terus berkembang namun tidak banyak menuai perkembangan teoretis. Tradisinya hidup di studi-studi budaya, namun masih memiliki motif yang sama yaitu upaya pembukaan tabir dan motif-motif kapitalisme di tengah-tengah masyarakat.
Selain kemunculan teoretisi neo-marxis, pergulatan antar kelas ekonomi menjadi inspirasi pula bagi lahirnya teori konflik. Sosiolog Jerman, Ralf Dahrendorf, menerangkan konflik kelas dalam masyarakat industrial pada tahun 1959. Teori ini sangat berbeda dari teori Marx karena ia menganalisis konflik tanpa memperhitungkan politik ekonomi yang ada (apakah kapitalisme atau sosialisme). Jika Marx bersandar pada PEMILIKAN alat produksi, maka Dahrendorf bersandar pada KONTROL atas alat produksi. Dalam terminologi Dahrendorf, pada masa pos-kapitalisme, kepemilikan akan alat produksi (baik sosialis atau kapitalis) tidak menjamin adanya kontrol atas alat produksi. Jadi, di luar Marxisme, ia mengembangkan beberapa terminologi dari Max Weber, antara lain bahwa sistem sosial itu dikoordinasi secara imperatif melalui otoritas/kekuasaan.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa teori Dahrendorf melakukan kombinasi antara fungsionalisme (tentang struktur dan fungsi masyarakat) dengan teori (konflik) antar kelas sosial. Teori sosial Dahrendorf berfokus pada kelompok kepentingan konflik yang berkenaan dengan kepemimpinan, ideologi, dan komunikasi di samping tentu saja berusaha melakukan berbagai usaha untuk menstrukturkan konflik itu sendiri, mulai dari proses terjadinya hingga intensitasnya dan kaitannya dengan kekerasan. Jadi bedanya dengan fungsionalisme jelas, bahwa ia tidak memandang masyarakat sebagai sebuah hal yang tetap/statis, namun senantiasa berubah oleh terjadinya konflik dalam masyarakat. Dalam menelaah konflik antara kelas bawah dan kelas atas misalnya, Dahrendorf menunjukkan bahwa kepentingan kelas bawah menantang legitimasi struktur otoritas yang ada. Kepentingan antara dua kelas yang berlawanan ditentukan oleh sifat struktur otoritas dan bukan oleh orientasi individu pribadi yang terlibat di dalamnya. Individu tidak harus sadar akan kelasnya untuk kemudian menantang kelas sosial lainnya.
Sebelumnya, Georg Simmel (1858–1918), sosiolog fungsionalis Jerman juga telah mencoba mendekati teori konflik dengan menunjukkan bahwa konflik merupakan salah satu bentuk interaksi sosial yang mendasar; berkaitan dengan sikap bekerja sama dalam masyarakat. Dalam hal ini Simmel mungkin salah seorang sosiolog pertama yang berusaha keras untuk mengkonstruksi sistem formal dalam sosiologi yang diabstraksikan dari sejarah dan detil pengalaman manusia. Analisisnya tentang efek ekonomi uang dalam perilaku manusia merupakan salah satu pekerjaannya yang penting.
Jika Simmel membedah teori sosial berdasarkan konfliknya, maka sosiolog konflik Amerika Serikat, Lewis Coser (1913-2003), bertitik berat pada konsekuensi-konsekuensi terjadinya konflik pada sebuah sistem sosial secara keseluruhan. Teorinya menunjukkan kekeliruan jika memandang konflik sebagai hal yang melulu merusak sistem sosial, karena konflik juga dapat memberikan keuntungan pada masyarakat luas di mana konflik tersebut terjadi. Konflik justru dapat membuka peluang integrasi antar kelompok.
Di Amerika Serikat, teori konflik muncul menjadi sebuah cabang teoretis oleh karena ketidaksukaan pada sosiologi fungsionalisme yang berkembang saat itu. C. Wright Mills, sosiolog Amerika 1960-an mengecam fungsionalisme melalui kritiknya tentang elit kekuasaan di Amerika saat itu. Perdebatan Mills dan fungsionalisme ini pada dasarnya menunjukkan bagaimana sosiologi telah berkarib dengan ideologi. Tuduhan yang paling besar adalah uraiannya tentang karya Parsons yang bermuatan ideologis dan menurutnya sebagian besar isinya kosong/hampa. Secara metodologi, Mills lebih mirip dengan mazhab Frankfurt atas kritiknya pada media massa, pemerintahan, dan militer. Salah satu contoh proposisinya yang kontroversial adalah bahwa menurutnya di Amerika terjadi paradoks demokrasi: bentuk pemerintahannya adalah demokrasi namun seluruh struktur organisasinya cenderung diubah ke bentuk oligarkhi, hanya sedikit yang memiliki kekuasaan politik.
Dalam sosiologi, teori konflik berdasar pada asumsi dasar bahwa masyarakat atau organisasi berfungsi sedemikian di mana individu dan kelompoknya berjuang untuk memaksimumkan keuntungan yang diperolehnya; secara tak langsung dan tak mungkin dihindari adalah perubahan sosial yang besar seperti revolusi dan perubahan tatanan politik. Teori konflik ini secara umum berusaha memberikan kritiknya pada fungsionalisme yang
meyakini bahwa masyarakat dan organisasi memainkan peran masing-masing sedemikian seperti halnya organ-organ dalam tubuh makhluk hidup.
Asumsi Dasar Teori Kritis
Teori kritis sendiri merupakan teori yang tidak berkaitan dengan prinsip-prinsip umum, tidak membentuk sistem ide. Teori ini berusaha memberikan kesadaran untuk membebaskan manusia dari irasionalisme. Dengan demikian teori ini adalah emansipatoris. Ciri teori ini adalah :
1.      Kritis terhadap masyarakat. Teori kritis mempertanyakan sebab-sebab yang mengakibatkan penyelewengan-penyelewengan dalam masyarakat. Struktur yang rapuh ini harus diubah.
2.      Teori kritis berfikir secara historis. Artinya berpijak pada proses masyarakat yang historis. Dengan kata lain teori kritis berakar pada suatu situasi pemikiran dan situasi sosial tertentu, misanya material-ekonomis.
3.      Teori kritis tidak menutup diri dari kemungkinan jatuhnya teori dalam suatu bentuk ideologis yang dimiliki  oleh struktur dasar masyarakat. Inilah yang terjadi pada pemikiran filsafat modern. Menurut Madzab Frankfut, pemikiran tersebut telah berubah menjadi ideologi kaum kapitalis. Teori harus memiliki kekuatan, nilai dan kebebasan untuk mengkritik dirinya sendiri dan menghindari kemungkinan untuk mengkritik dirinya sendiri dan menghindari kemungkinan untuk menjadi ideologi.
4.      Teori kritis tidak memisahkan teori dari praktek, pengetahuan dari tindakan, serta rasio teoritis dari rasio praktis. Peru digarisbawahi bahwa rasio praktis tidak boleh dicampuradukkan dengan rasio instrumental yang hanya memperhitungkan alat atau sarana semata. Madzab Frankfurt menunjukkan bahwa teori atau ilmu yang bebas nilai adalah palsu.  
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini