Pencemaran dan Kerusakan Ekosistem Sungai Citarum
Sungai Citarum merupakan salah satu sungai terpanjang di Jawa Barat. Namun, kondisinya saat ini teramat mengkhawatirkan dengan kadar air yang dari tahun ke tahun melorot sampai pada ambang batas minimal. Misalnya, kadar keasaman air meningkat drastis dan kadar oksigen dalam airnya juga semakin berkurang. Maka, pernyataan (cai) Citarum tidak heran lagi bukanlah statement yang nilai keabsahannya nihil objektivitas.
Setelah diselidiki, kondisi tersebut di atas adalah akibat dari ulah manusia yang tidak menyadari pentingnya menjaga dan melestarikan ekosistem lingkungan sungai. Dengan perilaku "asal buang" menjadikan kondisi air di sungai Citarum tercemar oleh limbah domestik, pertanian, peternakan, bahkan sentra industri juga tidak ketinggalan peran sertanya dalam mengontaminasi kualitas air. Akibatnya, kondisi air bersih di sekitar warga sungai Citarum terancam keberbagaian masalah.
Air adalah salah satu elemen terpenting bagi penunjang kehidupan warga masyarakat di tiap daerah. Kalau saja kondisinya tidak memenuhi standar yang layak untuk dikonsumsi, bisa jadi masyarakat sekitar sungai Citarum akan terkena dampak yang lebih luas karena miskinnya sumber daya air (water resources). Maka, dampak bagi warga sekitar juga akan terasa jelas memenuhi pandangan mata dengan terganggunya ranah kesehatan bahkan aspek sosial ekonominya.
Sebab, dengan kondisi air sungai yang tercemar dapat mengakibatkan munculnya ragam penyakit seperti diare, gatal-gatal (budug), dan terganggunya asupan gizi warga sekitar sungai. Bahkan, dapat mengundang konflik horizontal di tengah-tengah warga masyarakat karena memperebutkan air bersih yang hari ini eksistensinya kian langka bagaikan barang pusaka di gedung-gedung sejarah (museum).
Selain itu, tidak menutup kemungkinan juga dengan kan dungan air yang tidak berkualitas, ekosistem air di sekitar sungai akan terancam punah dan dapat menurunkan kualitas produksi pertanian yang banyak memanfaatkan aliran sungai Citarum. Akibatnya, imbas pencemaran ini tidak hanya mengena aspek kesehatan lagi, melainkan sampai pada bertambahnya warga masyarakat miskin.
Dalam posisi demikian juga peribahasa Sunda "caina herang, laukna beunang" mungkin tidak akan dimengerti oleh generasi muda, karena air sungainya tidak herang (tidak bening) lagi, melainkan "kiruh" atau keruh.
Persoalan air bersih
Tidaklah heran kalau fungsi air bersih posisinya bak bahan bakar minyak (BBM) yang harus Kelangkaan air bersih di Kota Bandung , misalnya dapat dilihat dari keluhan warga yang merasa terbebani dengan pembelian air bersih kepada para pengecer. Biang keladi langkanya air bersih ini ternyata lebih banyak akibat bermunculannya pabrik-pabrik yang memprivatisasi air bersih untuk kebutuhan perusahaan.
Celakanya lagi, pabrik di sekitar sungai Citarum yang berjumlah ratusan itu cenderung hanya ingin mengambil keuntungan materi dengan biaya murah meriah dan pemasukan yang "wah". Tanpa berpikir bahwa ketika aliran sungai dijadikan sarang pembuangan limbah akan mengakibatkan rusaknya ekosistem lingkungan sungai. Para pengusaha pun tidak menyadari bahwa wargalah yang akan merugi. Sebab kalau lingkungan rusak, maka sungai Citarum tidak bisa berproduksi hingga akhirnya tidak bermanfaat bagi warga.
Memang betul kalau alat teknologi canggih dalam posisi ini sangat diperlukan. Namun dengan harga yang mahal dan langka membuat warga dan pengusaha tidak mau ambil pusing dengan konsep teknologi modern untuk mengelola limbah dan akhirnya langsung dibuang ke sungai Citarum. Maka, logis sekali kalau ada yang menyebut bahwa bangsa kita cenderung ingin mengeluarkan biaya murah, bekerja mudah dan mendapat keuntungan melimpah ruah.
Ketika disodorkan peralatan pengolah limbah yang mahal harganya agar tidak mencemari lingkungan, mereka ragu mengeluarkan biaya untuk pemeliharaan. Logika ekonomi kapitalisme seakan telah bersarang dalam dada para pemilik pabrik hingga berujung pada keengganan memelihara kebersihan sungai Citarum. Akibatnya, meski program kali bersih telah berlangsung selama 15 tahun, hal itu seakan tidak mengubah kondisi air yang mengalir di sungai Citarum. Maka, peribahasa Sunda juga meski diubah menjadi "caina kiruh, laukna eweuh", karena (Cai) Citarum teu herang (tidak bening) lagi, tetapi "kiruh pisan" atau hitam pekat.
Terorisme lingkungan
Yasraf Amir Piliang mengistilahkan perilaku merusak ekosistem lingkungan hidup dengan "eco-terorism" (Kompas, 02/09/2006 ), yakni perbuatannya kerap dilakukan untuk meneror lingkungan hidup. Tentunya perilaku destruktif terhadap fungsi ekologis ini menggunakan cara-cara beragam seperti illegal farming, illegal logging, illegal trading, bahkan pencemaran sungai juga dapat dikategorikan sebagai upaya teror terhadap lingkungan.
Motif pengrusakan ekosistem lingkungan sekitar sungai dapat disandingkan dengan pengambilan hak-hak publik secara manifulatif untuk memeroleh air bersih agar kebutuhannya terpenuhi. Sikap lebih mementingkan diri sendiri (egosentris) ini adalah wujud dari peneroran terhadap lingkungan dan bakal berimbas pada terganggunya pemenuhan warga akan air bersih.
Perilaku para peneror lingkungan juga tidak berpijak pada "sense of counsieusness" bahwa aktus pemeliharaan sumber daya air di sekitar sungai adalah sebuah keniscayaan. Akibatnya, kondisi air dari tahun ke tahun menampakkan wujud yang mengkhawatirkan, seperti halnya pencemaran sungai di Kalimantan Timur yang mengganggu aktivitas sosial, ekonomi dan budaya warga yang teraliri sungai. Lantas, bagaimana dengan Bandung ? Ya, sama juga. Coba kita lihat warna air di sungai Citarum yang kecoklat-coklatan, bahkan sampai hitam pekat.
Oleh karena itu, untuk saat ini kesadaran warga dan instansi peru s ahaan yang berandil besar mengotori sungai Citarum mesti direkonstruksi secara berkala oleh para pihak terkait. Sebab, untuk membeli alat penyaringan limbah ind ustri pada saat ini, misalnya, sangat mahal sehingga para pengusaha malas mengeluarkan biaya bagi program pelestarian alam. Maka, cetusan pajak peru s ahaan bagi lingkungan sebesar beberapa persen mesti direalisasikan dan diwujudkan dalam bentuk pengadaan alat teknologi pengurai sampah.
Analisis
Dapat dilihat jelas bahwa terjadinya pencemaran dan kerusakan ekosistem sungai berakar dari kurangnya kesadaran dari manusia itu sendiri. Seperti peternak yang mengaliri kotoran hewan langsung ke sungai, padahal kotoran tersebut bisa dijadikan pendapatan tambahan dari pembuatan pupuk dan sejenisnya. Konsep pengelolaan limbah secara terpadu merupakan jawaban sementara bagi persoalan degradasi kualitas air di sungai ini. Dan yang terpenting adalah menumpas teroris lingkungan yang berkeliaran di sekitar sungai sebagai langkah awal meminimalisasi tercemarnya sungai Citarum. Tentu saja menumpasnya juga tidak dengan cara keras, melainkan dengan cara penyuluhan secara berkesinambungan dan memayunginya dengan ramuan konstitusional yang jelas serta berdimensi praksis.
Sumber :http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=4&dn=20061130102146
Tidak ada komentar:
Posting Komentar