Selasa, 29 Desember 2015

Tugas UAS SOSKOT_Kisah Pengangguran Kota Terdidik_PMI 3

isusun Oleh:            SYARIFAH  ASMAR                                              11140540000016

IQBAL ZAENAL MUTAQIN                                11140540000003

HENDRIAN JULISNA                                           11140540000008

Prodi               :           Pengembangan Masyarakat Islam (3)

 

"KISAH PENGANGGURAN KOTA TERDIDIK"

 

I.              PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Persoalan pengangguran di Indonesia masih menjadi momok menakutkan. Pasalnya, tingkat pengangguran di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat dalam kurun waktu satu tahun, tingkat pengangguran di Indonesia mengalami penambahan sebanyak 300 ribu jiwa. Bahkan, sejak Februari 2015 saja sudah mengalami peningkatan dibandingkan dengan Agustus 2014, sebanyak 210 ribu jiwa. Sementara, jika dibandingkan dengan Februari tahun lalu bertambah 300 ribu jiwa.

BPS juga mencatat, ada 7,4 juta pengangguran terbuka per Februari 2015. Ironisnya, kenaikan tersebut sebagian disebabkan sarjana yang menganggur. Kondisi ini sangat mengkhawatirkan. Apalagi, akhir tahun ini, Indonesia akan mulai memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Ini artinya, SDM Indonesia tidak hanya bersaing dengan sesama anak bangsa saja, tetapi juga dengan bangsa lain. Perguruan Tinggi (PT), termasuk universitas sebagai pencetak calon tenaga kerja mendapatkan tantangan untuk melahirkan SDM berstandar kompetensi global.

"Maka dari itu, kami di sini tidak hanya mencetak lulusan cerdas, tetapi juga mampu memiliki daya saing. Dengan semangat kewirausahaan, kreatif, inovatif, dan inklusif, yang didasarkan pada pola pikir global dan multikultural," ungkap Rektor President University Chandra Setiawan di sela wisuda ke-10 President University di Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, (6/6). Pihaknya menerapkan pengajaran yang tidak hanya berdasarkan teori, tapi juga yang sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja.

"Selain menerapkan pengajaran dengan pengantar bahasa Inggris, kami juga mewajibkan mahasiswa-mahasiswi kami untuk magang selama satu tahun di sejumlah perusahaan," imbuh Director of International Office President University, Jhanghiz Syahrivar. Menurutnya, kampus yang memiliki mahasiswa lokal dan internasional itu sudah berafiliasi dengan 1.600 perusahaan yang bergerak di berbagai bidang. Baik dalam maupun luar negeri. "Mahasiswa semester 9 diwajibkan untuk magang. Ini supaya mereka bisa merasakan dunia kerja dan mengaplikasikan teori yang didapat selama perkuliahan," jelas Jhanghiz.

Senada dengan harapan Menteri Ketenagakerjaan, M Hanif Dhakiri. Menurut Hanif, salah satu faktor timbulnya pengangguran adalah tidak terserapnya lulusan pendidikan oleh dunia industri, karena tidak memiliki kompetensi dan kualifikasi yang dibutuhkan pasar kerja. Maka itu, dia sangat mendorong dan memberikan perhatian khusus terhadap pengembangan SDM berbasis kompetensi untuk menjawab tantangan MEA. Sebab dengan ketersediaan SDM yang berkompeten dan berdaya saing tinggi, tenaga kerja Indonesia diyakini tidak akan kalah bersaing dengan pekerja yang berasal dari negara-negara ASEAN lainnya.

 

B.     Pertanyaan Penelitian

Dari penelitian ini, kami membuat beberapa daftar pertanyaan penelitian diantaranya.

1.      Bagaimana kondisi pengangguran terdidik di Indonesia saat ini?

2.      Apa saja faktor penyebab utama adanya pengangguran?

3.      Bagaimana upaya penanggulangan masalah pengangguran terdidik?

 

C.    Tinjauan Teoritis

Teori konflik muncul sebagai reaksi atas teori fungsionalisme struktural yang kurang memperhatikan fenomena konflik di dalam masyarakat. Asumsi dasar teori ini ialah bahwa semua elemen atau unsur kehidupan masyarakat harus berfungsi atau fungsional sehingga masyarakat secara keseluruhan bias menjalankan fungsinya dengan baik. Namun demikian, teori ini mempunyai akar dalam karya Karl Marx di dalam teori sosiologi klasik dan dikembangkan oleh beberapa pemikir sosial yang berasal dari masa-masa kemudian.

Teori konflik adalah satu perspektif di dalam sosiologi yang memandang masyarakat sebagai satu sistem sosial yang terdiri dari bagian-bagian atau komponen-komponen yang mempunyai kepentingan yang berbeda-beda dimana komponen yang satu berusaha untuk menaklukkan komponen yang lain guna memenuhi kepentingannya atau memperoleh kepentingan sebesar-besarnya.

Pada dasarnya pandangan teori konflik tentang masyarakat sebetulnya tidak banyak berbeda dari pandangan teori fungsionalisme structural, karena keduanya sama-sama memandang masyarakat sebagai satu sistem yang tediri dari bagian-bagian. Perbedaan antara keduanya terletak dalam asumsi mereka yang berbeda-beda tentang elemen-elemen pembentuk masyarakat itu.

Menurut teori fungsionalisme struktural, elemen-elemen itu fungsional sehingga masyarakat secara keseluruhan bisa berjalan secara normal. Sedangkan teori konflik, elemen-elemen itu mempunyai kepentingan yang berbeda-beda sehingga mereka berjuang untuk saling mengalahkan satu sama lain guna memperoleh kepentingan sebesar-besarnya.

Teori konflik lebih menitik beratkan analisisnya pada asal-usul terciptanya suatu aturan atau tertib sosial. Teori ini tidak bertujuan mengnalisis asal usul terjadinya pelanggaran peraturan atau latar belakangi seseorang berprilaku meyimpang. Persperktif konflik lebih menekankan sifat pluralistik dari masyarakat dan ketidakseimbangan distribusi kekuasaan yang terjadi di antara berbagai kelompok. Karena kekuasaan yang dimiliki oleh kelompok-kelompok elit, maka kelompok-kelompok itu juga memiliki kekuasaan untuk menciptakan peraturan, khususnya hukum yang dapat melayani kepentingan-kepentingan mereka.

Bekaitan dengan hal itu, persepktif konflik memahami masyarakat sebagai kelompok-kelompok dengan berbagai kepentingan yang bersaing dan akan cenderung saling berkonflik. Melalui persaingan itu, maka kelompok-kelompok dengan kekuasaan yang berlebih akan menciptakan hukum dan aturan-aturan yang menjamin kepentingan mereka dimenangkan. (quinney, 1979: 115-160 dalam Clinard dan Meier, 1989: 98-99).

Teori konflik Karl Marx

Beberapa pandangan Marx tentang kehidupan sosial yaitu :

1.      Masyarakat sebagai arena yang di dalamnya terdapat berbagai bentuk pertentangan.

2.      Negara sebagai pihak yang terlibat aktif dalam pertentangan dengan berpihak kepada kekuatan yang dominan.

3.      Paksaan (coercion) dalam wujud hukum dipandang sebagai faktor utama untuk memelihara lembaga-lembaga sosial seperti milik pribadi (property), perbudakan (selafery), kapital yang menimbulkan ketidaksamaan hak dan kesempatan. Kesenjangan sosial terjadi dalam masyarakat karena bekerjanya lembaga paksaan tersebut yang bertumpu pada cara-cara kekerasan, penipuan, dan penindasan. Dengan demikian, titik tumpu dari konflik sosial adalah kesenjangan sosial.

4.      Negara dan hukum dilihat sebagai alat penindasan yang digunakan oleh kelas yang berkuasa (kapitalis) demi keuntungan mereka.

5.      Kelas-kelas dianggap sebagai kelompok-kelompok sosial yang mempunyai kepentingan sendiri yang bertentangan satu sama lain, sehingga konflik tak terelakkan lagi.

Secara umum pendekatan konflik dibagi 2, diantaranya sebagaimana dikemukakan oleh Karl Marx yang memandang masyarakat terdiri dari 2 kelas yang didasarkan pada kepemilikan sarana dan alat produksi (property), yaitu kelas borjuis dan proletar. Kelas borjuis adalah kelompok yang memiliki sarana dan alat produksi yang dalam hal ini adalah perusahaan sebagai modal dalam usaha. Kelas proletar adalah kelas yang tidak memiliki sarana dan alat produksi sehingga dalam pemenuhan akan kebutuhan ekonominya tidak lain hanyalah menjual tenaganya. Konflik antar kelas sosial terjadi melalui proses produksi sebagai salah satu kegiatan ekonomi di mana dalam proses produksi terjadi kegiatan pengeksploitasian terhadap kelompok proletar oleh kelompok borjuis.

 

D.    Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan oleh kelompok kami adalah menggunakan metode penelitian kualitatif. Penelitian kualitaif  ditujukan untuk memahami fenomena-fenomena sosial dari sudut pandang partisipan. Dengan demikian arti atau pengertian penelitian kualitatif tersebut adalah penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi objek alamiah dimana peneliti merupakan instrumen kunci (Sugiyono, 2005).

Penelitian kualitatif adalah prosedur penilaian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata tertulis atau lisan dari orang dan perilaku yang dapat diamati (Sudarto,1997:62). Sedangkan, penelitian kuantitatif adalah suatu proses menemukan pengetahuan yang menggunakan data berupa angka sebagai alat menganalisis keterangan mengenai apa yang ingin kita ketahui.

Metode penelitian kualitatif merupakan sebuah cara yang lebih menekankan pada aspek pemahaman secara mendalam terhadap suatu permasalahan. Penelitian kualitatif ialah penelitian riset yang bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis serta lebih menonjolkan proses dan makna. Tujuan dari metodologi ini ialah pemahaman secara lebih mendalam terhadap suatu permasalahan yang dikaji. Dan data yang dikumpulkan lebih banyak kata ataupun gambar-gambar daripada angka.

Dalam penelitian sosiologi, metodologi penelitian kualitatif banyak digunakan karena objek kajian sosiologi adalah manusia sebagai masyarakat dan individu. Metode penelitian ini menggunakan bahan yang sukar diukur dengan angka. Walau demikian bukan berarti metode penelitian tidak menggunakan angka (statistik). Perhitungan statistik diperlukan untuk mendukung dan sebagai alat untuk memperjelas penelitian.

 

II.           Gambaran Umum Subyek / Obyek Kajian

A.    Profil Umum Subyek / Obyek

Sebanyak 400 ribu pemuda Indonesia yang bertitel sarjana menjadi pengangguran, demikian data yang dikeluarkan BPS pada bulan Februari 2015. Setiap hari mereka bersusah payah mencari lowongan dan mengirim lamaran. Bekerja untuk mencari penghasilan. Ada kombinasi tampang yang lusuh, frustasi, dan letih yang masih menyisakan sedikit optimis untuk tetap mencari pekerjaan yang lebih baik.

Dari permasalahan tersebut, Jadilah seorang mahasiswa yang tidak sekedar berfikir untuk cepat lulus deangan IPK memuaskan. Bagaimanapun juga, lulus tepat dengan IPK memuaskan memang menjadi tujuan hamper semua mahasiswa. Namun, patut disadari bahwa IPK yang memuaskan bukan jaminan seorang sarjana mudah mendapatkan pekerjaan. Sebagai contohnya adalah narasumber yang kami wawancarai. Ia lulus dengan IPK yang cukup baik tetapi karena kurangnya skill dan kurangnya pengalaman, menyebabkan ia sulit mendapatkan pekerjaan dan juga kurangnya usaha yang ia lakukan untuk mengubah hidupnya agar lebih baik lagi.

Di satu sisi, kami melihat mahasiswa yang sukses membuka bisnis setelah ia lulus kuliah. Setelah ditelusuri ternyata ia termasuk mahasiswa dengan IPK yang di bawah rata-rata. Tetapi ia mempunyai sebuah kelebihan, yaitu dari pengalaman organisasi yang ia jalani. Dari pengalaman tersebut ia mendapat banyak relasi dan jaringan untuk berbisnis.

 

B.     Lokasi Dan Waktu Kajian

1.      Lokasi I

Lokasi                 : Jalan Semanggi 2, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten

Waktu Kajian      : Senin, 14 Desember 2015 pukul 13:00 WIB s.d pukul 15:00

Kelompok kami mengamati dan mewawancarai seseorang yang ia tidak memiliki pekerjaan tetap hanya mengikuti temannya menyewakan sepeda-sepeda tetapi ia memiliki pendidikan yang baik yaitu lulusan Sarjana Ekonomi.

2.      Lokasi II

Lokasi                 : Jalan Kesehatan, Bintaro, Jakarta Selatan

Waktu Kajian      : Selasa, 15 Desember 2015 pukul 10.00 WIB s.d pukul 12.00

Kelompok kami juga mengamatiseorang pengusaha dengan bisnis jual beli sepeda dan penyewaan sepeda serta laundry kiloan.

 

III.        Analisis Hasil

Perubahan struktur ketenagakerjaan, khususnya besarnya angka pengangguran secara teoritis selain dipengaruhi oleh dinamika perubahan struktur demografi penduduk, juga ditentukan oleh pasang-surut pertumbuhan ekonomi suatu negara atau daerah dan karakteristik pencari atau angkatan kerja pada umumnya. Revolusi demografi, seperti pertumbuhan penduduk, perubahan struktur umur dan jenis kelamin mempengaruhi jumlah dan pertumbuhan angkatan kerja. Sedangkan, perubahan struktur perekonomian, dari pertanian ke industri akan mempengaruhi permintaan dan penawaran pasar kerja. 

Kenaikan biaya hidup dan inflasi yang cukup mencolok, bukan saja menyebabkan terjadinya penambahan kemiskinan, tetapi situasi yang dihadapi Indonesia  menjadi lebih runyam karena diperparah oleh persoalan lapangan kerja: setiap tahun 2 juta pencari kerja baru memasuki pasar kerja, sementara perkembangan lapangan pekerjaan baru relatif terbatas (Husken dkk., 1997). Di wilayah pedesaan, lapangan kerja sebagian besar masih diketemukan di sektor pertanian, sementara sektor non-pertanian di pedesaan nyaris tidak bergerak. Padahal, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa mekanisme involusi di pedesaan pelan-pelan mulai mencapai titik jenuh, terutama ketika proses komersialisasi dan hubungan yang berpola kontraktual makin merambah wilayah pedesaan.

Berdasarkan pengalaman di berbagai negara, masalah di bidang ketenagakerjaan yang seringkali timbul adalah ketidakseimbangan antara permintaan akan tenaga keja (demand for labor) dan penawaran tenaga kerja (supply of labor), pada suatu tingkat upah tertentu. Ketidakseimbangan ini dapat berupa: (1) Lebih besarnya penawaran dibanding permintaan terhadap tenaga   kerja (adanya excess supply of labor), dan (2) Lebih besarnya permintaan dibanding penawaran tenaga kerja (adanya excess for labor).

Dikatakan Becker (1964: 7-8), bahwa pasar tenaga kerja umumnya tersegmentasi menurut tingkat pendidikan. Di atas kertas, kesempatan keja bagi lulusan Perguruan Tinggi biasanya akan cenderung lebih terbuka, sehingga secara teoritis tingkat pengangguran dari kelompok ini cenderung lebih kecil daripada kelompok yang berpendidikan lebih rendah (Harbison, 1967: 31). Namun demikian, kesempatan kerja itu akan menyempit berseiring dengan meningkatnya jumlah lulusan dari tingkat pendidikan yang lebih tinggi (keyfitz, 1986: 7).

Fakta di lapangan justru seringkali memperlihatkan bahwa proporsi terbesar dari para pengangguran adalah mereka yang memiliki pendidikan lebih tinggi (Turnham, 1971: 52). Pendidikan yang lebih tinggi banyak menyebabkan anak muda justru menolak mengerjakan pekerjaan-pekerjaan dengan sistem manual, termasuk pekerjaan di sektor pertanian yang dinilai kurang sesuai dengan tingkat pendidikan mereka (Carnoy, 1980: 154). Kalangan terdidik, khususnya lulusan PT cenderung mencari pekerjaan di sektor jasa, padahal pertumbuhan kesempatan kerja di sektor jasa tidak mampu mengimbangi pertumbuhan angkatan kerja terdidik (Titrtosudarmo, 1994: 24)

Lulus kuliah dan menjadi sarjana ternyata bukan jaminan bisa langsung memperoleh pekerjaan yang diinginkan. Bahkan lulusan jurusan favorit seperti sarjana ekonomi manajemen dan hukum, hal itu juga tidak selalu menjadi tiket yang mujarab untuk lolos dari status penganggur terdidik. Di Jawa Timur, seperti dilaporkan disnaker, jumlah sarjana pencari kerja tidak bisa dibilang kecil. Dari 1.074 sarjana hukum yang mencari kerja, 1.064 orang diketahui belum bekerja. Selain itu, dari 728 sarjana ekonomi manajemen, 710 tercatat belum bekerja.

Di media massa, setiap hari memang selalu muncul iklan lowongan kerja yang menawarkan kesempatan berkarir bagi pencari kerja, terutama para sarjana dengan kualifikasi kompetensi tertentu. Tetapi, ironisnya, dari berbagai persyaratan dan kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan, umumnya tidak banyak yang bisa dipenuhi para pencari kerja. Karena itu, yang terjadi kemudian tetap saja daftar jumlah pencari kerja terus bertambah. Lowongan kerja yang senantiasa mensyaratkan penguasaan bahasa asing (terutama bahasa Inggris), indeks prestasi lulusan minimal 3, dan lain-lain sering menjadi kendala tersendiri yang memperkecil peluang para pencari kerja terdidik untuk dapat terserap dalam pasar kerja di sektor perekonomian firma.

Data BPS 2010 melaporkan, dari 8,32 juta penganggur di Indonesia sampai Agustus 2010, ternyata paling banyak lulusan sarjana dan diploma. Badan Pusat Statistik (BPS) menguraikan, jumlah lulusan sarjana dan diploma yang menganggur masing-masing 11,92 persen dan 12,78 persen. Secara keseluruhan, di Indonesia jumlah penganggur pada Agustus 2010 mencapai 8,3 juta orang atau 7,14 persen dari total angkatan kerja. Untuk 2012, asisten deputi Bidang Kepeloporan Pemuda Kementerian Pemuda dan Olahraga mengatakan, di Indonesia pemuda yang merupakan penganggur terdidik tercatat mencapai 41,81 persen dari total penganggur nasional. Angka sebesar itu tentu sangat memprihatinkan karena sedikit banyak mencerminkan terjadinya mismatch antara kualifikasi lulusan dan kebutuhan pasar kerja.

Terlepas apa pun faktor penyebabnya, fenomena sarjana yang menganggur dan banyaknya penganggur usia muda yang produktif adalah salah satu isu di bidang ketenaga kerjaan yang membutuhkan perhatian ekstra. Sebab, mereka hanya menambah panjang daftar jumlah penganggur yang sudah berjubel sebelumnya. Seperti diketahui, ketika kondisi sektor riil masih lesu dan investasi yang masuk belum terlalu menggembirakan, bahkan sebagian industri yang sudah ada di tanah air dilaporkan telah hengkang ke Vietnam dan Tiongkok, salah satu ancaman serius yang dihadapi pemerintah adalah kemungkinan timbulnya ledakan penganggur terdidik.

Di atas kertas, kesempatan kerja bagi lulusan perguruan tinggi secara teoretis seharusnya cenderung lebih terbuka. Dengan begitu, tingkat penganggur dari kelompok tersebut cenderung lebih kecil daripada kelompok yang berpendidikan lebih rendah. Namun, kesempatan kerja itu akan menyempit seiring dengan meningkatnya jumlah lulusan dari tingkat pendidikan yang lebih tinggi (Keyfitz, 1986).

Fakta di lapangan sering memperlihatkan bahwa proporsi terbesar dari para penganggur adalah mereka yang memiliki pendidikan lebih tinggi. Kritik yang sering dilontarkan adalah lembaga pendidikan di Indonesia dinilai tidak dapat mencetak lulusan yang siap pakai, ada ketidaksesuaian (mismatch) antara output pendidikan dan tuntutan perkembangan ekonomi, serta kualitas lulusan tidak cocok dengan kebutuhan dunia usaha. Pendidikan yang lebih tinggi kebanyakan menyebabkan anak muda justru menolak untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan dengan sistem manual, termasuk pekerjaan di sektor pertanian yang dinilai kurang sesuai dengan tingkat pendidikan mereka. Kalangan terdidik, khususnya lulusan PT, cenderung mencari pekerjaan di sektor jasa. Padahal, pertumbuhan kesempatan kerja di sektor jasa tidak mampu mengimbangi pertumbuhan angkatan kerja terdidik.

Di berbagai daerah, khususnya perkotaan, ditemui banyak pemuda yang memilih menganggur dari pada melakukan pekerjaan yang dianggap tidak sesuai dengan tingkat pendidikan dan gaji yang diterima juga dinilai terlalu rendah. Gejala itu terutama terlihat pada kalangan lulusan PT yang secara ekonomi mapan dan belum berkeluarga. Mereka biasanya lebih memilih sementara waktu menganggur karena keluarganya mampu mencukupi kebutuhannya sampai menemukan pekerjaan yang dianggap sesuai dengan tingkat pendidikannya.

Kualifikasi keahlian yang dimiliki dan kebutuhan pasar tenaga kerja acap mismatch, jumlah sarjana penganggur pun dari waktu ke waktu terus bertambah. Bahkan, tidak sedikit sarjana yang termasuk dalam kelompok penganggur yang disebut discourage unemployment (penganggur putus asa), yakni penganggur sudah bertahun-tahun mencari kerja tapi tanpa hasil karena faktor demand for labor dan supply for labor yang makin tidak seimbang.

Sebuah keluarga yang sudah habis-habisan membiayai kuliah anaknya sampai lulus terpaksa menjual sebagian lahannya dan tak jarang pula utang ke sana-kemari untuk biaya kuliah anaknya. Ternyata, anaknya yang sudah lulus dan menjadi sarjana itu tak kunjung memperoleh kerja. Sangatah wajar jika sarjana yang menganggur seperti itu menjadi frustrasi, putus asa, dan lantas menjadi penganggur abadi.

Di luar arti penting komitmen politis dan dukungan dana untuk membiayai pelaksanaan program penanganan penganggur terdidik, salah satu aspek penting yang perlu diperhatikan dalam upaya penanganan penganggur terdidik adalah persoalan substansi program yang digulirkan dan strategi yang seharusnya dikembangkan untuk menjamin efektivitas pelaksanaan program itu.

Secara garis besar, arah kebijakan dan upaya penanggulangan masalah penganggur terdidik seyogianya mencakup empat hal pokok. Pertama, bagaimana mendorong pengembangan dan pertumbuhan kesempatan kerja baru bagi para pencari kerja atau penganggur terdidik, baik lewat program-program pemerintah maupun multiplier effect dari kegiatan investasi swasta. Kedua, bagaimana meningkatkan kualitas dan posisi tawar para pencari kerja, termasuk penganggur terdidik yang berminat mencari kerja di luar negeri agar mereka dapat lebih berdaya serta sesuai dengan kebutuhan pasar kerja yang ada. Ketiga, bagaimana membantu dan memfasilitasi pengembangan usaha mandiri para penganggur terdidik, terutama di sektor UMKM. Keempat, lebih dari sekadar program pelatihan untuk meningkatkan kualitas dan kadar keberdayaan SDM pencari kerja yang terdidik, yang dibutuhkan adalah substansi program pelatihan yang benar-benar dapat dijadikan modal sosial untuk menyiasati dan mencuri celah pasar yang sangat kompetitif. Diakui atau tidak, selama ini berbagai kegiatan pelatihan yang dikembangkan BLK maupun lembaga kursus swasta alam masih belum mampu menjawab tantangan dan kebutuhan pasar kerja yang ada. Ke depan, untuk menjamin kualifikasi pencari kerja usia muda yang ada benar-benar sesuai dengan kebutuhan pasar, ada baiknya dijajaki kemungkinan kerja sama dengan lembaga swasta tertentu yang terbukti telah bekerja secara profesional dan berhasil meningkatkan kompetensi serta kecakapan hidup penganggur terdidik di tanah air.

Sebanyak 400 ribu pemuda Indonesia yang bertitel sarjana menjadi pengangguran, demikian data yang dikeluarkan BPS pada bulan Februari 2015. Setiap hari mereka bersusah payah mencari lowongan dan mengirim lamaran. Bekerja untuk mencari kerja. Ada kombinasi tampang yang lusuh, frustasi, dan letih yang masih menyisakan sedikit optimis. Begitulah kira-kira gambarannya.

Tak ada yang lebih pedih daripada menjadi seorang pengagguran. Apalagi pengangguran terdidik. Masa kuliah 4 atau 5 tahun seperti terbuang sia-sia, juga biaya kuliah puluhan juta dari orang tua. Tak ada kepedihan lain yang mereka rasa selain menjadi pengangguran. Apalagi gelar baru itu mereka dapat dengan status sosial mereka yang sebenarnya terdidik, terpelajar. Bertahun-tahun kuliah seperti sia-sia. Mulai dari biaya, pikiran, dan tenaga.

Harga diri seorang yang jobless juga bisa membuat mereka minder. Apalagi jika nanti pada saat lebaran ditanya, "oh sudah lulus ya, sekarang kerja dimana?". "Masih pengangguran bude". Pedih. Galau. Belum ketika ditanya oleh karib kerabat, "Sudah lulus ya? Sekarang kerja di mana?" Betapa pedihnya hati.

Menempuh selama 5 tahun untuk mencapai sebuah gelar S. E  tidak lah mudah, pengorbanan waktu, biaya, dan pikiran haruslah dipersiapkan sebelumnya, jika salah satu dari hal tersebut dirasa memberatkan atau tidak mau dikorbankan, mungkin akan sulit untuk bisa meraih sesuatu yang di impikan sebelumnya, yaitu gelar Sarjana S. E . Tetapi, setelah pencapaian dari sebuah pengorbanan selama 5 tahun tersebut belumlah cukup, masih ada tantangan lagi yang harus diperjuangkan setelah mendapatkan gelar, yaitu sebuah 'tempat penampungan' bagi para sarjana muda, mereka membutuhkan tempat untuk bisa bertahan hidup dan berjuang demi masa depan mereka.

"Mungkin saja ada yang berbisnis atau malah meminta 'penampungan' ke sebuah perusahaan. Waktu kuliah dulu saya bilang para 'pengemis pencari kerja'. Mereka kaum 'Dhuafa' yang layak diberikan pekerjaan soalnya tanpa pekerjaan mereka bukanlah apa–apa. Sarjana pengangguran merupakan momok bagi sejumlah sarjana yang baru lulus dari kampusnya, hal ini memang sedang dialami oleh diri saya sendiri, entah kenapa saya bisa seperti ini. Sebelumnya sesaat setelah wisuda ada beberapa tawaran untuk bisa masuk ke suatu 'penampungan sarjana' tapi hal itu belum saya apply karena saya pernah bernazar sewaktu pengerjaan proyek Akhir, setelah proyek selesai saya mau liburan dulu ke Bali sebelum mendapatkan pekerjaan, hal ini lah yang membuat kesempatan saya- ilang untuk bisa ke 'penampungan tersebut'", ujar si pengangguran.

"Kesempatan yang udah saya buang itu kini belum kembali lagi ke saya. Setelah beberapa saat dari Bali akhirnya saya apply ke berbagai perusahaan yang kebetulan saya berlangganan sebuah situs yang berisi berbagai lowongan 'penampungan sarjana', lowongan itu setiap hari masuk ke email saya, lalu saya sortir sekiranya yang cocok dengan latar belakang pendidikan yang tertempel di belakang gelar S.E udah beberapa perusahaan yang udah saya apply untuk dikirimkan CV, lalu ada group Social yang ID-nya dimiliki kampus saya yang khusus mengurusi karir dan alumni, saya pantau setiap hari groupnya sekiranya ada beberapa lowongan yang cocok, dan udah beberapa yang udah di Apply juga, padahal pas nyampe di Bali saya di telpon sama pihak kampus bahwa ada test tertulis salah satu perusahaan, tapi ya mau gimana lagi saya udah di Bali dan akhirnya saya melepas kesempatan tersebut", si pengguran sambil menyesal.

"Hari demi hari saya menunggu kabar atau sekiranya panggilan dari perusahaan yang ingin melaksanakan interview, dan setiap hari pula saya berharap ada telpon yang masuk yang ga saya kenal dan berharap itu dari perusahaan, tapi sampai beberapa minggu hal itu tak kunjung ada. Saya selalu terus dan menerus berpikir positif dan berprasangka positif kalo ini adalah sebuah cobaan dari Allah buat saya, cobaan kesabaran yang diberikan atau cobaan yang ngga boleh membuang kesempatan sekecil apapun", dengan semangatnya si pengguran tersebut.

"Terus kalo udah begini bagaimana jadinya ? Setiap hari hanya di rumah luntang lantung ngga jelas, paling kalo udah sumpek keluar jalan-jalan ke pantailah ke danaulah atau kemana aja biar ngga jenuh di rumah. Entah apa yang harus saya lakukan, saya udah sms ke beberapa temen saya klo klo ada lowongan baru untuk kabarin saya. Saya bingung harus ngapain dan harus bagaimana, saya udah bosen hidup kaya gini trus, ngga berarti, waktu terbuang sia-sia, ngga berguna. Saya iri sama temen-temen saya yang udah kerja, saya iri sama temen-temen saya yang udah punya penghasilan dan saya hanya terpaku di rumah melihat cerita-cerita mereka di jejaring sosial. Mereka bercerita tentang kantornya, mereka cerita tentang berbagai proyek kantornya, mereka bercerita tentang capenya kerja, mereka bercerita tentang temen kantor, bos, kapan gaji turun dan banyak lagi. Jujur saya pengen banget bercerita seperti itu, saya pengen mengembangkan kemampuan saya yang ada, saya pengen kreativitas dari kerjaan saya dapat berguna, saya pengen punya penghasilan sendiri, saya pengen ini itu dari hal yang ngga bisa saya dapet dari kampus dan saya pengen banget bilang ke orang tua saya 'ma ini gaji pertama randy, gajinya emang kecil tapi alhamdulilah' ", ujarnya sambil bersedu-sedu.

"Mungkin walaupun sedikit miris liat gaji yang ga seberapa dari gaji mereka yang puluhan tahun jadi PNS biasa yang bukan pejabat tapi itu bisa membuat mereka tersenyum karena anak yang udah jadi sarjana itu telah bekerja dan ngga lagi pengangguran, ngga lagi tidur-tiduran di rumah dan ngga bikin sumpek di rumah. Tapi kapan ? toh sampe saat ini panggilan interview pun belum ada, terkadang saya putus asa, udah males lagi liat lowongan yang tiap hari dikirim lewat email padahal tiap hari saya selalu buka. Tapi saya harus tetap semangat, saya ngga mau terpuruk karena setiap hari pula saya selalu berpikir positif dan optimis bahwa Allah akan memberikan yang terbaik buat saya, dan bisa saja saat ini belum di izinkan sama Allah karena berbagai hal yang hanya Allah yang tau, ambil saja semua. Hikmahnya, karena ga sekali atau dua kali saya di dalam keadaan down kaya gini tapi udah berkali-kali dan itu membuat kita semakin kuat buat menerima keadaaan. Jujur saya memang sedikit malu, malu sama keluarga, malu sama temen, malu sama tetangga, Randy yang udah sarjana dan bertitel S.E apa lagi lulusan dari salah satu kampus yang terkenal itu tapi belum dapet kerja alias masih menganggur, saya hanya bisa bilang, sedang nunggu panggilan kerja", menurutnya.

"Kata – kata ampuh yang selalu saya ucapkan bila ada yang bertanya KAPAN KERJA ???, tekanan yang begitu besar, apa lagi terkadang disindir juga sama nyokap, 'makanya kerja biar dapet duit', tapi apa mau dikata, tetep aja panggilan interview belum ada juga. Tapi untungnya punya orang tua sedikit pengertian juga sihh, mereka ga terlalu menuntut harus ini itu, dan mereka ngebebasin apa yang anaknya mau. Terkadang saya mengerti ohh ternyata tekanan seperti ini toh yang bnyak membuat seorang pengangguran membuat tindakan yang Abnormal bahkan nekat bunuh diri, soalnya tekanan psikis terhadap orang nganggur itu sangatlah mengganggu kejiwaan, mereka gampang sekali marah jika tersinggung dan membuat gelap kepala, aduhh untungnya saya ga kaya gitu, saya masih berusaha untuk berpikir positif", jelasnya.

"Satu hal yang saya yakinin yaitu Rezeki ga kemana mana, semua hanya lah cobaan semata agar membuat kita lebih kuat lagi, terus berdoa, yakin Allah masih sayang kita, Ikhtiar, bersabar, dan ikhlas. Dan saya yakin juga Allah akan ngasih yang terbaik buat saya dan terbaik buat kesuksesan saya. Amin", ujarnya sambil tersedu-sedu.

Hasil wawancara dengan seorang pengangguran yang ia membagi ceritanya dengan kami. Dari uraian cerita tersebut sudah menyebabkan sebab atau factor ia menganggur. Apa Penyebab Utama Adanya Pengangguran? Setidaknya ada 3 alasan yang menjadi sebab utama mengapa ada begitu banyak sarjana pengangguran di negeri ini.

1.      Pertumbuhan Ekonomi Rendah

Semua sepakat bahwa ini termasuk faktor kunci yang menentukan seberapa besar jumlah pengangguran pada suatu negara. Melihat pada rumus yang berlaku secara internasional, tingkat pengangguran di Indonesia sebenarnya hanya 5.81%. Bisa bandingkan dengan negara yang lebih maju seperti Perancis 9% dan Spanyol lebih menakutkan yaitu 23%. Yang menjadi masalah adalah jumlah penduduk dan luar wilayahnya. Angka 5% menjadi sangat besar dikarenakan hal ini. Tapi, angka ideal untuk bisa dikatakan sebagai negara yang sejahtera, pengangguran harus di bawah 3%.

Bukan berarti sebuah negara menjadi semakin bagus ketika tidak memiliki SDM yang menganggur. Justru hal ini sangat berbahaya karena perusahaan akan kesulitan menjadi SDM baru. Ada rumusan lain tentang bagaimana sebuah negara bisa berada pada posisi angka pengangguran yang ideal (yaitu 2-3 persen). Untuk bisa di angka itu, sebuah negara harus bisa growth ekonominya di kisaran 8 sampai 10 persen. Faktanya, hingga saat ini pertumbuhan ekonomi negara kita hanya di angka rata-rata 4,7% saja. Masih setengah perjalanan. Angka 8% sampai 10% itu hanya berlaku di negara berkembang dengan luas wilayah yang besar, seperti India, Cina, dan Indonesia. India dan Cina sudah pernah mencapai angka itu beberapa kali, sedangkan Indonesia belum sama sekali.

Dikarenakan pertumbuhan yang cenderung lambat, sektor industri juga 'malas' untuk membuat rencana pengembangan infrastruktur dan SDM. Nah karena pengembangan (SDM) yang cenderung stagnan, maka komunitas sarjana pengangguran tumbuh bagai jamur di mana-mana.

 

 

2.      Mempunyai Skill dan Cara Berpikir yang Terlalu Maju

Ternyata, jumlah sarjanan pengangguran lebih banyak ketimbang lulusan SMK/SMA yang menganggur. Data ini sangat membingungkan dan mencengangkan. Artinya, lulusan SMK/SMA lebih banyak diserap oleh industri ketimbang lulusan sarjana. Buat sebagian orang sampai mengatakan, "Tahu begitu, ngapain saya kuliah?" Mengapa bisa begitu?

Ternyata, mayoritas sektor industri di Indonesia tidak butuh tenaga yang terlalu pintar. Tenaga yang terlalu pintar dianggap banyak menuntut, terutama soal gaji, ini yang membuat industri berpikir berulang kali untuk merekrut sarjana. Jangankan sektor industri, pengusaha-pengusaha kecil (kelas UKM), pasti lebih memilih lulusan SMK/SMA ketimbang sarjana. Untuk jaga toko, melakukan packaging, mengirim barang, input data, dan hal-hal sederhana lainnya, untuk apa cari sarjana? Lagipula, secara naluri, seorang sarjana tidak mau bekerja sebagai penjaga toko. Mau ditaruh mana mukanya?

3.      Terlalu Banyak Lulusan Sosial

Hampir semua perguruan tinggi di tanah air mempunyai fakultas ekonomi dan hukum. Padahal bisa jadi kebutuhan lulusan dari kedua fakultas ini tidak terlalu besar. Kalau bahasa ekonominya terlalu banyak suplai alias over supply, akhirnya yang lebih itu jadi menganggur. Tidak hanya dua fakultas tadi, sarjana seperti manajemen, sospol, sastra, dan lainnya juga bernasib sama. Masih banyak industri yang membutuhkan tenaga dari lulusan sarjana teknik. Teknik apapun. Masih banyak daratan Indonesia yang membutuhkan SDM dari lulusan teknik. Masih ada ratusan ribu kilometer jalan raya dan ribuan megawat listrik yang butuh untuk dibangun. Tidak mungkin kan lulusan sarjana sastra membangun jalan tol dan menciptakan infrastruktur listrik/energi? Studi dan penelitian yang dilakukan World Bank memberitahu pada kita bahwa jumlah sarjana teknik pada sebuah negara sangat berbanding lurus dengan kemajuan negara tersebut. Tengoklah Jepang, Korea, Cina, India. Persentase lulusan teknik di negara-negara ini sangat tinggi. Maka tidak heran mereka bisa berakselerasi dengan sangat cepat.

 

 

 

 

 

 

Jumlah Angkatan Kerja, Penduduk Bekerja, Pengangguran, TPAK dan TPT, 1986–2013

 

Tahun

Angkatan Kerja

Bekerja

Pengangguran

Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja - TPAK

Tingkat Pengangguran Terbuka - TPT

(Juta Orang)

(Juta Orang)

(Juta Orang)

(%)

(%)

1986

67,20

65,38

1,82

66,43

2,70

1987

69,40

67,58

1,82

66,68

2,62

1988

71,56

69,52

2,04

66,89

2,85

1989

72,46

70,43

2,04

66,04

2,81

1990

75,02

73,10

1,91

66,33

2,55

1991

75,90

73,91

1,99

65,92

2,62

1992

78,03

75,89

2,14

66,29

2,74

1993

78,91

76,72

2,20

65,60

2,78

1994

83,32

79,69

3,64

66,75

4,36

1996

87,83

83,55

4,28

66,85

4,87

1997

89,23

85,05

4,18

66,32

4,69

1998

92,34

87,29

5,05

66,91

5,46

1999

94,85

88,82

6,03

67,22

6,36

2000

95,65

89,84

5,81

67,76

6,08

2001

98,81

90,81

8,01

68,60

8,10

2002

100,78

91,65

9,13

67,76

9,06

2003

102,75

92,81

9,94

67,86

9,67

2004

103,97

93,72

10,25

67,54

9,86

2005

Februari

105,80

94,95

10,85

68,02

10,26

November

105,86

93,96

11,90

66,79

11,24

2006

Februari

106,28

95,18

11,10

66,74

10,45

Agustus

106,39

95,46

10,93

66,16

10,28

2007

Februari

108,13

97,58

10,55

66,60

9,75

Agustus

109,94

99,93

10,01

66,99

9,11

2008

Februari

111,48

102,05

9,43

67,33

8,46

Agustus

111,95

102,55

9,39

67,18

8,39

2009

Februari

113,74

104,49

9,26

67,60

8,14

Agustus

113,83

104,87

8,96

67,23

7,87

2010

Februari

116,00

107,41

8,59

67,83

7,41

Agustus

116,53

108,21

8,32

67,72

7,14

2011

Februari

119,40

111,28

8,12

69,96

6,80

Agustus

117,37

109,67

7,70

68,34

6,56

2012

Februari

120,41

112,80

7,61

69,66

6,32

Agustus

118,05

110,81

7,24

67,88

6,14

2013

Februari

121,19

114,02

7,17

69,21

5,92

Agustus

118,19

110,80

7,39

66,90

6,25

Sumber: Sakernas, BPS

 

Pengangguran menjadi sangat ironis sekali karena dengan pendidikan yang dimiliki tentunya dapat menjadi modal untuk membangun Negara, bahkan dapat membantu Negara dengan menciptakan lapangan pekerjaan bagi pengangguran bukannya malah ikut serta menambah pengangguran. Oleh sebab itu menanamkan jiwa kewirausahaan kepada masyarakat dapat menjadi solusi untuk mengurangi pengangguran, karena dengan melakukan  kegiatan wirausaha maka dapat menciptakan lapangan pekerjaan sehingga pada akhirnya diharapkan akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Mengapa kewirausahaan ? Setidaknya terdapat 4 alasan mengapa menciptakan sebanyak mungkin enterpreneur di suatu negara memiliki keterkaitan dengan kesejahteraan negara tersebut, yaitu : (1) Solusi bagi dirinya sendiri, karena mereka tidak perlu menganggur dan mereka adalah pencipta kerja bagi dirinya sendiri; (2) solusi bagi sesamanya, karena dari pekerjaan yang mereka ciptakan akan memberikan pekerjaan bagi yang lain; (3) solusi bagi komunitasnya, karena dari daya inovasi kreatifitasnya akan dapat merubah sumber daya menjadi produk yang dibutuhkan masyarakat luas; (4) solusi bagi negara, karena dari hasil karya para enterpreneur negara memperoleh pendapatan melalui pajak yang dibayarkan, dimana hasil pajak ini berguna untuk membiayai pemerintahan dan kelangsungan pembangunan negara ini.

Banyak upaya yang ditempuh pemerintah dan elemen masyarakat lain untuk mendorong tumbuhnya lebih banyak enterpreneurship di Indonesia. Menurut A.B. Susanto, Managing Partner The Jakarta Consulting Group, seseorang enterpreneurship harus memiliki semangat serta kemampuan teknis yang memadai, selain itu juga memiliki kedisiplinan dan kepemimpinan. Dengan kata lain, disamping memiliki pengetahuan serta ketrampilan enterpreneurship, seorang enterpreneur juga harus memiliki kualitas kepemimpinan (leadership) yang baik. Perpaduan ini dapat disebut sebagai leadpreneurship. Orang-orang yang memiliki kualitas leadpreneurship yang tinggi adalah mereka yang mampu untuk mengubah sumber daya yang bernilai rendah menjadi sumber daya yang bernilai tinggi melalui pengambilan resiko yang terukur dan kepemimpinan yang efektif.

Hal yang kemudian menjadi pertanyaan adalah bagaimanakah membangun jiwa kewirausahaan dalam diri setiap individu  ?

1.       Menyediakan pelatihan tentang kewirausahaan dan pengembangan  manajemen dengan tujuan untuk menyediakan para pengusaha fasilitas sehingga mampu menyerap tenaga kerja yang lebih banyak.

2.       Memberi pelayanan dan bimbingan setelah pelatihan selesai dilakukan untuk membantu pengusaha lama dan baru dalam mengelola bisnis mereka dengan efektif.

3.       Menyediakan fasilitas mentor bagi para pengusaha muda dan memberi kesempatan pada mereka untuk berkomunikasi dengan para pemilik bisnis sehingga mereka mampu mengembangkan bisnis mereka.

Menumbuhkan jiwa kewirausahaan tidaklah cukup dengan hanya memberi bantuan berupa material, karena hal itu berarti tidak menumbuhkan jiwa kewirausahaan, mereka hanya akan terbantu pada saat itu saja, tidak berusaha untuk memberdayakan kemampuan mereka sendiri. Keterampilan dan kemampuanlah yang mereka butuhkan.

 

IV.        Kesimpulan

Lulus kuliah dan menjadi sarjana ternyata bukan jaminan bisa langsung memperoleh pekerjaan yang diinginkan. Bahkan lulusan jurusan favorit seperti sarjana ekonomi manajemen dan hukum, hal itu juga tidak selalu menjadi tiket yang mujarab untuk lolos dari status penganggur terdidik. Di Jawa Timur, seperti dilaporkan disnaker, jumlah sarjana pencari kerja tidak bisa dibilang kecil. Dari 1.074 sarjana hukum yang mencari kerja, 1.064 orang diketahui belum bekerja. Selain itu, dari 728 sarjana ekonomi manajemen, 710 tercatat belum bekerja.

Data BPS 2010 melaporkan, untuk 2012, asisten deputi Bidang Kepeloporan Pemuda Kementerian Pemuda dan Olahraga mengatakan, di Indonesia pemuda yang merupakan penganggur terdidik tercatat mencapai 41,81 persen dari total penganggur nasional. Angka sebesar itu tentu sangat memprihatinkan karena sedikit banyak mencerminkan terjadinya mismatch antara kualifikasi lulusan dan kebutuhan pasar kerja. Terlepas apa pun faktor penyebabnya, fenomena sarjana yang menganggur dan banyaknya penganggur usia muda yang produktif adalah salah satu isu di bidang ketenaga kerjaan yang membutuhkan perhatian ekstra. Sebab, mereka hanya menambah panjang daftar jumlah penganggur yang sudah berjubel sebelumnya. Seperti diketahui, ketika kondisi sektor riil masih lesu dan investasi yang masuk belum terlalu menggembirakan, bahkan sebagian industri yang sudah ada di tanah air dilaporkan telah hengkang ke Vietnam dan Tiongkok, salah satu ancaman serius yang dihadapi pemerintah adalah kemungkinan timbulnya ledakan penganggur terdidik.

Di atas kertas, kesempatan kerja bagi lulusan perguruan tinggi secara teoretis seharusnya cenderung lebih terbuka. Dengan begitu, tingkat penganggur dari kelompok tersebut cenderung lebih kecil daripada kelompok yang berpendidikan lebih rendah. Fakta di lapangan sering memperlihatkan bahwa proporsi terbesar dari para penganggur adalah mereka yang memiliki pendidikan lebih tinggi. Kritik yang sering dilontarkan adalah lembaga pendidikan di Indonesia dinilai tidak dapat mencetak lulusan yang siap pakai, ada ketidaksesuaian (mismatch) antara output pendidikan dan tuntutan perkembangan ekonomi, serta kualitas lulusan tidak cocok dengan kebutuhan dunia usaha. Pendidikan yang lebih tinggi kebanyakan menyebabkan anak muda justru menolak untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan dengan sistem manual, termasuk pekerjaan di sektor pertanian yang dinilai kurang sesuai dengan tingkat pendidikan mereka. Kalangan terdidik, khususnya lulusan PT, cenderung mencari pekerjaan di sektor jasa. Padahal, pertumbuhan kesempatan kerja di sektor jasa tidak mampu mengimbangi pertumbuhan angkatan kerja terdidik.

Maka dari itu, solusi dari permasalahan pengangguran adalah perbanyak skill dan jaringan selama kuliah. Karena, memperbanyak jaringan membuat kita lebih banyak dikenal orang. Dan lebih baik lagi adalah ketika kita membangun bisnis sendiri. Jadi, tidak perlu lagi susah payah mecari pekerjaan ketika lulus kuliah.  

 


Daftar Pustaka

Afifi , John. 2015. Jadilah Mahasiswa Plus. Jogjakarta. Flash books.

George Ritzer & Douglas J. Goodman. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group.

Kasiran. Moh. 2010. Metodologi Penelitian Kuantitatif-Kualitatif. Malang : UIN-Maliki Press

M. Setiadi.Elly, Usman Kolip.2001.Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala permasalahan sosial: Teori, Aplikasi, Dan Pemecahannya. Jakarta: Kencana.

Narwoko, J. Dwi, Bagong Suyanto.2006. Sosiologi Teks Pengantar Dan Terapan. Jakarta: Kencana

Raho, Bernard SVD. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta : Prestasi Pustakaraya

 

Lampiran

 

    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini