TUGAS MATA KULIAH SOSIOLOGI
Disusun Oleh :
Rakha Khairul Arifin 11150510000067
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pesantren merupakan sistem pendidikan tertua khas Indonesia. Ia merupakan sumber inspirasi yang tidak pernah kering bagi para pecinta ilmu dan peneliti yang berupaya mengurai anatomi dari berbagai dimensi dari kawahnya. Sebagai objek studi telah lahir doktor-doktor dari berbagai disiplin ilmu mulai dari antropologi, sosiologi, pendidikan, politik, agama dan sebagainya. Pendidikan pesantren semula merupakan pendidikan agama yang di mulai sejak munculnya masyarakat Islam di negeri ini. Beberapa abad kemudian penyelengaraan pendidikan ini semakin teratur dengan munculnya tempat-tempat pengajian yang telah merumuskan kurikulumnya, seperti bahasa arab, tafsir, hadits, tauhid dan lain-lain. Bentuk ini kemudian berkembang menjadi berdirinya tempat-tempat menginap bagi para pelajar (santri) yang disebut pesantren.
Pesantren juga merupakan lembaga pendidikan tertua yang melekat yang dalam perjalanan kehidupan Indonesia sejak ratusan tahun silam. Ia adalah lembaga pendidikan yang dapat di kategorikan sebagai lembaga unik dan punya karakteristik sendiri yang khas sehingga saat ini menunjukkan kapabilitas yang cemerlang melewati sebagai episode zaman dengan prularitas polemik yang di hadapinya. Bahkan eksistensi pesantren sebagai lembaga tertua pendidikan Islam nusantara diakui telah memiliki andil dan peran yang besar dalam sejarah perjuangkan bangsa Indonesia. Di samping itu, pesantren juga mempunyai peranan penting dalam sistem pendidikan nasional.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah berdirinya pondok pesantren Al - Hamidiyah ?
2. Seperti apa jenis pendidikan yang diterapkan di pondok pesantren Al - Hamidiyah ?
3. Apa saja metode pendidikan yang disajikan di pondok pesantren Al - Hamidiyah ?
4. Apa saja materi yang disajikan di pondok pesantren Al - Hamidiyah ?
5. Bagaimana jadwal pelajaran yang diterapkan di pondok pesantren Al - Hamidiyah ?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui sejarah berdirinya pondok pesantren Al - Hamidiyah.
2. Untuk mengetahui seperti apa jaenis pendidikan yang di terapkan di pondok pesantren Al - Hamidiyah.
3. Untuk mengetahui metode pendidikan apa saja yang disajikan di pondok pesantren Al - Hamidiyah
4. Untuk mengetahui materi apa saja yang disajikan di pondok pesantren Al - Hamidiyah
5. Untuk mengetahui jadwal pembelajaran yang ditetapkan di pondok pesantren Al - Hamidiyah
BAB 2
TINJAUAN TEORITIS
Weber mengemukakan tiga tipe pendidikan yaitu :
1. Pendidikan kharismatik ialah membangkitkan intuisi agama serta kesiapan rohani mencapai pengalaman trensendental.
2. Pendidikan untuk kebudayaan ialah tipe yang didasarkan pada pendirian bahwa isi-isi (kebudayaan) tertentu yang ditanggapi sebagai sesuatu yang klasik dan memiliki kemampuan yang kuat untuk melahirkan tipe sosial tertentu.
3. Pendidikan spesialis ialah pendidikan tipe ini berupaya mengalihkan pengetahuan dan keterampilan khusus serta secara ketat berhubungan dengan pertumbuhan pemilihan kerja yang menjadikannya kaum spesialis (orang-orang yang memiliki keahlian khusus ) sangat diperlukan dalam masyarakat industri.
Sedangkan islam, berupaya menggabungkan ketiga tipe pendidikan diatas dalam sistemnya masing-masing dan memberikan ketinggian pada kesucian batin yang dicerminkan pada kesadaran sosial dan usaha-usaha idealistik yang ditujukan kepada penguasaan setiap kecakapan yang menjadi tuntunan tugas seseorang.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Sejarah Pondok Pesantren Al – Hamidiyah
Pesantren Al-Hamidiyah didirikan pada tanggal 17 Juli 1988 oleh KH Achmad Sjaichu untuk mewujudkan cita-cita luhurnya mengembangkan dunia pendidikan dan dakwah Islamiah melalui pesantren. Dengan basis keilmuan pesantren yang diperkaya dengan berbagai pengalaman yang menyertai perjalanan hidupnya, KH. Achmad Sjaichu menekuni dunia pesantren dengan konsep dan kesadaran yang lebih maju. Melalui pesantren, KH. Achmad Sjaichu ingin mengkader da'i dan ulama yang berwawasan luas dan memiliki kedalaman ilmu.
Pesantren Al-Hamidiyah merupakan salah satu wujud dari harapan dan keinginan yang sudah lama dicita-citakan oleh KH. Achmad Sjaichu (Almarhum). Pesantren Al-Hamidiyah didirikan pada tanggal 17 Juli 1988 untuk mewujudkan keinginan yang besar dalam menangani pengembangan dan pelestarian kegiatan pendidikan dan dakwah.
KH. Achmad Sjaichu mengharapkan dunia pesantren bisa menjadi penutup bagi perjalanan panjang kehidupannya, setelah ditinggalkan selama hampir 40 tahun terhitung sejak ia meninggalkan pesantren Al-Hidayah, Lasem. Dalam kurun waktu selama 40 tahun (1950-1980) KH Achmad Sjaichu terjun dalam dunia politik dan bergiat dalam Jam'iyah Nahdatul Ulama. Dalam bidang tersebut, KH Achmad Sjaichu berhasil membukukan berbagai prestasi. Di bidang politik, KH Achmad Sjaichu mencapai karir yang cukup terhormat, yaitu dengan menjadi ketua DPRGR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong), yang kini berubah menjadi DPR RI.
Dengan basis keilmuan pesantren yang diperkaya dengan berbagai pengalaman dan peristiwa yang menyertai perkembangan kehidupannya itulah, KH Achmad Sjaichu menemukan kembali dunia pesantren yang pernah ditinggalkannya dalam konsep dan kesadaran yang lebih maju. Melalui pesantren, KH Achmad Sjaichu ingin mengkader da'i dan ulama yang berwawasan luas dan memiliki kedalaman ilmu. Kesadaran baru itu muncul dari hasil pemahaman menyeluruh tentang makna kehadiran para juru dakwah dan ulama ditengah-tengah masyarakat yang bergerak maju dan cepat.
KH Achmad Sjaichu merasakan keprihatinan yang mendalam atas kenyataan makin langkanya ulama dan juru dakwah, baik dari segi kuantitas karena banyaknya ulama yang wafat, maupun segi kualitas karena sistem pendidikan dan pengajaran dalam lembaga pesantren yang masih harus lebih disempurnakan lagi. Menurutnya, para juru dakwah dan ulama perlu dipersiapkan sejak dinidengan seperangkat ilmu dan keterampilan yang cukup untuk menyertai perkembangan kehidupan modern yang kian kompleks. KH Achmad Sjaichu kemudian teringat kembali akan keprihatinan dan kekhawatiran yang pernah dirasakan Rasulullah SAW belasan abad yang silam tentang kondisi umatnya yang kehilangan pemimpin dari kalangan ulama. Rasulullah bersabda ;
"Sesungguhnya Allah tidak menghilangkan ilmu dengan mencabutnya secara serentak, akan tetapi Dia menghilangkan ilmu dengan cara mewafatkan ulama. Sehingga ketika sudah tak tersisa seorang pun ulama, manusia mengangkat orang-orang bodoh menjadi pemimpin. Ketika ditanya, mereka memberikan fatwa tanpa ilmu. Mereka tidak hanya sesat tetapi juga menyesatkan". (H.R. Bukhari-Muslim dari Ibnu Abbas)
Namun KH Achmad Sjaichu tidak tenggelam dan hanyut dalam keprihatinan semata-mata. Ia optimis dapat mewujudkan keinginannya mendirikan pesantren sebagai jawaban atas keprihatinan dan kekhawatiran tersebut. Sebab Nasyrul Ilmi (pengembangan ilmu pengetahuan) bukan semata-mata menjadi keinginan manusia, tetapi juga mendapat jaminan dari Allah SWT. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda;
"Barang siapa dikehendaki Allah menjadi orang baik, niscaya Ia (Allah) memberi kedalaman ilmu di bidang agama (Islam). Sesungguhnya saya sekedar membagi ilmu dan Allah yang memberinya. Tidak henti-hentinya umatku menegakkan kebenaran sesuai perintah Allah. Orang-orang yang menentangnya tidak akan mendatangkan madlarat bagi mereka hingga datang ketetapan Allah (kiamat)". (H.R.empat imam dari Mu'awiyah)
Motivasi yang besar untuk mendirikan sekaligus menjadi pengasuh pesantren juga mendapat dorongan dari istrinya (almarhumah) Ny. Hj. Solchah Sjaichu. Sebelum wafatnya tanggal 24 Maret 1986, Ny. Hj. Solchah terus mendorong agar rencana mendirikan pesantren itu segera diwujudkan.
Atas dasar itu, bulatlah tekad untuk mendirikan pesantren. Kebetulan pada saat yang sama, ada sebidang tanah di daerah Depok di jual dengan harga relatif murah. Tanah yang berlokasi di daerah Rangkapan Jaya, Pancoran Mas, Kota Depok, Jawa Barat itu, akhirnya dibeli pada tahun 1980. Di atas tanah inilah, pesantren yang menjadi idamannya dan idaman istrinya, didirikan. Karena beberapa kesibukan dan persiapan yang belum cukup, pembangunan pesantren itu tertunda. Baru pada tahun 1987, dengan disaksikan para ulama dan tokoh masyarakat, Menteri Agama H. Munawir Sjadzali meletakan batu pertama, mengawali pembangunan pesantren. Oleh KH Achmad Sjaichu pesantren itu diberi nama Al-Hamidiyah, dinisbatkan dengan nama ayahandanya, H. Abdul Hamid. Pesantren Al-Hamidiyah kemudian dimasukan dalam daftar unit kerja di lingkungan Yayasan Islam Al-Hamidiyah.
Secara fisik, bangunan pesantren Al-Hamidiyah dirancang dan ditangani langsung pengawasannya oleh Ir. H. Mochamad Sutjahjo Sjaichu, putra ketiga KH Achmad Sjaichu. Bersamaan dengan itu dilakukan pula perencanaan berbagai program pendidikan di bawah koordinasi (Almarhum) DR. H. Fahmi D. Saifuddin, MPH, wakil ketua Yayasan Islam Al-Hamidiyah pada saat itu, yang juga menantu KH Achmad Sjaichu.
Sementara pembangunan fisik berjalan, persiapan pembukaan pesantren juga dilakukan. Rapat-rapat Yayasan kemudian menghasilkan keputusan perlunya segera dibentuk suatu badan pengelola. Maka dicarilah tenaga-tenaga yang siap untuk menjalankannya. Seperangkat kepengurusan dipersiapkan, dan tepat tanggal 17 Juli 1988, pondok Pesantren Al-Hamidiyah dibuka. Pada saat itu, pesantren menerima murid pertama 150 siswa untuk Madrasah Aliyah, dan 120 untuk Madrasah Tsanawiyah. Dari jumlah tersebut, 75 santri putra dan 40 santri putri bermukim di asrama, sedang lainnya pulang pergi.
Menteri Agama RI H. Munawir Sadzali kembali menjadi saksi bagi pembukaan kegiatan perdana pesantren Al-Hamidiyah. Dalam pidato sambutan peresmian pembukaan pesantren, menteri antara lain menyatakan rasa syukur dan penghargaan yang tinggi atas dibangunnya pesantren Al-Hamidiyah depok oleh KH Achmad Sjaichu. Pendirian pondok pesantren sejalan dengan usaha Menteri Agama yang saat itu mengadakan proyek percontohan pendidikan madrasah dengan materi pendidikan terdiri dari 70% substansi agama dan 25% substansi umum yang disebut MAPK (Madrasah Aliyah Program Khusus).
Pada acara peresmian yang dihadiri alim ulama, pemerintah, dan tokoh masyarakat itu, Menteri Agama lebih jauh menyatakan, program yang menekankan pengajaran bidang studi agama adalah jawaban atas kelangkaan ulama yang sedang dirasakan umat Islam dewasa ini, khususnya di Indonesia. Dan membangun pondok pesantren bukan sekedar membangun bangunan fisik belaka. Tapi lebih dari itu, adalah membangun manusia, mempersiapkan ulama yang mampu menjawab tantangan zaman.
B. Jenis Pembelajaran
Jenis Pendidikan Di Pondok Pesantren Al Hamidiyah | Pesantren Al-Hamidiyah menerapkan Sistem Pendidikan Integral (Terpadu) yaitu sistem pendidikan yang menyatukan seluruh aktivitas yang berhubungan dengan proses pendidikan termasuk didalamnya proses belajar mengajar untuk mencapai tujuan pendidikan dan pengajaran pesantren, yakni menghasilkan santri/siswa yang berwawasan luas dan mampu menjawab tuntutan zaman.
Disamping itu, pesantren Al-Hamidiyah mengembangkan program Bahasa Arab, Bahasa Inggris, Tahfidzul Qur'an dan kemampuan berdakwah santri/siswa.
C. Metode Pendidikan
A. Metode sorogan
Metode sorogan merupakan metode yang ditempuh dengan cara ustadz menyampaikan pelajaran kepada santri secara individual. Sasaran metode ini biasanya kelompok santri pada tingkat rendah yaitu mereka yang baru menguasai pembacaan Al-quran. Melalui sorogan, pengembangan intelektual santri dapat ditangkap oleh kiai secara utuh. Dia dapat memberikan bimbingan penuh sehingga dapat memberikan tekanan pengajaran terhadap santri-santri tertentu atas dasar observasi langsung terhadap tingkat kemampuan dasar dan kapasitas mereka. Kelemahan penerapan metode ini menuntut pengajar untuk besikaf sabar dan ulet, selain itu membutuhkan waktu yang lama yang berarti pemborosan, kurang efektif dan efisien. Kelebihannya yaitu secara signifikan kiai/ustadz mengawasi, menilai dan membimbing secara maksimal kemampuan santri dalam menguasai materi yang diajarkan.
B. Metode Wetonan
Metode wetonan atau di sebut juga metode bandungan adalah metode pengajaran dengan cara ustadz/kiai membaca, menerjemahkan, menerangkan dan mengulas kitab/buku-buku keislaman dalam bahasa arab, sedangkan santri mendengarkannya. Mereka memperhatikan kitab/bukunya sendiri dan membuat catatan-catatan (baik arti maupun keterangan) tentang kata-kata yang diutarakan oleh ustadz/kiai.
Kelemahan dari metode ini yaitu mengakibatkan santri bersikaf pasif. Sebab kreatifitas santri dalam proses belajar mengajar di domoninasi oleh ustadz/kiai, sementara santri hanya mendengarkan dan memperhatikan.
Kelebihan dari metode ini yaitu terletak pada pencapaian kuantitas dan pencapaian kjian kitab, selain itu juga bertujuan untuk mendekatkan relasi antara santri dengan kiai/ ustadz.
C. Meode Ceramah
Metode ceramah ini merupakan hasil pergeseran dari metode wetonan dan metode sorogan. Metode wetonan dan metode sorogan yang semula menjadi ciri khas pesantren, pada beberapa pesantren telah diganti denganm metode ceramah sebagai metode pengajaran yang pokok dengan sistem klasik. Namun pada beberapa pesantren lainnya masih menggunakan metode sorogan dan wetonan untuk pelajaran agama, sedangkan untuk pelajaran umum menggunakan metode ceramah.
Kelemahan dari metode ini justru mengakibatkan santri menjadi lebih fasif, sedangkan kelebihannya yaitu mampu menjangkau santri dalam jumlah banyak, bisa diterapkan pada peserta didik yang memiliki kemampuan heterogen dan pengajar mampu menyampaikan materi yang relatif banyak.
D. Metode Muhawarah
Metode muhawarah adalah metode yang melakukan kegiatan bercakap-cakap dengan menggunakan bahasa arab yang diwajibkan pesantren kepada para santri selama mereka tinggal di pondok. Sebagian pesantren hanya mewajibkan pada saat tertentu yang berkaitan dengan kegiatan lain, namun sebagian pesantren lain ada yang mewajibkan para santrinya setiap hari menggunakan bahasa arab.
Kelebihan dari penerapan metode ini yaitu dapat membentuk lingkungan yang komunikatif antara santri yang menggunakan bahasa arab dan secara kebetulan dapat menambah pembendaharaan kata (mufradat) tanpa hafalan. Pesantren yang menerapkan metode ini secar intensif selalu berhasil mengembangkan pemahaman bahasa.
E. Metode Mudzakarah
Metode mudzakarah adalah suatu pertemuan ilmiah yang secara spesifik membahas masalah diniyyah seperti aqidah, ibadah dan masalah agama pada umumnya. Aplikasi metode ini dapat mengembangkan dan membangkitkan semangat intelektual santri. Mereka diajak berfikir ilmiah dengan menggunakan penalaran-penalaran yang didasarkan pada Al-qur'an dan Al-sunah serta kitab-kitab keislaman klasik. Namun penerapan metode ini belum bisa berlangsung optimal, ketika para santri membahas aqidah khususnya, selalu dibatasi pada madzhab-madzhab tertentu. Materi bahasan dari metode mudzakarah telah mengalami perkembangan bahkan diminati oleh kiai yang bergabung dalam forum bathsul masail dengan wilayah pembahasan yang sedikit meluas.
F. Metode Majlis Ta'lim
Metode majlis ta'lim adalah metode menyampaikan pelajaran agama islam yang bersifat umum dan terbuka, yang dihadiri jama'ah yang memiliki latar belakang pengetahuan, tingkat usia dan jenis kelamin.
Metode ini tidak hanya melibatkan santri mukmin dan santri kalong (santri yang tidak menetap di asrama cuma belajar dipesantren ) saja tetapi masyarakat sekitar pesantren yang tidak memiliki kesempatan untuk mengikuti pengajian setiap hari. Pengajian majlis ta'lim bersifat bebas dan dapat menjalin hubungan yang akrab antara pesantren dan masyarakat sekitarnya.[1]
D. Materi yang disajikan
1. Materi Dasar Keislaman Dengan Ilmu Keislaman
Sistem pendidikan dipesantren tidak didasarkan pada kurikulum yang digunakan secara luas, tetapi diserahkan pada penyesuaian elastis antara kehendak kiai dengan kemampuan santrinya secara individual.
Ketika masih berlangsung dilanggar (surau) atau masjid, kurikulum pengajian masih dalam bentuk yang sederhana, yakni berupa inti ajaran islam yang mendasar. Rangkaian trio komponen ajaran islam yang berupa iman, islam dan insan atau dokrin, ritual, dan mistik telah menjadi perhatian kiai perintis pesantren sebagai kurikulum yang diajarkan kepada santrinya. Penyampaian tiga komponen ajaran islam tersebut dalam bentuk yang paling mendasar, sebab disesuaikan dengan tingkat intelektual dengan masyarakat (santri) dan kualitas keberagamaannya pada waktu itu.
Peralihan dari langgar (surau) atau masjid lalu berkembang menjadi pondok pesantren ternyata membawa perubahan materi pengajaran. Dari sekedar pengetahuan menjadi suatu ilmu.
Dalam perkembangan selanjutnya, santri perlu di berikan bukan hanya ilmu-ilmu yang terkait dengan ritual keseharian yang bersifat praktis-pragmatis, melainkan ilmu-ilmu yang berbau penalaran yang menggunakan referensi wahyu seperti ilmu kalam, bahkan ilmu-ilmu yang menggunakan cara pendekatan yang tepat kepada Allah seperti tasawuf.
Ilmu kalam atau ilmu tauhid memberikan pemahaman dan keyakinan terhadap ke-esaan Allah, fiqih memberikan cara-cara beribadah sebagai konsekuensi logis dari keimanan yang telah dimiliki seseorang pada penyempurnaan ibadah agar menjadi orang yang benar-benar dekat dengan Allah.
2. Penambahan dan Perincian Materi Dasar
Kurikulum pesantren berkembang menjadi bertambah luas lagi dengan penambahan ilmu-ilmu yang masih merupakan elemen dari materi pelajaran yang diajarkan pada masa awal pertumbuhannya. Beberapa laporan mengenai materi pelajaran tersebut dapat disimpulkan yaitu: al-qur'an dengan tajwid dan tafsir, aqa'id dan ilmu kalam ,fiqih dengan ushul fiqih dan qawaid al-fiqh, hadits dengan mushthalah hadits, bahasa arab dengan ilmu alatnya seperti nahwu, sharaf, bayan, ma'ani, badi, dan 'arudh, tarikh, mantiq, tasawuf, akhlak dan falak.
Tidak semua pesantren mengajarkan ilmu tersebut secara ketat. Kombinasi ilmu tersebut hanyalah lazimnya ditetapkan di pesantren. Beberapa pesantren lainnya menetapkan kombinasi ilmu yang berbeda-beda karena belum ada standarisai kurikulum pesantren baik yang berskala lokal, regional maupun nasional. Standarisasi kurikulum barang kali tidak pernah berhasil ditetapkan disuruh pesantren.
Sebagian besar kalangan pesantren tidak setuju dengan standarisasi kurikulum pesantren. Variasi kurikulum pesantren justru diyakini lebih baik. Adanya variasi kurikulum pada pesantren akan menunjukan ciri khas dan keunggulan masing-masing. Sedangkan penyamaran kurikulum terkadang justru membelenggu kemampuan santri.
Pengetahuan-pengetahuan yang paling diutamakan adalah pengetahuan-pengetahuan yang berhubungan dengan bahasa arab (ilmu sharaf dan ilmu alat yang lain) dan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan ilmu syari'at sehari-hari (ilmu fiqih,baik berhubungan dengan ibadah maupun mu'amalahnya). Sebaliknya, dalam perkembengan terakhir fiqih justru menjadi ilmu yang paling dominan.[2][2]
3. Penyempitan Orientasi Kurikulum
Pada umumnya pembagian keahlian dilingkungan pesantren telah melahirkan produk-produk pesantren yang berkisar pada: nahwu-sharaf, fiqih, aqa'id, tasawuf, hadits, tafsir, bahasa arab dan lain sebagainya.
a. Nahwu-Sharaf
Istilah nahwu-sharaf ini mungkin diartikan sebagai gramatika bahasa arab. Keahlian seseorang dalam gramatika bahasa arab ini telah dapat merubah status-keagamaan, bentuk keahliannya yaitu kemampuan mengaji atau mengajarkan kitab-kitab nahwu-sharaf tertentu, seperti al-jurumiyah,al-fiyah,atau untuk tingkat yang lebih tingginya lagi, dari karya ibnu Aqil.
b. Fiqih
Menurut Nurcholish Madjid, keahlian dalam fiqih merupakan konotasi terkuat bagi kepemimpinan keagamaan Islam, sebab hubungan yang erat dengan kekuasaan. Faktor ini menyebabkan meningkatnya arus orang yang berminat mendalami dalam bidang fiqih. Umumnya fiqih diartikan sebagai kumpulan hukum amaliah (sifatnya akan diamalkan) yang di syariatkan Islam.
c. Aqa'id
Aqa'id meliputi segala hal yang bertalian dengan kepercayaan dan keyakinan seorang muslim. Tetapi, menurut Nurcholis Madjid, meskpun bidang pokok-pokok kepercayaan atau aqa'id ini disebut ushuludin (pokok-pokok agama), sedangkan fiqih disebut furu (cabang-cabang), namun kenyataannya perhatian pada bidang aqa'id ini kalah besar dan kalah antusias dibanding dengan perahtiaan pada bidang piqih yang hanya merupakan cabang (furu).
d. Tasawuf
Pemahaman yang berkembang tentang ilmu tasawuf hanya seputar tarikat, suluk, dan wirid. Bahkan dongeng tentang tokoh-tokoh legendaris tertentu, hingga menimbulkan kultusme pada tokoh-tokoh tertentu baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal dunia. Praktek tasawuf seperti ini banyak diamalkan di Indonesia.
e. Tafsir
Keahlian dibidang tafsir ini amat diperlukan untuk mengantisipasi kemungkinan munculnya penyelewengan-penyelewengan dalam menafsirkan al-qur'an. Peran tafsir sangat urgen dan strategis sekali untuk menangkal segala kemungkinan tersebut.
f. Hadits
Nurcholis Madjid berpendapat, produk pondok pesantren menyangkut keahlian dalam hadits jauh relatif kecil bila dibandingkan dengan tafsir. Padahal penguasaan hadits jauh lebih penting, mengingat hadits merupakan sumber hukum agama (Islam) kedua setelah al-qur'an. Keahlian dibidang ini tentu saja amat diperlukan untuk pengembangan pengetahuan agama itu sendiri.
g. Bahasa Arab
Keahlian dibidang ini harus dibedakan dengan keahlian dalam nahwu-sharaf diatas. Sebab, titik beratnya ialah penguasaan "materi" bahasa itu sendiri, baik pasif maupun aktif. Kebanyakan mereka kurang mengenal lagi kitab-kitab nahwu-sharaf seperti yang biasa dikenal di pondok-pondok pesantren.[3][3]
BAB IV
HASIL ANALISIS
Berdasarkan penelitian yang saya lakukan yaitu berdasarkan hasil data serta informasi yang saya peroleh dapat ditarik kesimpulan bahwa pondok pesantren Al - Hamidiyah bersifat dinamis/berkembang dari waktu kewaktu, tidak bersifat statis. Baik dalam segi perkembangan bangunan dan lain-lainnya. Untuk lebih rincinya berikut ini merupakan hasil analisis saya, mengapa pondok pesantren Al - Hamidiyah dikatakan bersifat dinamis yaitu berkembang dari waktu kewaktu.
1. Dilihat dari segi bangunan
Dilihat dari segi bangunan dapat disimpulkan bahwa pondok pesantren ini bersifat dinamis, hal ini dapat dilihat berdasarkan data-data bahwa pertama kali dibangun pondok pesantren ini hanya terdiri dari satu gedung asrama putra, kemudian seiring berjalannya waktu proses pembangunan pun dibangun lagi.
2. Dilihat dari segi metode pembelajaran
Pondok pesantren miftahussalam dapat dikatakan bersifat dinamis karena metode-metode yang digunakan dari waktu kewaktu mengalami perbaikan, disesuaikan dengan kondisi perkembangan-perkembangan pendidikan serta hasil evaluasi yang dilakukan setiap selesai satu bab mata pelajaran.
Metode yang baru diterapkan sekarang-sekarang ini yaitu metode karyawisata dimana metode ini diterapkan berdasarkan kondisi bahwa santri perlu mendapatkan pengetahuan umum bersifat nyata namun masih dalam konteks menambah pengetahuan yang ada kaitannya dengan ilmu agama. Dengan adanya metode ini santri dapat melihat secara langsung dan dapat mengidentifikasi sendiri berdasarkan fakta yang mereka lihat.
Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa pondok pesantren berusaha untuk terus memperbaiki metode dan strategi yang diterapkan. Untuk itu dapat dikatakan bahwa pondok pesantren Al - Hamidiyah ini bersifat dinamis.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa pondok pesantren Al - Hamidiyah tempatnya berada di Kota Depok. Pondok pesantren ini dibangun pertama kali pada tanggal 17 Juli 1988, dimana pondok pesantren ini secara pribadi didirikan oleh oleh KH Achmad Sjaichu diatas tanah miliknya sendiri, dan sekarang setelah oleh KH Achmad Sjaichu wafat pengelolaan pondok pesantren dilanjutkan oleh putranya yang pertama yang bernama Fauazi.
Adapun jadwal pembelajaran dipondok pesantren Al - Hamidiyah yaitu: kegiatan mujahadah, dan kegiatan mujahadah malam. Jadwal pembelajaran di pondok pesantren miftahussalam 2 yaitu : pembelajaran kitab sabrowi, Mujadalah malam, dan Pembelajaran kitab tingkat Al-Amriti. Itulah kegiatan harian santri di pondok pesantren Al - Hamidiyah. Adapun Metode yang diterapkan dipondok pesantren ini yaitu metode sorogan, Metode Wetonan, Metode Ceramah, dan Metode Karyawisata.
Materi pembelajaran yang diberikan kepada setiap santri dipondok pesantren ini tentunya tidak akan sama, materi diberikan berdasarkan tingkat pengetahuan dasar santri dan di sesuaikan dengan usia serta jenjang kebutuhan pengetahuan pada usia tersebut. Berikut ini merupakan materi yang diberikan dipondok pesantren Al - Hamidiyah yaitu : Hafalan al-quran atau juz amma, kitab sabrowi, Kitab al-amriti, kitab al-fiyah ibnu malik, kitab Fathul qorib dan kitab Fathul wahab.
.
Pondok pesantren ini bisa dikatakan bersifat dinamis yaitu berkembang dari waktu kewaktu karena dilihat dari segi bangunan dan dilihat dari segi metode pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA
HS, Mastuki, El-sha, M. Ishom. ''Intelektualisme Pesantren'', Jakarta: Diva Pustaka, 2006.
Haedari, H.Amin. ''Transformasi Peasntren'', Jakarta: Media Nusantara, 2007.
Khadijah Ummul Mu'minin Nazharat Fi isyraqi Fajril Islam'', Al Haiah Al Mishriyah Press, karya Abdul Mun'im Muhammad 1994.
[[1]] HS, Mastuki, El-sha, M. Ishom. ''Intelektualisme Pesantren'', Jakarta: Diva Pustaka, 2006. Hal 22-25
[2] Khadijah Ummul Mu'minin Nazharat Fi isyraqi Fajril Islam'', Al Haiah Al Mishriyah Press, karya Abdul Mun'im Muhammad 1994.
[3][3] Haedari, H.Amin. ''Transformasi Peasntren'', Jakarta: Media Nusantara, 2007. Hal 50-53
Tidak ada komentar:
Posting Komentar