Selasa, 01 Oktober 2013

muhammad firdaos_PMI 3_tugas 4_Teori Kritis Marxisme

Nama               : Muhammad Firdaos
Jurusan            : Pengembangan Masyarakat Islam (PMI 3)
NIM                : 1112054000024
 
Teori Kritis dan Marxisme
a.       Teori kritis
Teori kritis adalah sebutan untuk orientasi teoritis tertentu yang bersumber dari Hegel dan Marx, disistematisasi oleh Horkheimer dan sejawatnya di Institut Penelitian Sosial di Frankfurt, dan dikembangkan oleh Habermas. Secara umum istilah ini merujuk pada elemen kritik dalam filsafat Jerman yang dimulai dengan pembacaan kritis Hegel terhadap Kant. Secara lebih khusus, teori kritis terkait dengan orientasi tertentu terhadap filsafat yang "dilahirkan" di Frankfurt.
Istilah teori kritis pertama kali ditemukan Max Horkheimer pada tahun 30-an. Pada mulanya teori kritis berarti pemaknaan kembali ideal-ideal modernitas tentang nalar dan kebebasan, dengan mengungkap deviasi dari ideal-ideal itu dalam bentuk saintisme, kapitalisme, industri kebudayaan, dan institusi politik borjuis. Untuk memahami pendekatan teori kritis, ia harus ditempatkan dalam konteks Idealisme Jerman dan kelanjutannya. Karl Marx dan generasinya menganggap Hegel sebagai orang terakhir dalam tradisi besar pemikiran filosofis yang mampu "mengamankan" pengetahuan tentang manusia dan sejarah. Namun, karena beberapa hal, pemikiran Marx mampu menggantikan filsafat teoritis Hegel, yang hal ini, menurut Marx, terjadi dengan membuat filsafat sebagai hal yang praktis; yakni merubah praktik-praktik yang dengannya masyarakat mewujudkan idealnya. Dengan menjadikan nalar sebagai sesuatu yang 'sosial' dan menyejarah, skeptisisme historis akan muncul untuk merelatifkan klaim-klaim filosofis tentang norma dan nalar menjadi ragam sejarah dan budaya forma-forma kehidupan.
Teori kritis menolak skeptisisme diatas dengan tetap memertahankan kaitan antara nalar dan kehidupan sosial. Dengan demikian, teori kritis menghubungkan ilmu-ilmu sosial yang bersifat empiris dan interpretatif dengan klaim-klaim normatif tentang kebenaran, moralitas, dan keadilan yang secara tradisional merupakan bahasan filsafat. Dengan tetap memertahankan penekanan terhadap normativitas dalam tradisi filsafat, teori kritis mendasarkan cara bacanya dalam konteks jenis penelitian sosial empiris tertentu, yang digunakan untuk memahami klaim normatif itu dalam konteks kekinian.
 Di zaman modern, filsafat secara ketat dibedakan dari sains. Locke menyebut filsafat sebagai 'pekerja kasar'. Bagi Kant, filsafat, khususnya filsafat transenden, memiliki dua peran. Pertama, sebagai "hakim" yang dengannya sains dinilai. Kedua, sebagai wilayah untuk memunculkan pertanyaan normatif. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan normatif, dalam perspektif Kantian, sains tidak dibutuhkan, karena hal itu dijawab melalui analisis transenden. Teori kritis yang berorientasi emansipasi berusaha mengkontekstualisasi klaim-klaim filosofis tentang kebenaran dan universalitas moral tanpa mereduksinya menjadi sekedar kondisi sosial yang menyejarah. Teori kritis berusaha menghindari hilangnya kebenaran yang telah dicapai oleh pengetahuan masa lalu. Tentang hal ini Horkheimer menyatakan "Bahwa semua pemikiran, benar atau salah, tergantung pada keadaan yang berubah sama sekali tidak berpengaruh pada validitas sains".
 Teori kritis memungkinkan kita membaca produksi budaya dan komunikasi dalam perspektif yang luas dan beragam. Ia bertujuan untuk melakukan eksplorasi refleksif terhadap pengalaman yang kita alami dan cara kita mendefinisikan diri sendiri, budaya kita, dan dunia. Saat ini teori kritis menjadi salah satu alat epistemologis yang dibutuhkan dalam studi humaniora. Hal ini didorong oleh kesadaran bahwa makna bukanlah sesuatu yang alamiah dan langsung. Bahasa bukanlah media transparan yang dapat menyampaikan ide-ide tanpa distorsi, sebaliknya ia adalah seperangkat kesepakatan yang berpengaruh dan menentukan jenis-jenis ide dan pengalaman manusia. Dengan berusaha memahami proses dimana teks, objek, dan manusia diasosiasikan dengan makna-makna tertentu, teori kritis memertanyakan legitimasi anggapan umum tentang pengalaman, pengetahuan, dan kebenaran. Dalam interaksi sehari-hari dengan orang lain dan alam, dalam kepala seseorang selalu menyimpan seperangkat kepercayaan dan asumsi yang terbentuk dari pengalaman dalam arti luas dan berpengaruh pada cara pandang seseorang, yang sering tidak tampak.
Teori kritis berusaha mengungkap dan memertanyakan asumsi dan praduga itu. Dalam usahanya, teori kritis menggunakan ide-ide dari bidang lain untuk memahami pola-pola dimana teks dan cara baca berinteraksi dengan dunia. Hal ini mendorong munculnya model pembacaan baru. Karenanya, salah satu ciri khas teori kritis adalah pembacaan kritis dari berbagai segi dan luas. Teori kritis adalah perangkat nalar yang, jika diposisikan dengan tepat dalam sejarah, mampu merubah dunia. Pemikiran ini dapat dilacak dalam tesis Marx terkenal yang menyatakan "Filosof selalu menafsirkan dunia, tujuannya untuk merubahnya". Ide ini berasal dari Hegel yang, dalam Phenomenology of Spirit, mengembangkan konsep tentang objek bergerak yang, melalui proses refleksi-diri, mengetahui dirinya pada tingkat kesadaran yang lebih tinggi. Hegel menggabungkan filsafat tindakan dengan filsafat refleksi sedemikian rupa sehingga aktivitas atau tindakan menjadi momen niscaya dalam proses refleksi. Hal ini memunculkan diskursus dalam filsafat Jerman tentang hubungan antara teori dan praktis, yakni bahwa aktivitas praktis manusia dapat merubah teori. Teori kritis, dengan demikian, adalah pembacaan filosofis dalam arti tradisional yang disertai kesadaran terhadap pengaruh yang mungkin ada dalam bangunan ilmu, termasuk didalamnya pengaruh kepentingan.
b.      Teori kritis menurut Marxisme
Awal kemunculan marxisme dan teori kritis merupakan respon dari dua perspektif sebelumnya, yakni liberalisme dan realisme. Marxisme dan teori kritis menganggap bahwa liberalisme dan realisme merupakan perspektif yang terbatas, maka itu keduanya tidak fleksibel. Keduanya dapat dikatakan gagal dalam memaknai fenomena-fenomena, khususnya pada sistem internasional, yang terus berkembang. Realisme dan liberalisme dianggap hanya berpatokan pada orientasi aktor seperti power dan interest yang kurang memperhatikan proses sosial pada aktor yang pada dasarnya sudah dikrontruksi secara historis dan secara tersirat menolak kemungkinan  adanya alternatif lainnya yang berupa proses produksi sosial (Rupert, 2007:149). Teori yang di bawa oleh Karl Marx ini menyoroti aspek-aspek yang dimiliki manusia seperti self-productive secara sosial dan perlunya pertimbangan wawasan kritis yang mencakup budaya, politik, ekonomi, dan aspek-aspek dalam proses tersebut. Oleh karena itu dalam tulisan ini, penulis akan mengulas asumsi-asumsi yang dibawa kaum Marxist melalui artikel yang ditulis oleh Mark Rupert (2007) yang berjudul Marxism and Critical Theory.
            Seperti realisme dan liberalisme, marxisme turut berpatokan pada sifat dasar manusia sebagai pembangun asumsi-asumsi dasarnya. Menurut marxisme, pada dasarnya manusia bersifat berhubungan (relational) dan beriorientasi pada proses (process oriented), hal ini di didukung oleh argumen Marx bahwa manusia sekiranya bertindak karena adanya proses sosial yang saling berhubungan (Rupert, 2007:150). Hal itu menandakan bahwa manusia bukanlah makhluk yang egois. Rupert menjelaskan adanya tiga jenis hubungan manusia dalam kehidupan, yakni hubungan manusia dengan alam, yang mengindikasikan bahwa manusia adalah makhluk materialisme yang akan berusaha memenuhi kebutuhannya dengan memanfaatkan persediaan alam guna bertahan hidup; relasi sosial dan institusi, yang menginidikasikan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang senantiasa terlibat dalam aktivitas produktif yang terstruktur secara sosial; serta hubungan manusia dengan dirinya sendiri, dimana manusia merupakan produk dari sejarah yang turut berkesempatan mempelajari proses sejarah dengan memperbaiki kualitas diri sendiri dengan berubah ataupun yang lainnya. Berkaitan dengan kehidupan sosial manusia sebagai proses hubungan, Marx menyuguhkan dialektika pemahaman sejarah, dimana manusia adalah makhluk sejarah yang memproduksi sejarah serta menjadi produk proses sejarah (Rupert, 2007: 151). Proses ini dipahami pula sebagai dialektika agen dan struktur. Agen sendiri adalah aktor sosial yang berperan dalam hubungan sosial dan struktur merupakan penentu peran aktor tersebut.
Berbagai asumsi dasar yang berpatokan pada sifat dasar manusia yang diusung oleh kaum Marxist juga hadir untuk mengkritisi era kapitalisme di Eropa pada abad ke-19. Kapitalisme sendiri dapat dipahami sebagai sistem sosial dimana lingkup ekonomi diprivatisasi dan terdepolitisasi, serta menghendaki adanya kelas-kelas dalam masyarakat (Rupert, 2007:154). Terdapat dua kelas dalam masyarakat dalam sistem kapitalisme, yakni kaum borjuis sebagai kelompok pemilik modal dan penguasa sumber produksi; dan kaum proletar yakni kaum yang tidak memiliki modal dan tidak menguasai sumber produksi, sehingga satu-satunya sumber penghasilan mereka adalah jasa yang dapat diberikan untuk kaum borjuis. Maka, politik menjadi terbatas pada kaum-kaum tertentu, yakni kaum borjuis, sebaliknya marxisme membuka pemikiran baru akan adanya penghapusan kelas-kelas yang dinilai hanya membatasi politik. Menurut marxisme, sistem kapitalisme dinilai disabling, eksploitatif, dan tidak demokratis. Disabling, karena pada dasarnya kaum kapitalisme secara langsung mendistorsi kehidupan sosial dan memunculkan ketidakjelasan kemungkinan self-determination­ secara sosial (Rupert, 2007:152). Eksploitatif, karena sistem kapitalisme hanya memanfaatkan kaum proletar yang pada dasarnya berjasa besar dalam memproduksi produk dan secara tidak langsung membeli produk-produk yang telah mereka hasilkan dari kaum borjuis untuk pemenuhan kebutuhan. Kepemilikan sumber produksi oleh kaum  borjuis secara pribadi telah mengeliminasi kemungkinan bagi kaum proletar untuk berkembang. Terakhir ialah tidak demokratis. Sistem kapitalisme dipahami pada segi sejarah, dalam era feodal, kaum borjuis (bangsawan) secara koersif mengambil alih perekonomian dan perpolitikkan, dimana pemerintah juga bergantung pada pihak swasta, sehingga terlihat jelas bahwa sistem kapitalis yang berkembang sangatlah tidak demokratis. Dalam penjabaran asumsinya, marxisme berpendapat bahwa sistem kapitalisme ini dapat meluas menjadi kolonialisme dan imperialisme.
            Berkembangnya marxisme dapat ditelisik melalui lahirnya Western Marxism dan teori kritis setelah adanya revolusi Bolshevik dan kehadiran marxisme di Uni Soviet yang memunculkan ide sosialisme yang merupakan reaksi terhadap tradisi marxisme klasik. Kegagalan revolusi kelas-kelas yang dibawa oleh kaum Marxist di dunia barat akibat munculnya fasisme memunculkan kritikan-kritikan yang menjurus pada perlawanan terhadap kapitalisme, dan juga positivisme dalam kehidupan sosial. Douglas Kallner, sebagai salah satu tokoh teori kritis mengungkapkan bahwa munculnya Western Marxist didasari pada perhatian akan adanya kesadaran, subyektivitas, kebudayaan, ideologi, dan tepatnya konsep sosialisme yang digunakan untuk merealisasikan perubahan politik radikal (Rupert, 2007:156).Terdapat dua pemikiran yang berkontribusi dalam terbangunnya Western Marxist, yakni pemikiran Frankfurt dan pemikiran Antonio Gramci. Pemikiran Frankfurt sendiri bersandar pada semangat kritik Marxian pada sistem kapitalisme, yakni disabling. Tokoh pemikir Frankfurt melihat fenomena yang terjadi di Uni Soviet, yakni dimana marxisme telah bertransformasi menjadi doktrin penentuan ekonomi yang kaku sebagai objek sebuah "ilmu". Namun, kepastian kaku dalam sebuah ilmu ini dicurigai sebagai teori yang muncul tanpa mempertimbangkan praktik dan norma-norma, dimana hal tersebut cenderung akan menyesatkan. Didukung dengan Gramsci, yang mengatakan bahwa marxisme bukanlah kebenaran objektif dari sejarah, melainkan merupakan sebuah cara dalam menyampaikan sejarah dalam konteks sejarah kapitalis, yang akan mengajak orang-rang mempertimbangkan masa depan pasca kapitalisme (Rupert, 2007:158).
            Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa marxisme dan teori kritis bertujuan mengkritisi sistem kapitalisme dan perspektif-perspektif yang ada sebelumnya. Meskipun demikian, marxisme juga memiliki pendapat tersendiri mengenai sifat dasar manusia, yang dinilai berhubungan (relational) dan berorientasi pada proses, oleh karenanya, marxisme percaya bahwa tidakan manusia sangatlah tergantung pada proses sosial pada lingkungannya. Marxisme menjadi salah satu perspektif yang menyuguhkan segi pandang melalui titik ekonomi yang menghendaki penghapusan sistem kapitalisme yang dinilai sebagai sistem yang disabling, eksploitatif, dan tidak demokratis. Dengan adanya penghapusan kelas-kelas, maka kesetaraan dan keadilan akan sedikit demi sedikit menghilangkan konflik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini