Selasa, 19 Mei 2015

Tradisi atau Ritual Bangun rumah oleh Nely Lailatul Maghfiroh

Nama               : Nely Lailatul Maghfiroh
NIM                : 111205000013
Jurusan            : Bimbingan dan Penyuluhan Islam
Mata Kuliah    : Metodologi Penelitian Kualitatif

Tugas Mencari Rasionalitas Dari Hal-Hal Mistis
Temanggung adalah suatu kota kecil yang dekat dengan Magelang, Semarang, dan Wonosobo yang berada di propinsi Jawa Tengah. Kota yang menawarkan segudang panorama alam yang membentang disetiap sudutnya. Pesona alam yang sebenarnya mempunyai potensi sebagai tempat wisata seperti candi gondosuli, situs liyangan, jumprit, dan lain sebagainya. Yang biasanya tempat tersebut menyimpan cerita-cerita mistis yang mengundang untuk ditelusuri sisi rasionalnya. Selain tempat-tempat bersejarah, terdapat juga benda mistis yang menghubungkan kita dengan generasi sebelum kita, yaitu zaman sejarah terdahulu, yaitu pohon walites yang konon katanya pohon tersebut adalah pedang dari simbah Ky Makukuhan Kede.
Karena saya berasal dari Temanggung Jawa Tengah, maka saya akan menceritakan hal-hal mistis dari daerah tempat tinggal saya
 Tradisi atau Ritual Bangun rumah
Di daerah tempat tinggal saya, tepatnya di desa pasuruhan Kab.Temanggung terdapat juga tradisi atau ritual yang harus dilakukan sebelum membangun rumah. Yaitu, sebelum tuan rumah membangn rumahnya, maka tuan rumah harus memasak nasi asin untuk gendurenan. Rituan ini dilakukan agar orang yang menempati rumah tersebut terhindar dari mara bahaya dan juga penyakit-penyakit. Tradisi ini dilakukan dengan cara mengundang warga satu RT yang diwakili oleh kepala keluarga dan juga kerabat dekat untuk berkumpul bersama menikmati makanan yang disajikan seperti ketan, wajik, dan cemilan lainnya. Yang dilanjutkan dengan berdo'a bersama yang dipimpin oleh bapak ketua RT setempat. Seteleh itu warga mengambil nasi asin dengan lauk tempe bacem, telor asin setengah, ingkung ayam, dan bihun dikecapin. Lauk yang sudah menjadi tradisi turun temurun pada saat acara gendurenan. Setelah itu makanan tersebut dibawa pulang dengan membawa piring agar dinikmati oleh satu keluarga.
Setelah ritual genduren selesai, dilanjutkan ritual selanjutnya, yaitu memasang pagar berbentuk segiempat tepat di tengah lahan yang akan dibangun rumah dengan dibantu warga setempat. Di dalam tiang atau pagar itu terdapat paku untuk menggantung kelapa, padi, bendera merah putih, dan mengikatkan kain berwarna merah di kayu yang dijadikan pagar tersebut. Ritual yang kedua ini wajib dilakukan dan diyakini apabila tiang tersebut tidak digantungi dengan padi, kelapa, dan kain warna merah, maka rumah tersebut tidak akan bisa berdiri kokoh dan mudah rapuh dan rubuh. Selain agar penghuni rumah selamat dan tidak mengalami gagal panen ynag dilakukan dengan memajang padi dan kelapa.
Dari ritual yang sudah menjadi tradisi turun menurut tersebut, saya melihat sisi rasionalnya. Untuk yang pertama, yaitu gendurenan. Menurut saya genduren tersebut sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang diwujudkan dengan memberikan sebagian rizkinya untuk tetangga agar tetangga juga bisa menikmati rezeki yang mereka peroleh. Tetangga juga merasakan kebahagiaan tuan rumah karena tuan rumah sudah diberikan kecukupan rezki sehingga bisa membangun rumah. Mengenai lauk lauk yang wajib seperti itu dari dulu, menurut saya itu sebagai lambang kesejahteraan. Karena pada zaman dahulu, ayam itu merupakan makanan mewah. Karena ditempat tinggal saya makanan yang biasa di konsumsi adalah sayuran hasil dari sawah atau ladang. Sehingga lauk seperti ayam itu terbilang sangat mewah.
Untuk ritual yang kedua, sisi rasional dari tiang adalah. Agar rumah yang dibangun bisa kokok dengan adanya tiang yang terletak ditengah-tengah sebagai penyeimbnag. Kemudian gantungan yang berisi padi sebagai lambang kejayaan dan wujud rasa syukur dari panen padi sehingga dari panen padi tersebut tuan rumah mempunyai rezeki untuk membangun rumah. Bendera merah putih ditengah-tengah sebagai wujud rasa nasionalisme warga sebagai bagian dari bangsa Indonesia.
Cerita ini saya dapatkan dari kakek saya sendiri. Saya pernah menanyakan hal ini sewaktu saya masih duduk di bangku SMA.
Narasumber: H. Suprapto usia 92 tahun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini